Penistaan Agama Tumbuh Subur di Era Demokrasi



Oleh : Alin Fm 
(Praktisi Multimedia dan penulis)

Penistaan agama  dianggap lumrah  di era demokrasi bahkan cenderung dilindungi karena sering dilakukan orang-orang di lingkaran kekuasaan termasuk politikus. Mulai dari penistaan ayat al-Qur'an, ajaran Islam, simbol-simbol Islam bahkan ulama'nya dikriminalisasikan. Penista agama seolah tidak tersentuh hukum. Pelaporan kasus penistaan agama berjalan lambat dan bahkan berhenti ditempat, tidak ada kelanjutannya. Hukum tidak tegas pada penista agama sehingga penistaan selalu berulang tanpa ada efek jera untuk para pelakunya. 

Tak lupa diingatan putri presiden pertama negeri, Sukmawati Soekarna Putri. Pernah membuat puisi menghina simbol-simbol agama  berjudul 'Ibu Indonesia' yang dibacakan dalam acara '29 Tahun Anne Avantie Berkarya' di Indonesia Fashion Week 2018. Dalam salah satu penggalan bait puisinya itu, Sukmawati menyinggung kidung dan azan. Bareskrim Polri menghentikan penyelidikan kasus dugaan penistaan agama lewat puisi tersebut, selang sebulan dari laporan dilayangkan. Surat Perintah Pemberhentian Penyelidikan itu sempat digugat lewat permohonan praperadilan oleh Azam Khan, salah satu pelapor Sukmawati. Namun majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolaknya.

Setahun berselang, di akhir tahun 2019. Ketua Umum PNI Marhaenisme ini membuat kasus kontroversial lagi yang terkait dengan Islam. Diketahui,  dalam kasus penodaan agama terkait pernyataannya yang membandingkan Nabi Muhammad SAW dengan Presiden pertama RI Sukarno. Dalam potongan video viral yang beredar, Sukmawati berkata, "Mana lebih bagus Pancasila atau Alquran? Sekarang saya mau tanya nih semua. Yang berjuang di Abad 20, itu nabi yang mulia Muhammad apa Ir. Sukarno untuk kemerdekaan?". Sukmawati kini tengah dalam proses hukum di Polda Metro Jaya setelah dilaporkan dalam kasus penodaan agama terkait pernyataannya tersebut.

Sukmawati Soekarnoputri buka suara setelah dilaporkan oleh simpatisan Koordinator Bela Islam (Korlabi) terkait pernyataan yang dianggap membandingkan Sukarno dengan Nabi Muhammad dan al-Qur'an dengan pancasila. Kepolisian menerima laporan bernomor LP/7393/XI/2019/PMJ/Dit.Reskrimum pada 15 November 2019 dengan pelapor Ratih Puspa Nusanti. Pasal yang dilaporkan yakni tentang tindak pidana penistaan agama Pasal 156a KUHP. (https://m.cnnindonesia.com/nasional/20191116125129-20-448903/respons-sukmawati-usai-dipolisikan-soal-sukarno-nabi-muhammad).

Di negeri ini, penista agama tumbuh subur tanpa ada efek jera bagi yang lain. Dari Seorang oknum anggota Dokkes Polrestabes Medan, Brigadir TH (31 tahun) ditangkap karena menyobek dan membuang Al-quran ke dalam parit. Aksinya ini terungkap berkat rekaman kamera CCTV. Lalu Dua tahun lalu kasus pelecehan agama yang dilakukan oleh pejabat publik Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok juga membuat geram kaum muslimin karena pihak pemerintah menganggap remeh kasus dan pelaku cukup meminta maaf.  Tak ketinggalan dari kalangan artis pun turut terseret dalam daftar nama pelaku pelecehan agama. Sederetan nama-nama artis komedian seperti Ge Pamungkas, Joshua Suherman, dan Uus dengan enteng  menghina Islam lewat leluconnya dan dianggap selesai dengan meminta maaf kepada publik. 

Kenapa penistaan agama tumbuh subur dan tidak memiliki efek jera? Sebelumnya penistaan agama sudah pernah dilakukan, tapi hukum berjalan lambat bahkan berhenti dan tidak ada kelanjutan hukum. Mereka merasa kebal hukum jika berhubungan dengan penistaan agama Islam. Apakah ini wajah asli dari sistem demokrasi yang bebas berperilaku dan mengatakan apa saja tentang satu agama bahkan itu dilakukan dihadapan umum yang bisa menyakiti umat Islam. Karena tidak ada proses hukum yang jelas dari 20 kasus penistaan agama yang dilaporkan? Para penista agama merasa  bebas melakukan penistaan yang bisa menyakiti umat Islam yang masih punya iman di dalam dada mereka.

Bagaimana bisa al-Qur'an, kalamullah dibandingkan dengan sesuatu yang merupakan buatan manusia. Bahkan jika seluruh penduduk bumi bekerja sama untuk membuat seperti al-Qur'an bisa dipastikan tidak akan manpu membuat seperti al-Quran. Bahkan tantangan ini tertulis  di dalam al-Qur'an.

Membandingkan al-Qur'an dengan yang lain adalah bentuk penistaan terhadap Allah dan umat Islam. Pasti dia akan mendapatkan hukuman yang pedih dari pemilik al-Qur'an. Namun, sebagai umat Islam tidak boleh tinggal diam dan harus mengusahakan agar dia dapat hukuman seberat-beratnya sebagai bukti keimanan kita dalam membela agama Islam.

Membandingkan Rasullulah, Muhammad Saw adalah bentuk penistaan terhadap umat Islam yang masih mempunyai iman di dalam dada mereka, apalagi di tengah umat Islam merayakan kelahiran Rasulullah Saw. Bagaimana bisa Rasullulah dibandingkan dengan orang biasa yang tidak luput dari banyak kesalahan meskipun dia banyak berjasa. Tidak beriman seseorang sebelum Rasullulah Saw dicintai melebihi dari kedua orang tua kita, anak-anak atau keluarga kita bahkan diri kita sendiri. Membandingkan Rasullulah Saw dengan orang lain yang mungkin kita hormati dan kita teladani saat ini adalah bentuk penistaan agama dan bagi pelakunya jelas sudah tidak punya iman lagi.

Dalam sistem demokrasi penistaan agama, dibiarkan sementara ujaran kebencian terutama pada penguasa rezim diproses cepat yang berujung pada pidana. Bahkan, pasal ujaran kebencian dijadikan pasal karet yang akan bisa menakut-nakuti atau alat penjerat hukum bagi siapa saja yang dianggap sebagai musuh rezim yang anti kritik.

Sementara, penistaan terhadap agama dianggap biasa dan bahkan dilakukan penguasa rezim. Penistaan simbol Islam, pembakaran bendera tauhid masih hangat dalam ingatan kita, namun tidak ada hukuman tegas bagi mereka. Perampasan bendera tauhid dan bahkan mengkriminalisasikannya dilakukan oleh aparat dan penguasa.  Ajaran Islam, khilafah dikriminalisasikan dan dianggap ajaran berbahaya sehingga menag memutuskan untuk merombak 155 buku yang dianggap berbahaya. Apakah ini tidak dianggap penistaan agama meskipun dilakukan oleh pejabat?

Inilah demokrasi yang tidak tegas dengan penistaan agama sehingga marak dilakukan orang-orang yang tidak mempunyai iman dalam beragama. Sebaliknya, dalam sistem Islam hampir tidak dijumpai penistaan agama karena mereka akan mendapatkan hukuman tegas dan keras bagi pelakunya. Beragama adalah hak yang paling asasi yang dilindungi oleh hukum. Dan penistaanya harus dihukum seberat - beratnya agar bisa menjadi efek jera bagi yang lain untuk tidak melakukan penistaan terhadap agama.

Banyaknya bermunculan para penista Islam yang “diabaikan”, serta tidak adanya tuntutan menunjukan hukum yang berlaku masih lemah dan tidak memberikan efek jera. Dalam Islam, ada ketentuan hukum bagi pelaku penistaan agama secara terang-terangan. Disebutkan dalam kitab Nizhâm al-’Uqûbât karya syeikh Taqiyuddin An-Nabhani dijelaskan beberapa tindakan yang dikategorikan menodai agama Islam beserta sanksi yang dapat diterapkan negara atas pelakuknya:

a) orang yang melakukan propaganda ideologi atau pemikiran kufur diancam hukuman penjara hingga 10 tahun. Jika ia seorang Muslim maka sanksinya adalah sanksi murtad, yakni dibunuh;

b) orang yang menulis atau menyerukan seruan yang mengandung celaan atau tikaman terhadap akidah kaum Muslim diancam 5-10 tahun. Jika celaan tersebut masuk dalam kategori murtad maka pelakunya (jika Muslim) dibunuh;

c) orang yang melakukan seruan pemikiran kufur kepada selain ulama, atau menyebarkan pemikiran kufur melalui berbagai media, dipenjara hingga 5 tahun;

d) orang yang menyerukan seruan pada akidah yang dibangun atas dalil zhann atau pemikiran yang dapat mengakibatkan kemunduran umat Islam dicambuk dan dipenjara hingga 5 tahun;

e) orang yang meninggalkan shalat dipenjara hingga 5 tahun; jika tidak berpuasa tanpa uzur, ia dipenjara dua bulan dikalikan puasa yang ia tinggalkan; dan orang yang menolak menunaikan zakat, selain dipaksa membayar zakat, ia dipenjara hingga 15 tahun.

Pada masa pemerintahan Islam, aturan di atas telah ditegakkan oleh Nabi saw. dan para Khalifah setelahnya. Jabir ra. berkata, “Ummu Marwan telah murtad. Lalu Rasulullah saw. memerintahkan untuk menawarkan Islam kepadanya. Jika ia bertobat maka diterima, namun jika tidak maka ia dibunuh.” (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).

Umar bin Abdul Aziz misalnya, pernah mendebat dan menyadarkan Ghilan ad-Dimasyqi, seorang tokoh Qadariah yang berpendapat bahwa tidak ada takdir Allah dan Allah tidak bersemayam di atas ’Arsy. Namun, pada masa Hisyam bin Abdul Malik, orang tersebut kembali menyebarkan idenya. Setelah mendapatkan bantahan dari Khalifah dan Imam al-Auzai, sementara ia tetap kukuh dengan pendapatnya, maka ia pun dibunuh dan disalib.

Begitulah islam dalam menindak tegas bagi pera pelaku penista agama baik muslim maupun non muslim agar kemuliaan agama Allah terjaga. Dimata Islam semua dianggap sama yaitu dilarang memperolok-olok agama. Allah SWT berfirman:

“dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan” (TQS. Al-An’am : 108).

Kita berharap tindak semacam ini tidak terulang lagi dan umat Islam dapat beribadah dengan tenang. Dan umat Islam semakin mencintai Allah, Nabi Saw, dan taat syariah. Hanya dengan Islam umat kembali mulia tanpa ada penista agama yang tumbuh subur.Wallahua’alam bi shoab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak