Oleh Wulansari Rahayu
Salah satu postulat yang kini tengah gencar ditebarkan ke masyarakat adalah isu “radikalisme”. Seolah pemerintah mengumumkan genderang perang terhadap radikalisme. Apakah sebenarnya radikalisme benar-benar mengancam negeri ini?
Dibentuknya KIM (Kabinet Indonesi Maju) Jokowi 2019-2024 dapat dipastikan bahwa penanganan radikalisme menjadi tujuan utama yang akan diselesaikan dalam bidang politik dan agama.
Mandat tersebut diberikan kepada Menteri Polhukam yang baru dilantik pada Rabu (23/10) yakni Prof. Mahfud Md dan Menteri Agama Facrul Razi. Keduanya akan bekerja sama guna menangani radikalisme di Indonesia. Mahfud akan fokus pada deradikalisasi sedang Facrul Razi akan bertugas mengurus radikalisme dan intoleransi.
Ikut dilantiknya Tito karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri juga memperjelas sinyal pemerintahan Jokowi dalam lima tahun ke depan akan berfokus pada persoalan melawan radikalisme. Tito akan menindak tegas setiap ASN (Aparatur Sipil Negara) yang aktif meyebarkan paham radikal.
Isu radikalisme ini sebenarnya sudah sejak lama digaungkan. Meskipun jualan ini tidak laku lagi di pasaran, namun terus digoreng dengan narasi baru agar terus hangat di telinga masyarakat. Faktanya masyarakat sudah cerdas, isu ini dimunculkan hanya untuk menutupi kegagalan pemerintah. Masih banyak masalah negeri ini yang lebih penting dibandingkan isu radikalisme. BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) kesehatan defisit, OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang terus membara serta banyaknya angka pengangguran akan lebih baik menjadi fokus pemerintah untuk segera diselesaikan.
Radikalisme sendiri sebenrnya bukan istilah dari Islam. Radikalisme barasal dari kata radical atau radix yang berarti “ sampai ke akarnya” atau mengakar. Istilah ini pertama kali muncul di Eropa untuk menunjukkan sikap gereja yang konsisten dan total terhadap Kristen karena pada saat itu banyak masuk pengetahuan (sains) dan filsafat modern.
Namun kemudian istilah radikalisme dijadikan barat sebagai alat untuk menyerang Islam. Guna menghambat kebangkitan umat Islam. Bahkan Barat melakukan monsterisasi bahwa Islam adalah paham radikal yang membahayakan. Segala upaya dilakukan barat untuk melanggengkan ideologi kapitalisnya, proyek antiradikalisme atau deradikalisasi terus digulirkan dengan menggulirkan wacana medernisasi agama. Proyek inipun berhasil dengan memunculkan istilah baru “Islam Nusantara” dan menjadi tandingan pemahaman Islam yang sahih.
Target barat di balik narasi radikalisme ini pertama, monsterisasi ajaran Islam, terutama khilafah. Padahal khilafah adalah ajaran Islam yang sudah sejak lama diajarkan di pesantren-pesantren di Indonesia. Bahkan disebutkan dalam kitab kuning sebagai kitab wajib bagi para santri.
Kedua, menjauhkan umat dari syariah dan pemikiran Islam. Yakni dengan menyematkan isu “radikalis” terhadap siapapun yang mengkaji ajaran islam dan membuat stigma negatif terhadap kaijian-kajian yang berpotensi melahirkan gerakan radikal.
Ketiga , penyesatan politik dari kapitalime ke Islam yakni bahwa sumber dari seluruh masalah di bidang ekonomi,politik, pendidikan dan sebagainya adalah dari penerapan kapitalisme bukan dari penerapan Islam yang kaffah.
Selama ini pemerintah enggan berpikir obyektif , dan menjadikan radikalisme sebagai pemahaman menyimpang sehingga harus diberantas sesegera mungkin. Namun di sisi lain pemerintah sangat abai terhadap masalah negara lainnya yang justru lebih mendesak untuk segera diselesaikan.
Istilah radikal tidak bergulir alami. Ini seperti direkayasa sedemikian rupa sehingga mengarah pada satu sasaran yakni, Islam. Barat akan terus berupaya memerangi Islam dan kaum muslim. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Alquran QS at-Taubah; 32
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, sementara Allah tidak menghendaki selain menyempurnaan cahaya-Nya walapupun orang-orang kafir tidak menyukainya”
Maka dari itu umat Islam harus bersatu melawan stigmatisasi Islam radikal ini. Karena Islam adalah ajaran yang agung bukan ajaran teroris apalagi mengajarkan kekerasan dan membayahakan.