Oleh : Teti Ummu Alif
Siswa lakukan kekerasan terhadap guru adalah kasus yang selalu berulang dalam sistem pendidikan sekuler saat ini. Belum lama ini publik kembali dihebohkan dengan peristiwa penikaman seorang guru yang dilakukan oleh siswanya sendiri. Hal ini tentu mengusik nurani kemanusiaan kita, mengingat seorang guru adalah "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" tetapi mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Pasalnya, hanya gara-gara menegur siswanya yang merokok di lingkungan sekolah.
Seperti ditayangkan Patroli Indosiar, Selasa (22/10/2019), keluarga korban tak kuasa menerima kenyataan setelah nyawa Alexander Pangkey tak tertolong. Guru agama di SMK Ichthus Manado tersebut meninggal dunia setelah 14 tusukan pisau dari siswanya mengenai organ dalam.
Insiden bermula saat korban menegur siswanya yang merokok di lingkungan sekolah. Tidak terima ditegur, pelaku pulang ke rumah dan mengambil pisau lalu menikam korban yang baru keluar dari sekolah.
Peristiwa ini hanyalah satu dari sekian banyak nestapa yang menimpa para pendidik di negeri ini. Mereka senantiasa bahu membahu untuk menghasilkan generasi berpendidikan dan berbudi luhur sebab generasi muda merupakan harapan bangsa. Peran generasi muda sangat berpengaruh terhadap kehidupan masa depan sebuah bangsa.
Jika sebuah bangsa memiliki generasi muda yang rusak maka bangsa itu pula akan hancur dan sebaliknya jika bangsa tersebut memiliki generasi muda yang baik maka bangsa tersebut akan terus jaya. Artinya mati atau hidup, maju atau tertinggal, hancur atau semakin kokoh sebuah bangsa ada di dalam genggaman generasi muda.
Pertanyaanya, mengapa kasus serupa selalu saja berulang? Apa yang salah dengan konsep pendidikan kita saat ini? Mengapa para siswa begitu brutal bak binatang buas?
Akibat Pendidikan Sekuler
Sekolah-sekolah yang diselenggarakan di negeri ini sudah salah sejak akarnya, yaitu soal konsep dasar dan falsafah pendidikannya. Sekolah-sekolah di negeri ini, sekalipun telah memiliki aturan perundang-undangan yang merancang pendidikan sejak basis pemikiran dasarnya sampai masalah-masalah pelaksanaan teknisnya, yaitu UU No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan peraturan-peraturan turunannya, namun kelihatannya masih belum mencerminkan falsafah dan konsep pendidikan yang benar dan jelas. Walaupun dari sisi misi besar pendidikannya sudah bisa dibenarkan, namun turunan teknisnya justru tidak mencerminkan misi besar itu.
Bagian ini memperlihatkan tujuan dan sekaligus falsafah dari pendidikan yang harus diselenggarakan oleh semua lembaga pendidikan di Indonesia. Secara kasat mata memang seperti tidak ada masalah.
Namun, praktik di lapangan tidak terlihat jelas perwujudan dari tujuan yang baik itu. Praktik-praktik pendidikan tidak memperlihatkan kearah sana. Bukti yang paling kasat mata adalah kurikulum dan proses pembelajaran yang dipraktikkan di berbagai sekolah. Kalau memang pendidikan di negeri ini ingin mewujudkan pribadi yang “memiliki kekuatan spiritual, beragama, mampu mengendalikan diri, berkepribadian, berakhlak mulia, cerdas, dan terampil”, apakah kurikulum pendidikan yang dirancang sudah memadai? Dari sisi struktur pelajaran saja sama sekali tidak menunjukkan itu. Pelajaran agama hanya diberi porsi sangat rendah. Bagaimana mungkin dengan pengajaran agama yang hanya 2 jam per minggu dapat mengajarkan agama dengan baik? Apalagi bercita-cita mewujudkan pribadi yang beragama dan berakhlak mulia.
Baru dilihat dari jumlah jam pelajaran saja disangsikan apakah kurikulum di sekolah-sekolah yang ada saat ini mampu mewadahi tujuan yang begitu luhur. Apalagi kalau kurikulum yang dijalankan dibedah sampai ke akarnya. Akan segera semakin nyata ditemukan ketidakmungkinan kurikulum itu mengantarkan peserta didik sesuai dengan tujuan Sisdiknas di atas. Buktinya telah nyata di hadapan mata, secara moral kualitas keluaran pendidikan di negeri ini tidak menghasilkan pribadi-pribadi yang diharapkan. Kalaupun cerdas cenderung merusak. Kecerdasannya tidak mampu menemukan esensi jati dirinya sehingga lahir pribadi-pribadi yang tidak utuh. Cerdas secara akademik tapi kering spiritual. Dalam sistem pendidikan saat ini agama bukan diletakkan sebagai ruh dari semua mata pelajaran yang ada. Agama memiliki ruang tersendiri, sementara pelajaran lain berada di tempat yang lain lagi. Keterpisahan ini semakin menegaskan ada paradigma keliru yang melandasi struktur kurikulum dan proses penyelenggaraannya dalam sistem pendidikan nasional di negeri ini. Kekeliruan ini berakibat fatal, yaitu krisis dan kegagalan pendidikan seperti yang kita saksikan hari ini. Kenyataan ini semakin menegaskan kepada kita bahwa pengaruh pemikiran sekular sangat berpengaruh dalam sistem pendidikan Indonesia. Kekhasan pemikiran sekular terletak cara pandang terhadap agama. Agama diletakkan hanya sebagai urusan pribadi bukan pada ranah publik.
Sistem Pendidikan Islam
Berbeda dengan pendidikan kapitalis sekuler dimana pendidikan bermutu selalu identik dengan biaya mahal. Di dalam Islam, sistem pendidikan yang gratis justru melahirkan mutu kualitas produk pendidikan yang handal. Didorong dengan semangat bahwa menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban yang mendatangkan pahala, memunculkan motivasi yang besar dalam belajar. Selain itu adanya jaminan biaya pendidikan yang gratis, kesejahteraan guru juga mendorong terlaksananya pendidikan yang berkualitas. Disisi lain, realitas pendidikan gratis dan bermutu dapat kita temui di negara-negara seperti Jerman, Belanda, Firlandia, dan Perancis.
Islam memiliki sistem yang khas tentang peraturan pendidikan. Pendidikan dalam Islam adalah upaya mengubah manusia dengan pengetahuan tentang sikap dan perilaku yang sesuai dengan kerangka nilai ideologi Islam. Dengan demikian, jelas bahwa yang menjadi asas dalam pendidikan Islam adalah apa yang menjadi asas dalam Ideologi Islam, yaitu aqidah Islam. Secara pasti tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk SDM yang 1). memiliki kepribadian Islam 2). Menguasai pemikiran Islam dan handal 3). Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, teknologi) 4). Memiliki keterampilan yang tepat guna.
Metode pengajarannya tidak hanya sebatas transfer pemikiran semata, namun seorang pendidik harus mampu mendekatkan apa yang terkandung dalam pemikiran tersebut dengan makna yang difahami oleh anak didik. Pendidik berusaha menghubungkan antara pemikiran tersebut dengan fakta yang diserapnya, atau dengan fakta yang akrab dan dirasakan oleh peserta didik sehingga mereka benar-benar memahaminya sebagai sebuah pemikiran, bukan sekedar informasi.
Dalam pengelolaan kurikulum, pemerintah atau negara mengelola kurikulum yang disusun dengan mengacu pada tujuan pendidikan. Waktu pelajaran untuk memahami tsaqofah Islam dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya mendapat porsi yang besar. Pada tingkat TK-SD materi kepribadian Islam yang diberikan adalah materi dasar, yaitu bersifat pada pengenalan keimanan. Jenjang ini disebut jenjang pertama (Ibtidaiyah). Dijenjang ibtidaiyah, materi pokok diberikan oleh 2 pengajar. Pengajar pertama mengajarkan tsaqofah Islam dan bahasa Arab, sementara pengajar kedua mengajarkan ilmu pengetahuan dan matematika. Materi keterampilan termasuk kerajinan diberikan juga pada anak didik di jenjang ibtidaiyah ini. Pada tingkat selanjutnya, materi yang diberikan adalah bersifat pembentukan, peningkatan, dan pematangan. Hal ini ditujukan untuk memelihara sekaligus mengingkatkan keimanan serta keterikatan kepada syariah Islam. Ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai tingkat kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu (formal).
Masihkah kita mau bertahan dalam sistem pendidikan sekuler saat ini yang sudah terbukti gagal menghasilkan out put pendidikan yang baik?
Wallahu A'lam Bi Asshawwab.