Oleh: Hanah Nuraenah (Ibu generasi peduli bangsa, bantul, Yogyakarta)
Masih segar di ingatan terkait beberapa bulan lalu, kita di cengangkan dengan kabar bahwa Ibu kota negara mau pindah ke kalimantan. Ternyata baru-baru ini Presiden Joko Widodo mengadakan pertemuan yang katanya 61 tokoh Papua di Istana Presiden, Asumsi (10/09/19).
Tujuannya membahas sejumlah masalah yang terjadi di Papua dan keinginan mereka untuk membangun istana kepresidenan di Jayapura. Akhirnya Jokowi menyetujui permintaan tersebut.
Koordinator Kontras Papua Sam Awon mengatakan bahwa 61 orang yang diundang oleh Presiden tidak merepresentasikan tokoh-tokoh Papua, tidak tau perwakilan dari mana. Kawan-kawan kami dari CSO, NGO, gereja, dan Majelis Rakyat Papua (MRP) tidak tahu sama sekali dan kaget tentang pertemuan ini,” ujarnya pada Asumsi (11/9/19).
Pemerintah harus ada upaya merealisasikan penyelesaian terkait masalah Papua Road Map: Negotiating The Past, Improving The Present, and Securing The Future”
(1) mengakui diskriminasi dan marjinalisasi yang dialami orang Papua, (2) mengubah paradigma pembangunan menjadi berorientasi pada pemenuhan hak dasar warga Papua pada bidang pendidikan, kesehatan, dan layanan-layanan publik lain, (3) melakukan dialog dengan masyarakat Papua, serta (4) melakukan rekonsiliasi dengan cara menyingkap perilaku kekerasan dan pelanggaran HAM oleh negara terhadap warga Papua.
Namun penyelesaikan konflik di Papua cenderung dilakukan secara parsial. Padahal, satu masalah dengan masalah lain saling berkorelasi, terutama antara kepentingan politik dan ekonomi".
Maka tak heran jika masyarakat setempat menolak karena pemekaran dilakukan berdasarkan kepentingan elit-elit politik di Jakarta, memecah aspirasi Papua, meningkatkan ruang kontrol Pemerintah Pusat terhadap Papua melalui pembentukan Kodim dan Polda di provinsi-provisi baru, dan tidak melibatkan masyarakat Papua—khususnya kalangan adat dan pemuka agama.
Pemerintah harus punya pendirian yang konsisten demi kemaslahatan seluruh rakyat. Jangan karena beberapa permintaan langsung di setujui.
Perlu di ingat saat masa islam Negeri Syam begitu luas wilayahnya ( sekarang terkotak-kotak menjadi beberapa negara). Saat itu pemerintahannya satu dengan tanpa fokus mengurusi pada satu bidang pembangunan, tapi semua pemerataan bidang lainnya dan kebutuhan hidup masyarakat terjamin tanpa membebani rakyat, nyawanya saja di lindungi. Harusnya pemerintah kita meneladaninya. Namun pemerintah sekarang jauh sekali dari gambaran masa kejayaan islam saat itu.
Sebetulnya Pembangunan Istana Negara dan pemekaran wilayah ini sebuah narasi orde baru yang tentunya akan menghabiskan biaya miliaran rupiah. Solusinya pemerintah harus mengontrol keuangan dengan tepat, karena semua ini akan imbas pada beban pajak dan utang luar negeri demi mewujudkan keinginan pejabat berjas. Rakyat sudah banyak terbebani dengan kebijakan negara. Masyarakat papua khususnya yang mereka butuhkan adalah bukti aplikatif pemerintah dalam upaya menangani trauma dan pelanggaran HAM yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu, bukan pembangunan”
Semoga permasalahan papua secepatnya mendapat solusi yang tepat bagi setiap orang.
Tags
Opini