Oleh: Sandrawati Dahlanl
Sejatinya umat (khususnya kaum muslim) di era sekarang ini, tak bisa kita pungkiri bahwa banyak dari mereka yang tak lagi berpegang pada tali Agama Allah secara utuh (keseluruhan). Bahkan kemudian menolak untuk menerapkan atau melaksanakannya, hingga yang terjadi hanyalah kericuhan di tengah-tengah umat. Ini akan terus berlangsung ketika Al-Qur’an dan As-Sunnah tak lagi dijadikan pedoman (pegangan) sebagai petunjuk dalam rana kehidupan yang nantinya akan berpengaruh di akhirat kelak. Apatah lagi, dengan dalih bahwa Agama hanya sebagai ibadah spiritual saja dan tak bisa dialokasikan dalam rana sosial, maka lihatlah yang terjadi hanyalah pemisahan Agama dari kehidupan yakni tak lain dan tak bukan ialah “sekularisme”, dimana paham inilah yang merusaki pemikiran-pemikiran umat khususnya bagi kaum muslim itu sendiri, baik dikalangan orang dewasa, para remaja dan bahkan anak-anak pun sekarang telah disusupi oleh isu-isu terkait dengan suatu paham yakni paham pemisahan Agama dari kehidupan itu sendiri (sekularisme). Sehingga yang terjadi hanyalah kericuhan ditengah-tengah umat.
Sebagai contoh, kita telah mendengar, melihat, dan bahkan telah mengamati dengan seksama bahwa yang terjadi ditengah-tengah umat sekarang ini, tak bisa kita pungkiri bahwa kemaksitan telah menjalar ke mana-mana bahkan ke pelosok dunia sekalipun. Seperti halnya ikhtilat tanpa adanya keperluan yang syar’i, berkhalwat bagi yang bukan mahrom (pacaran) yang mana sumbernya dari liberalisme (paham kebebasan) dan sekularisme (paham pemisahan Agama dari kehidupan) dan korupsi, merebut kursi kekuasaan dengan cara-cara yang tidak senono akibat haus akan jabatan hingga menenggelamkan ratusan nyawa bahkan ribu jutaan sekalipun, yang mana semua itu berasal dari kapitalisme (paham pemilik modal) yang berlandaskan pada asas manfaat semata.
Dan inilah yang akan terus terjadi ketika hukum-hukum Allah di kesampingkan. Apatah lagi, hukum buatan manusia yang lebih di dominankan, padahal kita ketahui bahwa sejatinya manusia itu sifatnya lemah dan terbatas, sehingga tak heran jika kebanyakan terdapat kontroversial di dalamnya. Di tambah lagi dengan adanya paham sekularisme yang mana telah tertanam di benak-benak kaum muslim khususnya, maka hal ini akan dianggap biasa bagi orang-orang yang menjadi pengusung di dalamnya serta para pengikutya. Tapi tidak bagi orang-orang yang beriman (Islam).
Karena Islam senantiasa berada dalam ruang lingkup hukum-hukum syar’i yakni hukum-hukum Allah yang mengatur segala bentuk perintah dan larangan dan halal haramnya segala sesuatu ketika ingin di jadikan sebagai suatu pegangan. Islam pun sangat menjunjung tinggi terkait dengan nilai-nilai toleransi dalam hal gotong-royong dan semacamnya, selagi tidak menyentil terkait Aqidah, dan memberi kebebasan kepada seluruh umat atas keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing, tidak kemudian memaksa mereka untuk memeluk Islam atau meyakini apa yang di anut oleh kaum muslim itu sendiri. Sebagaimana dalam firman Allah: QS. Al-Baqarah [2]: 256).
لَآاِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِ. قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ....
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) Agama Islam, sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dan jalan yang sesat.”
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan :
Yakni janganlah kalian memaksa seseorang untuk masuk Agama Islam, karena sesungguhnya Agama Islam itu sudah jelas, terang, dan gamblang dalil-dalil dan bukti-buktinya. Untuk itu, tidak perlu memaksakan seseorang agar memeluknya. Bahkan Allah-lah yang memberinya hidayah untuk masuk Islam, melapangkan dadanya, dan menerangi hatinya hingga ia masuk Islam dengan suka rela dan penuh kesadaran. Barang siapa hatinya dibutakan oleh Allah, pendengaran dan pandangannya dikunci oleh-Nya, sesungguhnya tidak ada gunanya bila mendesaknya untuk masuk Islam secara paksa.
Dan dalam Islam pun eksistensi marwah seorang wanita itu senantiasa terjaga dan terlindungi. Namun, segala bentuk kemaksiatan akan di berikan sanksi sesuai dengan perbuatannya yang terdapat dalam hukum-hukum syar’i (hukum-hukum Allah). Misalnya; pencuri sanksinya di potong tangan. Sebagaimana dalam firman Allah; (QS. Al-Maidah [5 ]: 38).
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ. فَا قْطَعُوْا أَيْدِ يَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِنَاللَّهِ. وَاللَّهِ عَزِيْزٌحَكِمُ.
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.”
Sebagian kalangan ulama fiqh dari mazhab Zahiri mengatakan, “Apabila seseorang mencuri sesuatu, maka tangannya harus dipotong, tanpa memandang apakah yang dicurinya itu sedikit ataupun banyak,” karena berdasarkan kepada keumuman makna yang di kandung oleh firman-Nya: Laki-laki dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya. (QS. Al-Maidah [5]: 38).
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan melalui jalur Abdul Mu-min, dari Najdah Al-Hanafi yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.” Apakah ayat ini mengandung makna khusus atau umum? Ibnu Abbas menjawab, “Ayat ini mengandung makna umum.”
Dari Penjelasan di atas, yang mana telah sesuai dengan hukum-hukum syar’i (hukum-hukum Allah), kita dapat menganalisah bahwa ini dapat menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Sehingga, ketika ini di terapkan (hukum Islam), maka korupsi dan kemaksiatan lainnya tidak akan menjalar kemana-mana seperti yang terjadi di darul-kufur ini. Wallahu’ alam bi sawab…
Tags
Opini