Oleh: Yuyun Pamungkasari
Belakangan, diskursus radikalisme kembali menguat di berbagai media dan forum diskusi publik. Isu ini santer mencuat setelah Presiden mengumumkan perang melawan radikalisme sebagai tugas khusus tiga kementerian dalam kabinetnya. Tak lama berselang, para menteri tersebut pun bersuara mengenai radikalisme hingga memicu kegaduhan publik akibat ketidakjelasan terminologi dan arah perang melawan radikalisme yang dimaksudkan. Di sisi lain, ancaman kemerosotan ekonomi yang tampak nyata di depan mata tidak sedikitpun disinggung apalagi dibesarkan sebagaimana bahaya radikalisme. Tak ayal, banyak pengamat menilai pemerintah hanya menjadikan isu radikalisme ini sebagai upaya menutupi kinerja ekonominya yang buruk. Sebagaimana diungkap ekonom senior Rizal Ramli dalam sebuah diskusi di salah satu televisi swasta. (https://www.kompas.tv/article/57821/dialog-melawan-ancaman-radikalisme-rizal-ramli-isu-itu-tutupi-ekonomi-buruk).
Tokoh masyarakat Papua, Christ Wamea, pun mengingatkan agar pemerintah tidak melulu ‘jualan’ isu radikalisme hingga dibicarakan oleh semua anggota kabinet. Christ khawatir isu itu sengaja dimunculkan untuk menutupi masalah yang jauh lebih besar. Bagi Christ, momok di negeri ini bukanlah radikalisme melainkan ekonomi yang hancur. (https://indonesiainside.id/news/nasional/2019/10/27/tokoh-papua-isu-radikalisme-untuk-tutupi-masalah-besar). Hal senada disampaikan pula oleh Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Hanafi Rais, ketika mengomentari pelarangan penggunaan celana cingkrang dan cadar di instansi pemerintah dalam rangka menangkal radikalisme. Hanafi Rais menilai Menag Fachrul Razi ketika mengaitkan radikalisme dan agama bisa saja untuk menutupi kondisi ekonomi Indonesia yang tengah terpuruk. (http://www.rmoljatim.com/read/2019/11/02/13799/Larangan-Cadar-Dicurigai-Untuk-Tutupi-Kemerosotan-Ekonomi-).
Logika absurd yang dibangun pemerintah dalam menarasikan radikalisme memang sangat kuat terbaca sebagai bentuk pengalihan isu. Bagaimana tidak? Dari dulu hingga sekarang, istilah radikalisme yang diklaim sebagai musuh Pancasila tidak pernah didefinisikan secara jelas dengan batasan terukur. Alih-alih menerangkan kepada masyarakat, hari ini pemerintah malah menciptakan stigma atas Islam. Simbol-simbol Islam, praktik beragama Islam dan pemahaman Islam yang dimiliki seseorang menjadi obyek cap radikal. Padahal itu semua merupakan bagian dari hak tiap warga muslim menjalankan ajaran agamanya. Mengapa dipersoalkan bahkan dianggap kriminal?
Jika dikatakan bahwa berbagai kasus pengeboman yang terjadi di Indonesia bahkan terakhir penusukan Wiranto dijadikan alibi daruratnya paham radikal, sampai detik inipun tidak bisa dibuktikan bahwa semua pelaku telah terpapar radikalisme. Mengapa? Karena semua pelaku sudah ditembak mati di tempat tanpa bisa dimintai keterangan dan telah dijatuhkan sanksi bunuh tanpa melalui proses persidangan. Tak trkecuali pelaku penusukan Wiranto, pada akhirnya keterangan pejabat terkait menyatakan bahwa pelakunya merupakan orang stres yang menjadi korban penggusuran. Nah, bagaimana mungkin disimpulkan semua kejadian teror tadi diakibatkan radikalisme? Selanjutnya, adilkah bila semua fakta tersebut dialamatkan kepada Islam -yang belum terbukti akurat- hanya karena pelakunya memakai cadar, celana cingkrang, berjenggot, rajin sholat dan gemar mengikuti majelis ilmu?. Ironis.
Sindrom Islamofobia yang diidap rezim hari ini terbilang kronis. Sebab berbagai tuduhan serius ini senantiasa diarahkan pada Islam. Bahkan pasca peristiwa teror dan penangkapan atau penembakan terhadap pelaku, mesti diikuti monsterisasi dan intervensi atas ajaran dan pemahaman Islam. Masyarakat pun akhirnya menyadari ke arah mana perang melawan radikalisme ini ditujukan. Sungguh mencederai akal sehat publik. Tak berhenti sampai disitu, masyarakat mulai membaca pula adanya pengalihan isu besar ketika agenda radikalisme ini terus-menerus digulirkan padahal absurd.
Ekonomi Indonesia Kian Terpuruk
Dalam cuitan pribadi ekonom Rizal Ramli, dinyatakan bahwa isu radikalisme akan terus dimainkan dalam setahun pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin. Rizal menyindir “Setahun kedepan agaknya akan digoreng terus isu 3R (radikalisasi, radikulisasi & radikolisasi),” Minggu (27/10).
Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu mengaku telah mencium ada maksud lain dari pemerintah dengan terus mendengungkan isu tersebut. Di antaranya, untuk menutupi peforma ekonomi yang kembali memburuk di tahun ini. Rizal yang juga mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, sudah memprediksi bahwa ekonomi Indonesia bakal nyungsep tahun ini. Pertumbuhan ekonomi diprediksi tidak sampai 5 persen. Hanya akan berada di level 4,5 persen saja. Artinya, ekonomi dalam negeri akan melambat ketimbang 2018 lalu yang masih tumbuh 5,17 persen. (https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20190812141058-532-420551/rizal-ramli-ramal-ekonomi-2019-anjlok-ke-level-45-persen).
Proyeksi pertumbuhan 4,5 persen tersebut ditetapkan berdasar mayoritas indikator makro ekonomi Indonesia yang terlihat negatif. Salah satunya, transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang semakin defisit. Pada kuartal II 2019, defisit mencapai US$8,4 miliar atau 3 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Angka defisit itu membengkak hingga 21 persen dari kuartal I 2019 yang hanya US$6,97 miliar. Jika diakumulasi, defisit transaksi berjalan periode April-Juni 2019 melebar 6,2 persen dari periode yang sama tahun lalu sebesar US$7,95 miliar.
Transaksi berjalan sendiri merupakan rekaman arus devisa yang keluar masuk Indonesia melalui sektor riil. Devisa yang masuk dari sektor riil lebih bertahan lama, ketimbang yang masuk dari portofolio. Hal itu menyebabkan transaksi berjalan punya peran penting dalam stabilitas keuangan di Indonesia. Sayangnya, pembengkakan CAD tersebut terjadi karena ada penurunan kinerja pada hampir semua pos transaksi di dalamnya, seperti transaksi barang, transaksi jasa, dan pendapatan primer. Hanya pos pendapatan sekunder saja yang bisa membukukan peningkatan kinerja. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20190813120138-4-91632/kata-rizal-ramli-ekonomi-ri-nyungsep-cek-faktanya-nih/2).
Sebagai gambaran, salah satu penyebab defisit transaksi berjalan yang melebar, kata Rizal, tak lepas dari jumlah ekspor yang terus menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Juni 2019 anjlok 20,54 persen dibanding bulan sebelumnya yakni US$14,83 miliar. Sementara secara tahunan, ekspor turun 8,98 persen. Kemudian, nilai impor menurun sebesar 20,7 persen dari US$14,61 miliar menjadi US$11,58 miliar. Secara keseluruhan, neraca dagang sebenarnya surplus pada Juni sebesar US$200 juta, tetapi angkanya hampir sama dengan periode sebelumnya.
Di tengah kondisi seperti ini, ia menilai kebijakan yang diambil pemerintah belum optimal. Masalahnya, pemerintah justru terkesan fokus untuk menarik pajak dari masyarakat kelas menengah ke bawah dibandingkan menengah ke atas. Ditambah dengan kebijakan andalan Menteri Keuangannya yaitu ber-utang. Pasca dilantik, Sri Mulyani telah mengumumkan rencana menerbitkan surat utang berdenominasi valuta asing atau global bond. Langkah Sri Mulyani itu diambil karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 mengalami defisit sementara kebutuhan negara membengkak. Defisit APBN 2019 sebesar Rp 199,1 triliun atau 1,24 persen dari PDB pada akhir Agustus 2019. Defisit tersebut berasal dari belanja negara sebesar Rp 2.461,1 triliun, sementara pendapatan hanya sebesar Rp 1.189,3 triliun.
Bila ekonomi terus melambat, transaksi berjalan semakin defisit, dan kebijakan pajak tak diubah, Rizal memprediksi Indonesia akan kembali mengalami krisis. Jurus monoton Menteri Keuangan Sri Mulyani ini dinilai tidak bakal ampuh mendongkrak ekonomi Indonesia. Sebab hanya mengandalkan utang dan kebijakan austerity atau pengetatan anggaran tanpa ada terobosan-terobosan. Lagi-lagi, rakyat kecil menjadi korban.
Tidak hanya penilaian Rizal Ramli, mewakili suara pengusaha nasional, Erwin Aksa membeberkan sejumlah keluhan dari pengusaha selama masa pemerintahan Presiden Jokowi 4,5 tahun terakhir. Dia bilang sejumlah sektor mengalami tekanan berat, utamanya sektor riil yang menjadi salah satu penggerak terbesar ekonomi dalam negeri. “Kita ini merasakan sektor riil tidak bergerak. Daya beli turun, harga mahal. Itu tidak bergerak. Masyarakat tidak punya lagi space, tidak punya lagi tabungan untuk belanja lebih dari kebutuhan pokok mereka. Mereka tidak bisa lagi jalan-jalan, tidak bisa lagi liburan. Tidak bisa lagi belanja 2-3 kali per bulan. Jadi toko-toko pada sepi,” katanya dalam acara Diskusi Bareng Aliansi Pengusaha Nasional (APN) Indonesia di Hotel Century Park, Jakarta, Senin (8/4/2019).
Inilah realitas riil yang menjadi ancaman. Pertumbuhan ekonomi macet. Utang semakin menggunung hingga tembus Rp5.000 triliun. Deindustrialiasi tak terbendung. Pengangguran membengkak dan lapangan kerja yang dicipta entah untuk siapa. Kemiskinan tak kunjung menurun. Justru harga-harga terus melambung. Tak ketinggalan pajak yang senantiasa menekan.
Islam Mengatasi Krisis Ekonomi
Apabila dikaitkan dengan kondisi perekonomian global, sesungguhnya perlambatan ekonomi yang dialami Indonesia juga melanda negara-negara dunia. Sebagaimana pemberitaan Bloomberg (21/10/2019), para Menteri Ekonomi seluruh dunia tengah mencermati tanda-tanda resesi global yang boleh jadi menimpa di 2020. Seperti mulai adanya gejolak di stock market, stimulus fiskal dan defisit anggaran, penurunan tingkat suku bunga, peningkatan resiko kredit, peningkatan utang negara dan penurunan Gross Domestic Product (GDP) yang tidak hanya berlangsung di negara berkembang, melainkan juga di negara maju seperti Jepang, Inggris, Jerman dan Amerika Serikat. Maka, bisa dipastikan krisis ekonomi 2020 yang menimpa Indonesia, bukan lagi sekedar ramalan melainkan ancaman nyata yang bisa tidak terelakkan. Artinya, mau ditutupi dengan narasi radikalisme sekencang apapun, keterpurukan ekonomi Indonesia sedang berjalan hari ini.
Krisis ekonomi global yang terus berulang merupakan konsekuensi logis dari penerapan sistem ekonomi kapitalis secara global di seluruh dunia. Sistem ekonomi Kapitalisme dibangun atas dasar kebebasan baik kebebasan kepemilikan harta, kebebasan pengelolaan harta maupun kebebasan konsumsi. Asas kebebasan ini, menurut Thabib, 1) tidak layak, karena melanggar segala nilai moral dan spiritual. Bisnis prostitusi, misalnya, dianggap menguntungkan, meski jelas sangat melanggar nilai agama dan merusak institusi keluarga. Kerusakan sistem ekonomi Kapitalisme juga dapat dilihat dari berbagai pola dan sistem untuk menopang kebebasan kepemilikan harta dan pengelolaannya yaitu: (1) Sistem perbankan dengan suku bunga (2) Berkembangnya sektor non-riil dalam perekonomian sehingga melahirkan institusi pasar modal dan perseroan terbatas; (3) Utang luar negeri yang menjadi tumpuan dalam pembiayaan pembangunan; (4) Penggunaan sistem moneter yang diterapkan diseluruh dunia yang tidak disandarkan pada emas dan perak; (5) Privatisasi pengelolaan sumberdaya alam yang merupakan barang milik dan kebutuhan publik.
Sebaliknya, jika kita berani membuang Kapitalisme untuk kembali pada hukum-hukum Islam, maka kita akan dapati berbagai pengaturan Islam yang cemerlang mampu menangkal krisis ekonomi. Tentu, penerapan sistem ekonomi Islam tersebut tidaklah berdiri sendiri, melainkan harus ditopang dengan sistem politik Islam yaitu Khilafah. Di antara prinsip dan paradigma ekonomi yang akan dilakukan Khilafah untuk mewujudkan hal tersebut adalah:
1. Menjalankan Politik Ekonomi Islam.
Menurut al-Maliki ada empat perkara yang menjadi asas politik ekonomi Islam: Pertama, setiap orang adalah individu yang memerlukan pemenuhan kebutuhan. Kedua, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok dilakukan secara menyeluruh. Ketiga, mubah (boleh) hukumnya bagi individu mencari rezeki (bekerja) dengan tujuan untuk memperoleh kekayaan dan meningkatkan kemakmuran hidupnya. Keempat, nilai-nilai luhur syariah Islam harus mendominasi (menjadi aturan yang diterapkan) seluruh interaksi yang melibatkan individu-individu dalam masyarakat.
2. Khilafah akan mengakhiri dominasi dolar dengan sistem moneter berbasis dinar dan dirham.
Ada beberapa keunggulan sistem dinar-dirham di antaranya: 1) Dinar-dirham merupakan alat tukar yang adil bagi semua pihak, terukur dan stabil. Dalam perjalanan sejarah penerapannya, dinar-dirham sudah terbukti sebagai mata uang yang nilainya stabil karena didukung oleh nilai intrinsiknya. 2) Tiap mata uang emas yang dipergunakan di dunia ditentukan dengan standar emas. Ini akan memudahkan arus barang, uang dan orang sehingga hilanglah problem kelangkaan mata uang kuat (hard currency) serta dominasinya.
3. Khilafah tidak akan mentolerir berkembang sektor non-riil atau sektor moneter yang menjadikan uang sebagai komoditas.
Sektor ini, selain diharamkan karena mengandung unsur riba dan judi, juga menyebabkan sektor riil tidak bisa berjalan secara optimal. Karena itu ketika sektor ini ditutup atau dihentikan oleh Khilafah maka semua uang akan bergerak disektor riil sehingga roda ekonomi akan berputar secara optimal.
4. Khilafah akan membenahi sistem pemilikan sesuai dengan syariah Islam.
dalam sistem ekonomi Islam dikenal tiga jenis kepemilikan: kepemilkan pribadi; kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Untuk kepemilikan umum wajib dikelola oleh negara dan haram diserahkan ke swasta atau privatisasi. Yaitu: (1) yang merupakan fasilitas umum; (2) barang tambang yang tidak terbatas; (3) sumberdaya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu. .
5. Khilafah akan mengelola sumberdaya alam secara adil.
Dalam sistem Islam, Khilafah akan melaksanakan politik dalam negeri dan politik luar negeri. Politik dalam negeri adalah melaksanakan hukum-hukum Islam termasuk pengelolaan sumberdaya alam, sedangkan politik luar negeri menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Pelaksanaan politik dalam negeri dan politik luar negeri mengharuskan Khilafah menjadi negara yang kuat dari sisi militer sehingga mampu mencegah upaya negara-negara imperialis untuk menguasai wilayah Islam dan SDA yang terdapat di dalamnya.
Dengan demikian, tak ada pilihan lain bagi muslim untuk tidak kembali menerapkan sistem Islam. Apalagi terbukti tangguh hingga bertahan 130 tahun lamanya.
Wallahu a'lam bish-showab..
Tags
Opini