Oleh. Sumisih
Masa ini semangat keislaman sangat tinggi dengan adanya orang-orang yang berhijrah, masuk Islam (Mualaf), bangga menampakkan dirinya muslim dan semangat ini tumbuh diberbagai lapisan masyarakat, mulai dari mahasiswa, pelajar hingga masyarakat umum. Kebaikan yang lahir ditengah-tengah kehidupan ini sayangnya tak dipandang baik oleh rezim. Justru sebaliknya, apa yang dilakukan kaum muslimin yakni mulai mengambil dan menerapkan Islam di berbagai bidang kehidupan, baik itu hubungannya dengan Allah hingga hubungannya dengan manusia dipandang sebagai sesuatu yang mengerikan dan berbahaya dari kacamata penguasa, sehingga lahirlah kata radikalisme dan terorisme bagi muslim yang menjalankan syariat Islam secara kaffah. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, sanksi disiplin pencopotan jabatan karena mengunggah konten pro khilafah yang dilakukan ASN di Balikpapan.
Ketakutan penguasa atas bangkitnya Islam diseluruh dunia, ditunjukkan dengan sikap Islamophobia rezim semakin brutal dan ganas di jilid II terhadap Islam dan para pendakwahnya. Ulama banyak yang dikriminalisasi atas nama Radikalisme, pegawai negeri yang tiba-tiba dicopot jabatan hanya karena mengopinikan Islam kaffah atau mahasiswa yang di drop out dari kampus sebab keberaniannya mengkritik penguasa anti Islam.
Namun, hari ini umat sudah cerdas dalam memilah informasi yang disampaikan media pro pemerintah, sehingga isu terorisme hingga radikalisme dipahami umat sebagai bentuk framing penguasa untuk menuntup kritik yang disampaikan umat atas kebijakan yang diterapkan penguasa. Kebijakan-kebijakan dzalim menyengsarakan rakyat, mulai dari kesehatan mahal, tarif dasar PLN melambung tinggi hingga pajak yang kian mencekik serta amburadulnya pengelolaan Negara dan sumber daya alam yang dimiliki.
Negara ini telah menerapkan system kehidupan dengan berasaskan ideology Kapitalis-Demokrasi, dimana setiap undang-undang yang dilahirkan hanya atas nama kepentingan korporat bukan rakyat. Negara melayani segala kebutuhan pengusaha atau pemilik modal tapi mengabaikan jeritan rakyat. Bahkan mirisnya nilai-nilai agama yang berasal dari sang pencipta untuk mengatur tatanan kehidupan pun diabaikan dengan dalih Agama dilarang mencampuri ranah politik atau public.
Islam sebagai aturan kehidupan yang sempurna, telah mengatur penyelenggaraan Negara berjalan sesuai aturan Allah yakni dari Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah Saw. Dimana penguasa diamanahkan menegakkan keadilan dengan standard hukum syara’. Islam memberikan hak kepada rakyat untuk melakukan muhasabbah (Koreksi) kepada penguasa sesuai yang telah ditetapkan syariat Islam, meski seorang perempuan sekalipun akan diterima pendapatnya dengan baik oleh penguasa dalam pemerintahan Islam.
Sebagaimana, dimasa Umar bin Khattab pernah menetapkan regulasi terkait laragan bagi perempuan meminta mahar pernikahan terlampau mahal. Merespon keputusan tersebut, seorang perempuan protes dan mengingatkan satu ayat dalam Al –Qur’an yang artinya : “Padahal kalian telah memberikan kepada seorang diantara mereka harta yang banyak. Karena itu janganlah kalian mengambil kembali harta itu, barang sedikitpun.”
Karena ketundukan Khalifah Umar bin Khattab kepada Islam, beliaupun menarik kembali aturan tersebut sambil berkata: “ Perempuan itu benar dan Umar salah” Masya Allah. Inilah Islam sebuah system aturan kehidupan yang senantiasa membuka celah muhasabbah rakyat kepada penguasa dengan standar yang sangat jelas yakni Hukum Syara’. [Wallahu’alam]