Oleh Mardina
Sistem perpolitikkan Indonesia kembali menjadi perbincangan yang hangat dibicarakan. Sebelum pemilu bahkan pasca pemilu selalu ada saja yang menjadi buah bibir dimasyarakat Indoneisa bahkan manca negara, terlebih perihal kasus 600 lebih anggota KPPS yang meninggal dunia yang katanya karena kelelahan, protes hasil pemilu yang berujung bentrok antara petugas dan massa, unjuk rasa atas RUU KPP dan KUHP yang dianggap diskriminatif terhadap rakyat dan menguntungkan elit politik.
Diawal kepemimipin baru, Presiden Jokowi resmi mengumumkan kabinet kerja di Istana Negara bernama Kabinet Indonesia Maju pada hari Rabu (23/10). Adapun masalah yang menjadi fokus dari Kabinet ini adalah melawan radikalisme yang mereka anggap sangat berbahaya bahkan dikhawatirkan memecah-belah NKRI.
Radikalisme berasal dari bahasa Latin radix yang berarti "akar" adalah istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung Gerakan Radikal. Dalam sejarah, gerakan yang dimulai di Britania Raya ini meminta reformasi sistem pemilihan secara radikal. Gerakan ini awalnya menyatakan dirinya sebagai partai kiri jauh yang menentang partai kanan jauh. Begitu "radikalisme" historis mulai terserap dalam perkembangan liberalisme politik, pada abad ke-19 makna istilah radikal di Britania Raya dan Eropa daratan berubah menjadi ideologi liberal yang progresif.
Namun berbeda yang terjadi saat ini, isu radikalisme justru sangat terlihat jelas membidik umat islam yang taat kepada aturan Penciptanya. Isu radikalisme seolah menjadi senjata yang bisa digunakan untuk menekan kebangkitan islam pada diri umat. Bahkan sudah banyak para ulama, ustadz dan habaib yang dikriminalisai dengan alasan ceramah yang mereka sampaikan berisikan ajaran-ajaran radikal, dianggap intoleran terhadap agama lain bahkan dituduh dengan fitnahan yang keji.
Rezim saat ini terus menunjukkan sikap berlawanan dengan kehendak rakyat. Jika sebelumnya menyuarakan khilafah dianggap paling radikal. Kali ini mereka hendak menyerang ajaran islam dengan beragam cara melalaui proyek deradikalisasi dan penyesatan makna syar’ie. Sebut saja jihad, cadar dan celana cingkrang/isbal mulai ingin dilarang karena dikhawatirkan akan menumbuhkan paham radikal.
Umat tidak boleh mendiamkan penyesatan pemikiran seperti ini. Karena sesungguhnya isu radikalisme adalah upaya memonsterisasi ajaran islam oleh para kapitalis yang masih merongrong negeri ini. Adapun upaya deradikalisasi yang dicanangkan oleh rezim saat ini umat harus mencounter dengan menjelaskan motif busuk pemerintah dg program tersebut.
Deradikalisisasi sejatinya hanyalah alat untuk menakut-nakuti rakyat agar berhati-hati dalam berkata-kata atau mengkritik pemerintah serta menjauhkan umat dari ajaran islam bahkan bisa menkriminalisasi siapa saja yang dianggap berbahaya bagi rezim saat ini. Inilah hasil dari sistem sekuler kapitalis yang berlindung di bawah sistem bernama demokrasi yang menjadikan Pancasila dan NKRI harga mati sebagai tameng bagi pengkhianat negeri. Namun sejatinya anti kritik dan sewenang-wenang dalam membuat aturan.
Permasalahan terbesar negeri ini sejatinya bukanlah Radikalisme, tapi aturan yang menyengsarakan Rakyat namun menguntungkan elit penguasa, baik dari segi kesehatan, pendidikan, ekonomi dll umat masih terpuruk dalam lingkaran setan. Hal ini terjadi karena umat tidak diatur oleh sistem terbaik yang datang dari sang Pencipta serta diserahkannya kepemimpinan ditangan manusia yang bukan ahlinya.
Firman Allah dalam QS. Al-Maidah: 50
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan? ‘ Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. Bukhari)
Ketika manusia patuh dan taat terhadap syariat Allah, maka hidupnya pun terarah menuju jalan kebahagian. Sebaliknya, ketika mereka cenderung dengan akal pikirannya dan memilih berhukum dengan selain yang diturunkan Allah, maka pasti berujung kepada dampak buruk yang tidak sedikit, baik di dunia maupun akhirat. Dampak buruk di dunia bisa terlihat dalam lingkup sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Sementara di akhirat jelas berujung kepada siksaan yang berulang kali diingatkan dalam Al-Qur’an.
Wallahu’alam bisshowab
Tags
Opini