Sapu Kotor Untuk ‘Membersihkan’ BUMN, Apa Mungkin?


ilustrasi : google


Ummu Zhafran
(Pegiat Opini, member Akademi Menulis Kreatif)

Bagaimana mencari pemimpin dengan hemat dan bebas korupsi, di tengah kondisi kepartaian berbiaya mahal tapi miskin legitimasi? (Najwa Shihab)

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir telah menunjuk Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina (Persero). (kompas.com, 21/11/2019)

Kegaduhan pun marak.  Pro dan kontra merebak.  Bagi yang pro berdalih mafia dan korupsi yang selama ini bercokol bisa dibersihkan oleh Ahok.  Sementara track record yang sudah tercoreng kasus hukum jadi alasan pihak yang kontra.  
 
Anjing menggonggong kafilah berlalu. Di tengah kontroversi, tetap saja Ahok dilantik tanpa ragu. Komisaris Utama PT Pertamina resmi jadi jabatan Ahok yang baru.

Alasan pun diungkap.  Menteri BUMN, Erick Thohir mengakui menginginkan figur pendobrak yang dapat membantu perusahaan migas itu mencapai target-target yang telah ditentukan. (tempo.com, 23/11/2019)

 Publik  geger.  Banyak yang nyinyir mempertanyakan status mantan napi yang disandang.   Surat Keterangan Catatan Kepolisian yang biasa jadi syarat mengisi lowongan kerja, khusus untuk Ahok  mendadak usang.

Catatan Kelam yang Teredam?

Belum lama Ahok keluar dari hotel prodeo.  Kasus penistaan alquran telah menjeratnya selama 1 tahun 8 bulan 15 hari. Seharusnya status mantan pesakitan berimbas pada rekam jejak Ahok. 

 Tapi entah apa yang merasuki, tiba-tiba Ahok melesat di jejeran petinggi Pertamina.  Sepintas terlihat sakti mandraguna.  Bagaimana tidak, silakan cerna dalih Bapak Menteri di atas.  Bak pahlawan super , Ahok diharapkan sebagai penyelamat sengkarut di BUMN strategis di negeri ini.  Masalah kartel, mafia, penimbunan maupun monopoli bahkan korupsi yang selama ini menghantui Pertamina seolah bisa tuntas dengan hadirnya Ahok.

Benarkah demikian?  Jika Pertamina diibaratkan rumah yang lantainya kotor dan bernoda,  dan mantan gubernur Jakarta ini adalah sapunya.  Maka bisakah lantai tersebut bersih disapu dengan sapu kotor?  Alih-alih licin cemerlang bukan mustahil semakin kusam nan kelam.

Mengapa?  Selain menista Al Maidah, santer kabar Ahok  tersangkut skandal korupsi Rumah Sakit (RS) Sumber Waras, Jakarta beberapa tahun lalu.  Saat itu posisi Ahok sebagai orang nomor satu di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Direktur Eksekutive Indonesian Resources Studies, Marwan Batubara bahkan tak terima bila Ahok disebut orang baik.  Menurutnya,  dalam kasus  RS Sumber Waras, KPK jelas melindungi Ahok.  

"Meskipun sudah tersedia minimal alat bukti itu dua, ternyata ada empat atau lima untuk Ahok itu diproses lebih lanjut ke pengadilan, KPK mengatakan, Ahok tidak ada niat jahat," lanjut Marwan. (tribunnews, 27/11/2019)

 Sebelumnya diketahui, pembangunan RS Sumber Waras menyebabkan kerugian negara hingga Rp191,3 miliar pada 2015 lalu. Penemuan BPK menunjukkan adanya hal ganjil terhadap pembelian tanah RS Sumber Waras tersebut yang tidak sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) saat  itu. (mediaindonesia, 22/7/2018)

Lepas dari pro dan kontra, masalah yang terlihat kompleks ini sejatinya sederhana.  Semua terpulang pada satu kata, demokrasi.  Sebab dalam alam demokrasi penistaan agama tak segan dilakukan.  Berdalih kebebasan dan hak asasi penghinaan Nabi pun bukan mustahil terucap dari lisan.  Demikian pula dengan korupsi.  Kutipan di awal tulisan tentu bukan ucap kosong tanpa makna dan data.  Fakta menunjukkan di bumi pertiwi korupsi telah membudaya.  

Tak heran seorang Sujiwo Tejo tajam menyindir, “Kenapa orang Indonesia selalu mempromosikan batik, reog? Kok korupsi nggak? Padahal korupsilah budaya kita yang paling mahal.”

Melansir dari laman online,  Sejak berdiri pada Desember 2002 lalu, lembaga antirasuah alias KPK mencatat telah memproses 119 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi. (kompas.com, 8/10/2019)

Jelas perkara Ahok tak sendiri.  Semua merupakan buah dari demokrasi yang makan banyak biaya dan berkawan akrab dengan politik dagang sapi.  Tak sedikit pesta rakyat berakhir dengan bagi-bagi kursi dan kompromi antar tim suksesi.  Berikutnya bila sudah menjabat mudah tergelincir korupsi demi memenuhi tuntutan partai dan anak istri.

Pertanyaannya, apakah dalam kasus Ahok juga berlaku demikian?  Benarkah sikap ngotot Sang Menteri menunjuk Ahok semata ingin membasmi salah kelola atau ada udang di balik bakwan?  Hanya Allah dan beliau yang tahu.

'Bersih-Bersih' dengan Islam

Mengapa Islam?  Jika tidak Islam lalu dengan apa?  Rezim demi rezim silih berganti.  Upaya mengatasi korupsi juga tak henti.  Tapi nyatanya korupsi semakin subur nan berisi.  Tak salah bila diartikan, cara selain Islam terbukti gagal.  

Berbeda dengan Islam yang dibangun berdasarkan akidah Islam dan ketakwaan kepada Allah. Iman dan takwa inilah yang pada gilirannya akan membentuk self control.  Sikap teguh pada amanah yang menjadikan para pejabat tidak bisa disuap. 
Karena yakin  Allah  Maha Melihat dan Mendengar tingkah laku mereka.
 
Ada pun mekanismenya sebagai berikut, 
Pertama, Islam mewajibkan negara  memberikan gaji yang memadai kepada para aparaturnya, untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder hingga tersier. 
Kedua, mensyaratkan adil dan takwa dalam pengangkatan aparatur negara selain profesionalitas.
Ketiga, melakukan perhitungan kekayaan para pejabat sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih yang tidak masuk akal, maka negara bisa merampasnya. 
Keempat,   mewajibkan negara menjamin pelaksanaan sangsi baik dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. 

Khalifah Umar bin Khatthab pernah mengangkat pengawas khusus, yaitu Muhammad bin Maslamah, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat sebelum dan sesudah menjabat.  Berdasarkan laporannya, Umar pernah membagi selisih kekayaan Abu Hurairah (Gubernur Bahrain) dan Amru bin Ash (Gubernur Mesir) di tengah umat.  Pada zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik kepentingan.  

 Tampak jelas alih-alih diangkat sebagai pejabat kembali, bagi yang sudah nyata korupsi berarti kehilangan salah satu kriteria yang menjadikannya layak sebagai pejabat, yaitu adil lawannya fasik. Sedang fasik adalah orang yang melakukan kejahatan dengan terang-terangan, dan tidak mempunyai rasa malu. 

Sungguh Islam sempurna mengatasi tanpa basa-basi.  Sejak pencegahan hingga solusi.  Sayang cemerlangnya syariah  bersinar hanya bila kaffah diterapkan.  Sebagaimana firman Allah,  

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (TQS Al Baqarah :208)
Wallaahu a’lam.
 



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak