Oleh : Ummu Zulfa
Hari Pangan Sedunia ( World Food Day) diperingati setiap tahun tepatnya pada tanggal 16 Oktober. Sejak tahun 1981, Hari Pangan Sedunia mengambil berbagai tema pada perayaan ditiap tahunnya dengan tujuan untuk menekankan bagian penting dari dunia pangan yang memerlukan perhatian khusus. Sebagai kebutuhan dasar bagi manusia, pangan memiliki peranan sangat penting bagi kehidupan bangsa dan negara. Ketahanan pangan berarti kemampuan dalam mendapatkan dan mengakses pangan.
Di Indonesia sendiri, Hari Pangan Sedunia di tahun 2019 mengangkat tema “Teknologi Industri Pertanian dan Pangan Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045” (ekonomi.kompas.com).
Lalu bagaimana dengan kondisi ketahanan pangan di Indonesia?
Meski Indonesia dikenal sebagai negara yang tanahnya subur, dengan wilayah lautan yang luas, namun pada faktanya indonesia masih harus mengimpor bahan pangan dari luar negeri. Berdasarkan data ombudsman RI, total impor beras dalam kurun waktu 4 tahun (2015-2018) sebesar 4,7 juta ton. sedangkan total impor gula selama kurun waktu 2015-2018 mencapai 17,2 juta ton, lebih tinggi 4,5 juta ton dibandingkan periode 2010-2014 yang mencapai 12,7 juta ton (indonesiainside.id). Pada bulan September 2018 studi NSEAS menyebutkan Indonesia masih ketergantungan impor sebanyak 29 komoditas pertanian dari beragam negara seperti : beras dan beras khusus, jagung, kedelai, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging lembu, kentang dsb.
Nampaknya tujuan dari HPS (Hari Pangan Sedunia) akan sulit terwujud. Jangankan untuk kedaulatan pangan, untuk mencukupi kebutuhan asupan karbohidrat saja, kita harus mengimpor beras jutaan ton setiap tahunnya. Bahkan janji Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan swasembada pangan pada tiga tahun masa kerjanya pun belum terealisasi.
Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara butuh ketahanan pangan. Namun pemerintah justru malah menggantungkan pemenuhan kebutuhan masyarakatnya dari impor. Di sisi lain kondisi pertanian rakyat juga semakin memburuk. Seperti yang diungkapkan oleh Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana (PSP) Kementan Sarwo Edhi bahwa Indonesia kehilangan 650 ribu hektar lahan sawah.
Kemiskinan di pedesaan juga berimbas pada ketidakmampuan masyarakat memenuhi pangannya secara berkualitas. Seperti yang terjadi di Suku Anak Dalam di kampung Duren kecamatan Renah Pamenang kabupaten Merangin, Jambi dikabarkan mengalami kelaparan. Selama ini, warga terpaksa makan monyet hasil buruan. Itupun jika mereka dapat berburu. Tapi jika tidak, terpaksa hanya mengkonsumsi air putih untuk mengganjal perutnya. Kepala Desa sudah mengajukan permohonan rawan pangan kepada Dinas Sosial namun tidak pernah ada tanggapan (news.harianjogja.com).
Realitas ini adalah buah dari penerapan sistem ekonomi neoliberal kapitalisme sehingga pemerintah lepas tangan dalam mengurusi rakyatnya. Pemerintah menyerahkan pemenuhan hajat rakyat kepada pasar (korporasi). Pemerintah hanya sebatas regulator atau fasilitator untuk membuat aturan. Sehingga pengelolaan pangan bagi rakyat dilakukan dengan prinsip bisnis bukan lagi pelayanan bagi rakyat. Hilangnya kendali negara dalam urusan pangan ini menjadikan masyarakat makin sulit mengakses pangan karena harga mahal. Negara juga berlepas tangan dalam distribusi pangan, sehingga bermuculan mafia pangan mulai dari menimbun, menentukan harga sampai ikut menentukan impor pangan.
Islam solusi ketahanan pangan.
Ketahanan pangan bagi seluruh rakyat akan terwujud hanyalah jika pemerintah hadir secara utuh sebagai pelayan dan pelindung rakyat. Syariah Islam menetapkan bahwa negara wajib bertanggungjawab penuh dalam pengurusan hajat publik yaitu sebagai raain (pelayan) dan junnah (pelindung). Sebagaimana sabda Rasulullah saw : “ Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya), dan ia bertanggungjawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad). Seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan.
Dalam Islam pemimpin bertanggungjawab secaara utuh dalam pengelolaan pangan. Dari mulai proses produksi dan menjaga stok pangan sampai pada distribusi dan stabilitas harga. Sehingga akan terjamin pemenuhan pangan secara merata, mencukupi dan harganya pun terjangkau.
Dalam pandangan Islam, sektor pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi di samping perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia (jasa). Sehingga pengelolaan pertanian perlu dioptimalkan agar kebutuhan pangan rakyat terpenuhi.
Untuk meningkatkan produksi pertanian, negara dapat membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana produksi lainnya. Ini dilakukan bukan atas kepentingan industri pertanian asing.
Dalam permodalan, negara harus memberikan modal bagi siapa saja yang tidak mampu, sebagai hibah (hadiah), bukan sebagai hutang. Sebagaimana pernah dicontohkan oleh Umar Bin Khaththab yang memberikan harta baitul mal (kas negara) kepada para petani di Irak, yang dapat membantu mereka untuk menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa meminta imbalan dari mereka.
Negara juga mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah yang mati. Rasulullah SAW, sebagaimana dituturkan oleh Umar bin Khaththab telah bersabda : “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya.” (HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Dawud). Apabila ada orang yang mengabaikan tanahnya selama 3 tahun berturut-turut, maka tanah tersebut akan diambil alih dan diberikan kepada yang lain. Umar bin Khaththab pernah mengatakan : “Orang yang memagari tanah tidak berhak atas tanah yang dipagarinya setelah membiarkannya selama 3 tahun.”
Selain itu, penataan distribusi kekayaan dilaksanakan dalam keseluruhan, mulai dari kepemilikan harta kekayaan, pengelolaannya, dan juga pendistribusiannya bagi kemaslahatan umat. Negara juga bisa memberikan harta kepada orang-orang yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya.
Ketersediaan kebutuhan pangan merupakan hal penting, sehingga Islam melarang adanya praktek penimbunan barang (termasuk menimbun bahan kebutuhan pokok), karena akan menyebabkan kelangkaan bahan kebutuhan pokok. Serta mencegah tangan-tangan asing dalam pengelolaan bidang pertanian ini.
Untuk menjamin kesejahteraan negara yang meringankan beban rakyat, maka Syariat Islam menetapkan pembiayaan atas berbagai keperluan dibebankan kepada baitul mal. Bahkan ketika harta dalam baitul mal tidak ada atau kurang, sementara sumbangan sukarela kaum muslim atas inisiatif mereka juga belum mencukupi, maka syariat menetapkan pembiayaannya menjadi kewajiban seluruh kaum muslimin.
Islam telah memberikan contoh bagaimana kesigapan negara dalam membantu rakyat yang kelaparan. Khalifah Umar bin Khaththab, di suatu malam berkeliling ke perkampungan penduduk. Tanpa sengaja beliau mendengar rintihan anak menangis dari arah sebuah rumah. Ternyata anak itu menangis karena lapar, sebab orang tuanya tidak memiliki bahan makanan. Sang ibu mencoba menghibur anaknya, dengan memasak batu. Si ibu berharap anaknya tertidur sambil menunggu makanan yang sedang dimasak. Setelah mengetahui kondisi yang terjadi, sang Khalifah pun bergegas mengambil sekarung bahan makanan dari baitul mal, lalu dipikulnya sendiri untuk diberikan pada keluarga yang sedang kelaparan tersebut.
Demikianlah nilai-nilai Islam memberikan kontribusi dalam menyelesaikan masalah pangan. Konsep tersebut akan dapat dirasakan kemaslahatannya apabila diterapkan dalam sebuah institusi negara.
Wallahu a’lam bi ash shawab.
Tags
Opini