Oleh: Aishaa Rahma
( Activist Literacy for Change)
Kemiskinan merupakan masalah utama yang penanganannya terus diupayakan oleh pemerintah hingga kini. Krusialnya penanganan kemiskinan menjadikan masalah ini masuk dalam misi pembangunan nasional tahun 2015-2019 yaitu mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera. Dalam nawacita atau sembilan agenda prioritas pembangunan tahun 2015-2019 pun secara implisit tercantum yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia. Namun rupanya, diawal periode kedua kepemimpinan Jokowi kini, masih jauh dari angan serta janji meroketnya ekonomi dalam negeri.
dilansir melalui IDTODAY.CO - Belakangan angka pengangguran di Indonesia dikabarkan menurun, namun nyatanya berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tengah tahun ini, tercatat ada 5,01 persen penduduk produktif yang menganggur. Indonesia tertinggal dari Laos dan Kamboja, yang secara berurutan mencatatkan 0,60 persen dan 0,10 persen pengangguran dalam data BPS. Artinya, ini memang menjadi angka terendah dalam sejarah Indonesia, tetapi tetap menjadi yang tertinggi kedua di Asia Tenggara.
Tak hanya angka pengangguran, Berita mengejutkan Melalui CNN Indonesia Asian Development Bank (ADB) melaporkan 22 juta orang Indonesia masih menderita kelaparan. ADB bersama International Food Policy Research Institute (IFPRI) mengungkapkan hal itu dalam laporan bertajuk 'Policies to Support Investment Requirements of Indonesia's Food and Agriculture Development During 2020-2045'.
Kelaparan yang diderita 22 juta orang tersebut, atau 90 persen dari jumlah orang miskin Indonesia versi Badan Pusat Statistik (BPS) yang sebanyak 25,14 juta orang dikarenakan masalah di sektor pertanian, seperti upah buruh tani yang rendah dan produktivitas yang juga rendah."Banyak dari mereka tidak mendapat makanan yang cukup dan anak-anak cenderung stunting. Pada 2016-2018, sekitar 22,0 juta orang di Indonesia menderita kelaparan," terang laporan tersebut dikutip dari laman resmi ADB, Rabu (6/11).
Kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi juga tercatat terus turun. Pada 1975 silam, sektor pertanian masih menyumbang 30 persen. Kemudian, susut menjadi 23 persen pada 1985, dan berlanjut menjadi 15,3 persen pada 2010. Lalu, 13,1 persen pada 2017 lalu. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian menyerap lebih lambat tenaga kerja ketimbang pertumbuhan sektor pertanian. Kemudian, meskipun tren produksi pangan meningkat, tetapi distribusinya tidak merata tersebar di Indonesia. "Kerawanan pangan tetap menjadi masalah," tulis laporan tersebut.
Salah satu buktinya, Indonesia menempati urutan ke-65 di antara 113 negara dengan Indeks Keamanan Pangan Global (GFSI) yang dirilis Economist Intelligence Unit (The Economist 2018).
Ditambah janji basi yang ditargetkan Jokowi tak mampu menunjukkan geliat perubahan nyata. Melansir dari CNBC Indonesia - Perekonomian Indonesia tumbuh tapi melambat. Jangankan menagih janji pertumbuhan 7% di awal kampanye Joko Widodo (Jokowi) 2014 lalu, hingga kini, ekonomi Indonesia tak mampu bergeser dari 5%. Perlambatan ekonomi Indonesia kian nampak sejak triwulan I-2019. Dan BPS baru saja melaporkan ekonomi Indonesia tumbuh melambat pada triwulan III-2019. Ekonomi Indonesia tumbuh 5,02% di triwulan III-2019 atau lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang mencapai 5,05%.
Berdasarkan data terbaru, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di tahun ini sudah berkali-kali melemah.Bahkan di Oktober 2019 menunjukkan pelemahan kembali. Sudah lima bulan IKK mengalami penurunan, meski nilainya masih di atas 100. Bank Indonesia (BI) melaporkan, IKK pada Oktober berada di 118,4. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 121,8. Sekadar mengingatkan, 7% merupakan target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Jokowi kala berkompetisi melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam gelaran pemilihan presiden (Pilpres) 2014.
Melansir data Refinitiv, pada tahun 2015 atau tahun pertama di mana Jokowi menjabat penuh sebagai presiden, pertumbuhan ekonomi justru longsor ke angka 4,79%. Selepas itu, pertumbuhan ekonomi selalu nyaman berada di batas bawah 5%. Dan praktis terus menurun hingga tahun 2019. Bahkan, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.
Konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Belum lagi soal Wacana penghapusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) guna menarik investor asing, ditolak oleh beberapa pemerintah daerah. Salah satunya Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto. bukan berarti tidak mendukung visi dan misi dari Presiden Joko Widodo untuk menarik sebanyak-banyaknnya investasi. Justru dirinya ingin agar kebijakan menarik investasi ini baik untuk semua pihak baik dari sisi investor juga masyarakat. Mengingat meskipun sudah ada IMB dan Amdal, masih banyak yang melanggar aturan. Untuk di Kota Bogor sendiri masih sering ditemukan tiba-tiba berdiri bangunan bertingkat 17 lantai yang tidak sesuai izin IMB dan Amdal. okefinance.com (8/11/2019)
Sederet permasalahan ekonomi,sosial hingga tata kelola yang serba carut marut tengah melanda bangsa ini. Lantas adakah solusi yang tidak mencederai rakyat sekaligus mampu memperbaiki kondisi secara sistemik?
Arah Kebijakan Rezim Neoliberal
Membaca situasi yang terjadi di tanah air, nampak bahwa fokus perekonomian Indonesia cenderung mengarah pada Neoliberalisme yang memiliki prinsip Teori ekonomi neoklasik yang mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik, sebab akan mengarah pada perdebatan Distorsi dan Ekonomi Biaya Tinggi (Awal R dan Nasyith M, 2008). Para Pengusaha atau Pemilik modal memiliki hak penuh untuk mengendalikan pasar tanpa ada perlindungan dari pemerintah sehingga meningkatkan penguasaan kekayaan atau bahan oleh golongan-golongan tertentu saja jika pemilik modal terkuat. Pada hakikatnya, Neoliberalisme adalah konsep paling mutakhir dari Kapitalisme. Dengan mengedepankan persaingan bebas adalah kunci kemajuan ekonomi, tanpa ada distorsi dari pemerintah. Neoliberalisme mengambil alih pemilik modal terkuat menjadi paling berkuasa untuk mengambil kebijakan dan mengatur pasar. Maka akibatnya yang kaya semakin kaya dan miskin makin sengsara. Sebab segala sesuatu kegiatan ekonomi yang diperlukan orang banyak di privatisasikan untuk kepentingan asing. Hal ini tentu saja memicu pergolakan ekonomi yang tumpang tindih,
Bukan hanya itu, Neoliberalisme memiliki paham yang menghasilkan lebih banyak dan lebih tinggi akan lebih baik dibandingkan dengan yang tinggi. Tugas pemerintah hanya menciptakan Lingkungan Jadi modal dapat bergerak bebas dengan baik. Dalam kondisi demikian, kebijakan-kebijakan pemerintah diambil berdasarkan logika pasar yaitu seperti, ganti subsidi, biaya pelayanan publik dan pembenahan fasilitas publik. Akhirnya rakyat miskin tidak mendapatkan perhatian, bahkan taraf pindah pun tak kunjung meningkat. Karena arus peredaran uang dan keuntungan hanya berpihak pada pengusaha atau pemilik modal besar. Kekuatan (power) adalah penentu dalam memenangkan paradigma persaingan ekonomi. Kebijakan-kebijakan pemerintah pun memutuskan Kemiskinan secara struktural, karena hanya berpihak pada sebagian kecil elit saja.
Kebijakan pemerintah yang lebih berorientasi pada Paham Ekonomi dimulai sejak naiknya pemerintahan Orde Baru, kebijakan dibuka lebar investasi yang langsung dilaksanakan pada tahun 1967, terkait dengan undang-undang pendukung, yaitu Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA). Kombinasi, negara-maju seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang yang mengatur untuk pembagian-bagi daerah yang akan menjadi kendali mereka di Indonesia. Dan yang menjadi sumber mereka sumber daya alam. Negara-negara industri ini kemudian mengeruk sebanyak-banyaknya bahan baku kekayaan alam Indonesia untuk kemudian diolah menjadi bahan jadi di negaranya.
Menurut Stepen Green (2003), Ada enam alasan pentingnya privatisasi badan usaha milik Negara (BUMN), yaitu (1) mengurangi keuangan pemerintah, (2) meningkatkan efisiensi pengelolaan perusahaan, (3) meningkatkan profesionalitas perusahaan pengelolaan, (4) mengurangi campur tangan birokrasi / pemerintah melawan perusahaan , (5) mendukung pengembangan pasar modal dalam negeri, (6) sebagai pembawa bendera (carrier flag) untuk go international. Bukti empiris menunjukkan kebijakan privatisasi BUMN di Indonesia, lebih merupakan agenda restrukturisasi ekonomi yang dipaksakan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.
Lahirnya kebijakan privatisasi menyebabkan pemerintah tidak lagi memiliki wewenang untuk ikut menentukan keputusan strategis dan saran kedepan yang ingin diterima perusahaan. Pemerintah juga tidak memiliki anggaran untuk intervensi. Dalam hal ini, pemerintah tidak memberikan bantuan terkait dengan pengaturan fungsi, distribusi dan perawatan berkonsumsi, peran pemerintah tetap terkait kepemilikan saham emas. Dengan demikian, privatisasi sebetulnya tidak menjadi tanggung jawab pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya atas masyarakat. Terkait, kekayaan negara yang hakikatnya milik rakyat terus menyusut, ada beberapa nama-nama Perusahaan yang dulunya milik Indonesia, kini hanya tinggal kenangan.
Seperti yang terlihat, pemerintah tidak berdaya untuk membantu mengendalikan fungsi-fungsi pelayanan, distribusi dan berkonsumsi berkonsultasi, peran pemerintah tetap lolos kepemilikan saham emas. Dengan demikian, privatisasi sebetulnya tidak menjadi tanggung jawab pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya atas masyarakat. Terkait, kekayaan negara yang hakikatnya milik rakyat terus menyusut, ada beberapa nama-nama Perusahaan yang dulunya milik Indonesia, kini hanya tinggal kenangan.
Islam Menuntaskan Problematika Dunia.
Walaupun demikian, tidak berarti sama sekali tidak ada harapan. Harapan untuk kebangkitan kembali ekonomi kerakyatan tersebut setidak-tidaknya dapat disimak dalam lima hal sebagai berikut. Pertama,mencuatnya perlawanan terhadap hegemoni AS dari beberapa negara di Amerika Latin dan Asia dalam satu dekade belakangan ini. Yang menonjol di antaranya adalah Venezuela dan Bolivia di Amerika Latin, serta Iran di Asia. Kedua, mulai terlihatnya gejala pergeseran dalam peta geopolitik dunia, yaitu dari yang bercorak unipolar menuju tripolar, sejak munculnya Uni Eropa dan kebangkitan ekonomi Cina. Ketiga, berlangsungnya krisis kapitalisme internasional yang dipicu oleh krisis kapitalisme AS sejak 2007 lalu. Keempat, meningkatnya kerusakan ekologi di Indonesia pasca dilakukannya eksploitasi ugal-ugalan dalam rangka neo-kolonialisme dan neo-liberalisme dalam 40 tahun belakangan ini. Dan kelima, meningkatnya kesenjangan sosial dan ekonomi dalam perekonomian Indonesia.
Untuk membangun negeri ini, masih dibutuhkan usaha raksasa untuk mendobrak situasi sruktural kemiskinan dan keterbelakangan tersebut dan mendirikan fondasi sistem ekonomi baru. Karena itu, peran negara yang berpihak pada rakyat dan kebijakan proteksionisme atau nasionalisme ekonomi masih sangat diperlukan. Proteksi diperlukan khususnya bagi sektor-sektor strategis yang akan mendatangkan kekayaan dan modal nasional, seperti sektor migas dan energi alternatif, serta pertanian (pangan termasuk perikanan dan komoditas tropis).
Jadi ada dua bagian dari sistem ekonomi, yaitu sektor ekonomi nasional strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang selayaknya diproteksi dan sektor non-strategis yang diserahkan kepada pasar yang diregulasi dengan baik. Untuk itu harus jelas paradigma ekonomi yang dianut dalam pembentukan dan pengembangan sistem ekonomi Indonesia, yang haruslah bersifat kerakyatan dan sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 45 dan penjelasannya. Dalam hal ini, sektor negara harus mendapat catatan penting, yaitu pembentukan sebuah negara (state) yang berpihak pada rakyat dan ekonomi yang berkeadilan.
Sebab, pangkal permasalahan yang sesungguhnya adalah buruknya sistem distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Oleh sebab itu masalah ini hanya dapat diselesaikan tuntas dengan cara menciptakan pola distribusi yang adil, dimana setiap warga negara dijamin pemenuhan kebutuhan pokoknya dan diberi kesempatan yang luas untuk memenuhi kebutuhan sekundernya. Kesalahan sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan saat ini adalah bahwa upaya penghapusan kemiskinan difokuskan hanya pada peningkatan produksi total negara, maupun pendapatan perkapita, bukan pada masalah distribusi. Maka sistem ekonomi kapitalis tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah kemiskinan. Sebab pusat persoalannya yaitu distribusi kekayaan tidak ditata sebagaimana mestinya. Akibatnya pemerintahan yang silih berganti selalu mengarahkan pandangan mereka pada pertumbuhan produksi serta peningkatan pendapatan rata-rata penduduk, namun tidak pernah memberi perhatian pada persoalan bagaimana kekayaan tersebut didistribusikan dengan adil di tengah masyarakat.
Padahal dari waktu ke waktu seiring meningkatnya produksi telah terjadi penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang. Pihak yang kuat meraih kekayaan lebih banyak melalui kekuatan yang mereka miliki sedangkan yang lemah seperti kekurangan karena kelemahan yang ada pada diri mereka. Hal inilah yang menambah angka kemerosotan di segala lini, baik itu kemiskinan, pengangguran dan persoalan yang melilit negara.
Islam memberikan penyelesaian masalah kemiskinan ini dengan cara yang unik. intinya harus ada pola distribusi yang adil, dan keadilan distribusi ini di singgung dalam Al-Qur'an. Allah SWT, berfirman: " Apa saja harta rampasan (fa'i) yang diberikan Allah kepada rasul-nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu, Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras syariatannya ( QS. Al-Hasyr 59:7)
secara ekonomi, negara harus memastikan bahwa kegiatan ekonomi baik yang menyangkut produksi, distribusi maupun konsumsi dari barang dan jasa, berlangsung sesuai dengan ketentuan syariah, dan didalamnya tidak ada pihak yang mendzolimi ataupun dizalimi. Karena itu, Islam menetapkan hukum-hukum yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi ( produksi, industri, pertanian, distribusi dan perdagangan), investasi, mata uang, perpajakan, dll, yang memungkinkan setiap orang mempunyai akses untuk mendapatkan kekayaan tanpa merugikan atau dirugikan oleh orang lain.
Selain itu, negara juga menggunakan pola distribusi non ekonomi guna mendistribusikan kekayaan kepada pihak-pihak yang secara ekonomi tetap belum mendapatkan kekayaan, melalui instrumen seperti zakat, shodaqoh, hibah, dan pemberian negara. Dengan cara ini, pihak yang secara ekonomi tertinggal tidak semakin tersisihkan. Maka tak ada salahnya memilih sistem Islam sebagai solusi sistemik. Wallahu a'lam bishawab.
Tags
Opini