Oleh : Rina Tresna Sari, S.Pd.I
(Praktisi Pendidikan dan Member Akademi Menulis Kreatif)
Indonesia negeri elok yang memiliki jumlah penduduk yang cukup padat, namun disayangkan belakangan ini Ketahanan keluarga Indonesia dalam ancaman. Daya tahan keluarga Indonesia di ambang kerapuhan, yang salah satunya ditandai dengan tingginya angka perceraian. Indonesia saat ini menempati ranking teratas sebagai negara dengan angka perceraian tertinggi di dunia.
Hampir disetiap daerah angka perceraian meningkat tajam, salah satunya di Kabupaten Bandung. Dilansir oleh harian pikiran rakyat ( 19/9/2019)- SOREANG, Sepanjang 2019, kasus perceraian yang ditangani oleh Pengadilan Agama Soreang mencapai 6.300 perkara atau rata-rata lebih dari 700 perkara setiap bulannya. Bahkan pada Juli 2019 lalu, PA Soreang mencatat rekor karena menerima sampai 1.011 perkara sekaligus.
Bila kita telisik maraknya kasus perceraian terjadi karena berbagai alasan diantaranya adalah Kondisi sistem ekonomi dan sosial yang rusak saat ini, menjadi donatur utama bagi kerapuhan keluarga.
Beratnya beban keluarga saat ini mungkin tak akan bisa dihadapi para pasangan. Sempitnya hidup berkeluarga dalam sistem kehidupan kapitalis yang memiskinkan, sangat berpengaruh terhadap keharmonisan suami istri.
Begitupun dengan konflik suami istri sering terjadi hanya karena minimnya uang belanja dan ketidakmampuan keluarga mencukupi kebutuhan-kebutuhannya. Keharmonisan suami istri juga sering terganggu oleh paham kebebasan atau liberalisme di segala lini kehidupan.
Belum lagi diberbagai tempat, banyak terpapar hal-hal yang membangkitkan naluri seksual yang berpotensi memalingkan kesetiaan suami ataupun istri. Kecenderungan terhadap lawan jenis juga penyimpangan seksual kian masif.
Bahkan, pasangan yang harmonis pun bisa tergerus oleh semua itu. Mereka yang memiliki pemahaman benar pada awal menikah tak sedikit yang kalah oleh beratnya tantangan kehidupan sekuler kapitalis saat ini.
Gugat cerai istri kepada suami marak terjadi karena liberalisme dan kesetaraan gender (feminisme), yang menjangkiti perempuan-perempuan Indonesia.
Bahaya program kesetaraan gender adalah menolak aturan-aturan syariat, misalnya perempuan berhak untuk tidak mau hamil dan boleh melakukan aborsi. Menurut kesetaraan gender, wanita yang tidak nyaman hamil (anak tidak diinginkan) boleh melakukan aborsi.
Begitu pula, konsep kesehatan reproduksi, yang dilakukan di pos-pos kesehatan, tak jarang dimanfaatkan sebagai ajang sosialisasi bahwa perempuan yang tidak nyaman hamil boleh aborsi.
Tak hanya itu, ide kesetaraan gender juga membuat para perempuan memandang, seorang istri boleh menuntut ke pengadilan jika merasa dipaksa atau diperkosa suami. Akibatnya, angka perceraian di Indonesia didominasi gugat cerai (khulu').
Belum lagi konsep kemandirian perempuan, iming-iming konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women), yang sudah diratifikasi Pemerintah Indonesia menyatakan, perempuan berdaya adalah yang bekerja.
Di Indonesia, implementasi CEDAW membawa dampak, yakni laki-laki banyak tidak terserap dunia kerja karena banyak lapangan pekerjaan sudah diisi tenaga kerja perempuan. Yang terjadi kemudian, laki-laki banyak yang menganggur.
Mereka hanya menjadi penunggu rumah seraya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, yang umumnya dilakukan perempuan. Termasuk Tenaga Kerja Indonesia (TKI), tak sedikit para istri yang pergi keluar negeri untuk bekerja, sementara para suaminya menganggur di rumah.
Kondisi ini sangat rentan memicu perceraian, entah karena perselingkuhan gara-gara jauh dari istri atau suami, entah karena istri sudah merasa berdaya secara ekonomi sehingga merasa tidak butuh pada suami.
Tingginya angka perceraian di Indonesia, sejatinya mengharuskan pemerintah (negara) fokus pada akar persoalan. Yaitu akibat negara mengadopsi sistem kapitalis sekuler yang menciptakan berbagai permasalahan hidup. Untuk menekan perceraian, pemerintah harus menyelesaikan persoalan kemiskinan dan lapangan kerja agar kondisi keterdesakan ekonomi tidak menyulut api perceraian. Negara juga harus mengatur perilaku manusia agar tidak mengarah pada kerusakan.
Negara dituntut meminimalisasi pergaulan bebas dan perselingkuhan dengan penjagaan dan penegakan hukum. Media massa juga mengemban peran strategis dalam penjagaan cara hidup masyarakat.
Negara berkewajiban memberikan pendidikan bagi masyarakat, terutama pendidikan agama, agar standar pemahaman dan perbuatan hanya berdasarkan pada apa yang Allah serukan, melalui penerapan Islam kafaah.
Karena hanya Islamlah yang mengatur dan memetakan secara jelas hak dan kewajiban suami dan istri. Islam juga memberikan solusi atas permasalahan ekonomi yang melanda negeri ini, yang merupakan salah satu penyebab maraknya perceraian. Islam pula yang akan menuntun manusia pada ketaatan dan tujuan hidup yang benar, bukan seperti sistem kapitalis sekuler yang menjadikan manusia bergaya hidup hedonis.
Sudah saatnya kita menjadikan Islam sebagai agama yang sempurna menjadi solusi atas semua permasalahan kehidupan ini,termasuk Islam pula yang kemudian akan menekan tingginya angka perceraian, dan mengembalikan peran serta fungsi keluarga sebagai pencetak generasi terbaik. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al Quran surat Al maidah ayat tiga :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al-Ma’idah [5]:3)
Wallahu a'lam bishowab
Tags
Opini