Oleh : Ressa Ristia Nur Aidah
BPJS Kesehatan meyakini kenaikan iuran bisa memperbaiki keuangan mereka yang selama ini mengalami defisit. Pada tahun 2019 ini, diprediksi BPJS Kesehatan akan mengalami defisit hingga Rp 32,8 triliun jika iurannya tidak naik. Diproyeksikan, keuangan BPJS Kesehatan bisa surplus pada tahun 2020 sebesar Rp 17,3 triliun.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Oktober 2019 lalu. Dalam Pasal 34 Perpres tersebut, tarif iuran kelas Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri golongan III dengan manfaat pelayanan di ruang kelas perawatan kelas III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per bulan tiap peserta. Kenaikannya mencapai Rp 16.500.
Selain itu, iuran kelas mandiri II dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 per bulan untuk tiap peserta. Sementara itu, iuran kepesertaan BPJS Kesehatan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I naik dua kali lipat dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000 per bulan untuk tiap peserta. (kompas.com, 03/11/19)
Hal ini merupakan dampak dari sistem sekuler demokrasi yang sejatinya merupakan sistem negara korporasi dimana negara menjadikan layanan kesehatan yang seharusnya hak mendasar umat sebagai lahan bisnis.
Kenaikan premi BPJS Kesehatan tidak hanya persoalan nilai nominal. Akan tetapi cerminan kezaliman dan kelalaian penguasa dan negara yang luar biasa. Hal ini juga mencerminkan tentang buruknya visi rezim dan negara, di samping hak publik yang dirampas. Kondisi ini dibenarkan atas nama perundang-undangan didalam negara yang menganut faham demokrasi.
Dari sini dapat kita pahami bahwa umat membutuhkan sistem Islam yang menjadikan fungsi negara atau penguasa sebagai periayah (penjaga maslahat) dan pelindung umat. Dan hal itu hanya bisa didapatkan jika pemerintah mau menerapkan Islam sebagai aturan dalam bernegara secara kaffah.
Pemerintah sebagai pemimpin seharusnya sebagai raa’in (pemelihara urusan rakyat) dan junnah(pelindung/pencegah) masyarakat dari berbagai kesulitan termasuk di dalamnya terkait kesehatan.
Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab langsung sepenuhnya dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Sehingga terjamin akses mudah setiap individu, publik terhadap pelayanan kesehatan gratis serta berkualitas. Tidak saja bagi yang miskin tetapi juga yang kaya.
Adapun keseluruhan pembiayaannya berasal dari kekayaan negara dengan anggaran mutlak, yakni berapapun yang dibutuhkan wajib disediakan negara. Selain itu, rumah sakit sebagai unit teknis pelaksana fungsi negara wajib dikelola secara sosial, dan harus steril dari aspek komersial dan bisnis.
Dalam Negara Islam pelayanan kesehatan dilingkupi dimensi sosial dan kemanusiaan yang sangat tinggi. Tidak ada diskriminasi, gratis lagi berkualitas meski yang berpura-pura sakit pun mendapatkan pelayanan yang sama. Pengobatan diberikan secara gratis bagi pria dan wanita, kaya dan miskin, budak dan merdeka dan sejumlah uang diberikan pada tiap pasien yang sudah bisa pulang, agar tidak perlu segera bekerja. Begitupun rumah sakitnya dengan segala kelengkapan medis non medis berikut dokter dan tenaga medis lainnya tersedia memadai, secara kualitas dan kuantitas. Seperti rumah sakit Al Mansyuri yang berkapasitas 8000 tempat tidur. Negara pun melaksanakan tanggung jawabnya kepada orang-orang yang tinggal di wilayah yang belum ada rumah sakit, para tahanan, orang cacat, dan para musafir. Berupa rumah sakit keliling yang dilengkapi dengan obat-obatan, peralatan kedokteran dan sejumlah dokter. Diangkut hingga 40 unta dan menelusuri pelosok negeri.
Para dokter dibebani tugas secara manusiawi, leluasa mendedikasikan ilmu dan keahlian, bahkan begitu terhormat. Dokter tidak saja disyaratkan lulus pendidikan kedokteran tetapi juga harus lulus tes. Rumah sakit berlokasi di tempat terbaik untuk kesehatan, seperti di atas bukit atau di pinggir sungai. Pembiayaan sepenuhnya bersumber dari baitul mal, seperti dilakukan Rasulullah Saw , demikian pula pada Masa-masa khalifah sesudahnya.
Adapun rahasia kesuksesan para khalifah dalam pelayanan kesehatan publik itu adalah kehadirannya sebagai pelaksana hukum syariah, pelaksana sistem kehidupan Islam. Karenanya, kembalinya Khilafah Islam merupakan kunci solusi persoalan dan kebutuhan yang mendesak. Lebih dari pada itu, Khilafah adalah ajaran Islam yang diwajibkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada kita semua.
Wallahua’lam Bis-Shawab