Ummu Zhafran
(Pegiat Opini, Member Akademi Menulis Kreatif)
“Demi Dzat (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya. Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian, hingga menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya dan anaknya.” (HR Al-Bukhari, An-Nasai, Ibnu Majah)
Apalah arti hidup ini tanpa cinta. Demikian kata para pujangga. Ya, harus diakui, cinta sanggup bikin hidup penuh warna. Cinta ayah pada ibu, ayah dan ibu pada anak, sesama saudara, keluarga, kerabat hingga sesama manusia. Semua adalah fitrah adanya. Sudah pasti hadirnya tak butuh alasan dan bila sudah cinta serasa segalanya.
Boleh tanyakan pada insan dimabuk cinta. Perkataan apa saja yang keluar dari lisan pasangan bagai titah raja pada jelata. Tiada sanggahan apalagi keluhan. Jika ditanya mengapa, pasti jawabnya karena cinta. Luar biasa.
Betapa cinta ke sesama makhluk Allah bisa sedalam itu, apatah lagi cinta kepada manusia termulia di muka bumi ini? Rasulullah Muhammad saw. pastinya.
Amboi, sabda Baginda Nabi di atas kiranya lebih dari cukup menyentuh pikir dan rasa kita. Naif, mengaku beriman namun enggan untuk cinta. Sama halnya yang telah mengaku cinta tapi ogah taat syariat agama.
Mencintai Rasulullah saw. Wajib Hukumnya
Sebagai seorang muslim, wajib mencintai Rasul saw.
Firman Allah swt.,
”Katakanlah, ’Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah swt. dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (TQS. At-Taubah: 24)
Ayat ini ialah dalil keharusan untuk mencintai Rasulullah saw. Dalam ayat tersebut juga menunjukkan begitu besar hak Rasulullah saw. untuk dicintai, sebab dalam ayat tersebut Allah swt. memberi ancaman bagi orang-orang yang lebih mencintai harta, keluarga, dan anak-anak daripada mencintai Allah dan Rasul-Nya. Bahkan di akhir ayat, Allah menggolongkan orang-orang yang mempraktikkan hal tersebut sebagai orang sesat. Jauh dari hidayah Allah.
Senada dengan kutipan hadis di awal. Bahwasanya kualitas iman juga sangat ditentukan dengan sejauh mana cinta kita kepada Rasulullah. Orang yang memiliki iman yang sempurna selalu menempatkan cintanya kepada Rasul saw. pada urutan pertama dibanding cintanya kepada lainnya. Melebihi cinta kepada orang tua, pasangan halal, buah hati, bahkan dirinya sendiri.
Maka mencintai Nabi saw. hukumnya wajib, sesuai kaidah ushul fiqih, apabila perbuatan itu dikerjakan maka dijanjikan pahala sebaliknya bila ditinggalkan siksa menanti.
Buktikan Cinta dengan Taat
Mengaku cinta galibnya miliki konsekuensi. Terlebih cinta pada Sang Nabi. Satu-satunya dengan meraih ketaatan yang hakiki. Tunduk patuh pada syariah tanpa tapi tanpa nanti.
Kalam Allah swt.,
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali Imran: 31).
Inilah substansi dari makna mencintai sebab kata ‘Aku’ merujuk pada Rasulullah saw.
Dengan kata lain mengupayakan cinta kepada Allah berarti cinta pula pada Rasulullah untuk selanjutnya siap mengikuti apa saja yang datang dari Rasul saw. Dengan sendirinya Alquran dan AsSunnah tak sekedar jadi bacaan tapi juga pedoman.
Di lain sisi mengaku mencintai Allah namun tidak mengikuti Rasulullah, maka pengakuan tersebut ibarat tong kosong nyaring bunyinya. Bahkan menurut Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadhus Shaalihiin, pelakunya layak disebut pembohong karena di antara tanda kecintaan kepada Allah adalah mengikuti Rasul-Nya.
Lantas, apa kabar kondisi umat terkini? Miris, ujian demi ujian seakan tak henti menghampiri. Belakangan syariat yang dibawa Rasul saw. seperti disanding dengan radikalisme. Pasalnya cadar dan celana cingkrang yang bisa dirujuk dalilnya dalam syariat malah dituding terpapar radikal. Tak tanggung-tanggung yang menuding adalah orang nomor satu di Kementerian Agama.
Meski setelah menuai kritik, akhirnya Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi meminta maaf bila beberapa pernyataan yang terlontar darinya menjadi polemik. Dia mengatakan mengeluarkan pernyataan tersebut agar menjadi gaung sebelum peraturan dikeluarkan ataupun agar masyarakat ingat peraturan-peraturan yang ada. (detik.com, 5/11/2019).
Tapi justru peristiwa ini makin menegaskan posisi negeri yang terkungkung sekularisme. Memisahkan aturan agama dari solusi permasalahan hidup. Simak saja komentar satire dari seorang budayawan muslim, Emha Ainun Najib,
“Di negeri ini Tuhan harus patuh pada konstitusi negara. Nabi dan Rasul tidak boleh melanggar peraturan perundangan negara. Agama wajib menyesuaikan diri terhadap Pancasila. NKRI harga mati. Negara jangan sampai kalah lawan Tuhan.”
Nyata, sekularisme vis a vis dengan cinta untuk Rasulullah saw. Kontraproduktif. Alih-alih membuktikan cinta dengan ketundukan, malah bisa bikin cinta luntur. Kalau sudah tak cinta, taat tinggal angan sementara neraka siap mengejar. Na’udzubillah.
Saatnya katakan tidak pada sekularisme. Mari kembali merajut benang cinta pada Habibiy Baginda Nabi Muhammad saw. Bukan hanya pada sosoknya yang mulia, lebih utama pada syariat agung Sang Pencipta. Iring dengan tekad untuk selalu taat atas nama cinta.
Walhasil kiranya ayat di bawah ini cukup untuk mengusir segala enggan dan takut. Bersegera menyambut cinta Rasul saw dengan meniti jalan perjuangan dakwah beliau menegakkan syariah kaffah. Meski harus berlelah lillah (semata karena Allah).
Firman Allah swt.,
"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (TQS. At Taubah : 128). Shollu ‘alan Nabiy! Wallaahu a’lam.