Merawat Cinta Pasangan Sampai Ke Surga



Oleh: Mahganipatra
Aktivis Muslimah Peduli Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif

 
Pernikahan adalah awal menyatunya dua cinta anak adam. 

Bersama merengkuh ibadah demi berlabuh pada cinta Rabb semesta.

Adakala dalam perjalanannya diwarnai sedih, kecewa, marah, pertengkaran, cekcok, kekerasan dalam rumah tangga, hingga perceraian menjadi solusi terpahit. 

Itu semua sebab cinta yang telah usang, terasa hambar, tak dipupuk dan tak lagi terawat.

Darinya ... 
Perlu banyak tempaan diri untuk merawat cinta pasangan, agar tetap bersama dalam rel demi meraih ridha dan surga-Nya.

Ungkapan puisi di atas sedikit menggambarkan tentang kondisi keluarga di masyarakat secara umum.  Hampir setiap pasangan yang sudah sepakat untuk membentuk keluarga  mereka berangkat dari impian, harapan dan cita-cita yang sama yaitu mewujudkan keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah. Membayangkan kebahagiaan yang akan menghiasi hari-hari indah dalam rumah tangga. Merangkai mimpi dan mewujudkannya bersama. Namun, pada faktanya kehidupan rumah tangga yang dibangun  tak mampu bertahan menghadapi setiap persoalan yang timbul dalam kehidupan. Hingga, tak jarang biduk rumah tangga harus terhempas dan karam di terjang prahara perceraian. Sungguh sangat miris dan memprihatinkan.

Salah satu faktor yang mendorong terjadinya kasus perceraian yaitu tidak adanya kesamaan visi dan kurangnya komunikasi antara suami istri. Sehingga, menyebabkan munculnya perselisihan serta ketidakkompakkan dalam penyelesaian masalah rumah tangga. Baik masalah antar pasangan itu sendiri maupun dalam urusan pengasuhan dan pendidikan anak. 

Dilansir dari mediaindonesia.com, 05/05/2019 bahwa jumlah kasus perceraian di awal 2019 semakin meningkat. Bahkan, mayoritas gugatan perceraian tersebut datang dari kalangan istri. Berdasarkan data yang diperoleh, hingga awal Mei 2019 ada 1.739 perkara gugatan perceraian masuk ke Pengadilan Agama Kota Bekasi. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2018 yang hanya berjumlah 1.255 perkara. Tahun ini, dari keseluruhan 1.739 perkara, sebanyak 1.268 perkara merupakan gugatan yang diajukan pihak istri. Sedangkan sisanya dari suami.

Sementara dilansir dari radarbekasi.id 2018/12/05, angka perceraian di Kabupaten Bekasi sampai akhir 2018 diprediksi mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, meskipun tak terlalu signifikan.

Berdasarkan data Pengadilan Agama Cikarang, angka perceraian sepanjang 2017 mencapai 2.738 kasus. Sementara, per Oktober 2018 sudah mencapai 2.321 kasus.

Adapun angka rata-rata kasus perceraian per bulan mencapai 250 kasus. Angka perceraian pada 2018 ini diprediksi bakal meningkat dari 2017, mengingat masih ada data perceraian di bulan November dan Desember. Uniknya angka perceraian ini sebagai penggugat cerai  rata-rata adalah para perempuan. Mereka mengajukan gugat cerai dengan berbagai alasan, diantaranya faktor ekonomi, mengalami kekerasan dalam rumah tangga, ditinggal kabur oleh pasangan (perselingkuhan pasangan) dan tindakan kriminal.

Tentu persoalan ini menjadi masalah yang sangat penting bagi seluruh keluarga terutama masyarakat Bekasi. Karena hancurnya institusi keluarga di Bekasi terutama keluarga muslim, akan sangat berdampak terhadap kondisi tatanan sosial di masyarakat. Yang mana hal tersebut juga sangat berpengaruh terhadap kelangsungan dan kualitas generasi. Sebab, perceraian berpotensi melahirkan generasi broken home yang mudah terpapar bahaya narkoba, pergaulan bebas, kriminalitas dan lain sebagainya. 

Maraknya kasus perceraian di Bekasi bukan lagi persoalan yang dapat dipandang sebagai kesalahan individu semata. Sebab, jikalau pemicunya hanyalah ketidakmampuan pasangan suami istri dalam mengelola rumah tangga, seharusnya kasus perceraian yang terjadi jumlahnya hanya sedikit dan tidak akan terus meningkat setiap tahunnya.

Sejatinya, akar masalah dari peningkatan kasus perceraian adalah diterapkannya sistem kehidupan kapitalisme dan sekularisme di tengah masyarakat. Keyakinan untuk memisahkan aturan kehidupan dengan agama telah menyumbangkan berbagai konflik dan kerusakan di dalam tubuh umat. Umat perlu memahami bahwa sistem kehidupan merupakan alat untuk mengontrol interaksi antar masyarakat. Jika alat pengontrolnya rusak, maka  akan melahirkan berbagai kerusakan di tengah masyarakat.

Misalnya kasus perceraian yang marak terjadi di Bekasi, penyebabnya adalah faktor ekonomi yang menimbulkan banyak terjadi kasus kekerasan dalam rumah tangga. Ternyata setelah di telusuri bahwa kasus ini terjadi akibat dari suami tidak mampu menahan emosi menghadapi kemarahan istri saat  meminta uang belanja harian.
Demikian halnya dengan istri yang emosi melihat suami tidak kunjung memperoleh pekerjaan dan memenuhi seluruh kebutuhan rumah tangga.

Inilah yang menjadi sebab timbulnya persoalan dalam rumah tangga. Penerapan sistem kapitalisme yang memberikan peluang bekerja lebih besar kepada para perempuan, telah mengambil jatah lapangan pekerjaan bagi para suami. Sehingga, terjadi reposisi kedudukan suami yang bertugas untuk menjadi tulang punggung berubah menjadi tulang rusuk. Suami harus rela menggantikan posisi istri untuk mengurus rumah tangga, bahkan menjadi baby sitter bagi bayi mereka. Inilah dampak dari ketidakberdayaan dalam menghadapi kebijakan para pemilik modal yang memberi peluang pekerjaan lebih besar justru untuk para perempuan. Dengan alasan bahwa perempuan lebih teliti dan mudah diatur. Sementara, laki-laki dipaksa untuk kehilangan pekerjaan dan harus rela melawan fitrahnya sebagai pemimpin keluarga yang harus menafkahi istri juga anak-anaknya. Mereka harus puas untuk tinggal di rumah dan berjuang mencari lowongan pekerjaan yang tersisa. 

Sistem kapitalisme telah mencabut fitrah wanita sebagai seorang ibu yang bertugas menjadi ummun wa rabbatulbait dan madrasatul ula berubah menjadi tulang punggung. Maka, saat fitrah wanita tercabut timbul kegoncangan dan ketimpangan dalam rumah tangga. Suami dan istri merasa tertekan dan tidak bahagia. Kondisi ini jika diabaikan akan merembet kepada problem lainnya, yaitu kerusakan sistem sosial. Rasa tidak puas dan bahagia membuat masing-masing pasutri mencari kesenangan di luar rumah. Dari sinilah bibit perselingkuhan bermula. Sehingga, muncul fenomena pelakor (perebut laki orang) dan pebinor (perebut bini orang) di tengah masyarakat. 

Maka, sudah saatnya keluarga muslim kembali pada aturan Islam yang kaffah. 
Sebab, Islam merupakan diin yang menyeluruh dan sempurna. Di dalamnya, terdapat seperangkat aturan yang mampu menyelesaikan setiap problematika kehidupan, tak terkecuali kehidupan rumah tangga.

Rasulullah Saw bersabda, yang di riwayatkan oleh Al Hakim dan Ibnu Hibban melalui jalur periwayatan Aisyah Ra, 
خيركم خيركم لأهله، وأنا خيركم  لأهلي
 "Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik kepada keluarga(isteri)nya, dan aku adalah yang terbaik diantara kalian terhadap keluarga(isteri)ku."

Rasulullah Saw telah mencontohkan kehidupan berumah tangga dengan sebaik-baik teladan. Para sahabat serta ulama pun telah mengabarkan kepada kita bagaimana kehidupan rumah tangga ala Rasulullah Saw.

Salah satunya yang tercantum dalam kitab Nizhomul Ijtima'i karangan syaikh Taqiyuddin An-Nabhani rohimahullah, yang menjelaskan bahwa kehidupan suami istri bukan seperti kehidupan mitra atau rekan kerja yang masing-masing diantaranya saling mengambil keuntungan dari salah satu pihak. Bukan pula hubungan seperti atasan atau bawahan yang menuntut ketundukan terhadap pemimpin. Walaupun di dalam Alquran disebutkan bahwa, 
الرجال قومون على النساًء
"Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan" (QS. An-Nisa:34)

Konteks kepemimpinan laki-laki di dalam kehidupan rumah tangga bukan seperti atasan dan bawahan yang bersifat otoriter dan menuntut ketundukan. Namun, sebuah hubungan yang terjalin atas dasar pergaulan yang ma'ruf.

Maka, jalinan antara suami dan istri adalah hubungan persahabatan yang penuh kesetiaan. Hubungan yang mampu memberikan ketenangan untuk mencurahkan seluruh keluh kesah kehidupan dunia. Juga tempat merajut  jalinan yang penuh kasih sayang dalam berbagi cinta dan kemesraan. Tempat merangkai tujuan hidup, mimpi dan harapan membentuk keluarga sakinah mawaddah wa rahmah hingga jannah-Nya. 

Hal ini tentu tidak bisa di raih secara instan, tapi butuh proses yang harus disepakati bersama oleh suami dan istri. Tidak bisa dilakukan hanya oleh sebelah pihak. Sebab, keluarga sakinah mawaddah wa rahmah merupakan hasil dari proses. Setidaknya ada dua proses yang harus di lakukan oleh pasangan suami istri yaitu, 
1.  Prinsip dasar yang menjadi  pondasi keluarga, yakni kesepakatan antara suami dan istri untuk saling berupaya menciptakan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.

a. Kuatkan landasan pondasi rumah tangga. Rumah tangga ibarat bangunan. Agar bangunan kokoh maka pondasinya harus kuat. Caranya, dengan mengecek kembali motivasi atau dorongan yang membuat kita memilih untuk menikah. Mungkin jawaban kita terdengar klise, yaitu kita memilih menikah  semata karena cinta. Maka, pastikan kembali apakah dorongan cinta tersebut karena pesona fisik pasangan, kekayaannya, maupun popularitasnya? Jika ke tiga hal tersebut yang menjadi landasan, dapat dipastikan perasaan tersebut hanyalah cinta semu yang akan tergerus oleh waktu. 

Harus kita luruskan kembali landasan perasaan yang dimiliki agar menjadi cinta yang kokoh. Hingga mampu menjadi pondasi pernikahan yang layak. Landasan tersebut yaitu cinta karena Allah Swt semata. Membangun kesadaran bahwa pernikahan yang dijalani untuk tujuan beribadah kepada Allah Swt. 

Setelah meluruskan pondasi cinta, selanjutnya cek level ego dalam diri. Konsekuensi dari pernikahan adalah menurunkan level ego. Sebelum menikah, level ego yang dimiliki 100%. Maka, setelah menikah menjadi 50%. Memiliki anak satu level ego turun menjadi 33,33%, anak dua menjadi 25% dan seterusnya. Level ego akan terus menurun sesuai dengan kebutuhan.

b. Lakukan penyesuaian. Dalam pernikahan, rata-rata tingkat kecocokan hanya 10% sementara yang 90% adalah penyesuaian. Karakter laki-laki dan perempuan yang berbeda, latar belakang kondisi lingkungan dan keluarga, serta perbedaan pendidikan formal antara suami istri akan menimbulkan banyak ketidakcocokan. Sehingga membutuhkan penyesuaian. Maka, persepsi yang perlu dihilangkan adalah sifat menuntut pasangan yang harus sesuai dengan keinginan kita. Cinta itu kata kerja. Cinta tidak menuntut "jika kamu ..., maka aku ...". Mencintai berarti siap menerima juga memahami segala kelebihan dan kekurangan pasangan. Jika kekurangan pasangan mampu kita cintai, maka kelebihan dalam dirinya akan menjadi bonus dan hadiah yang disyukuri.

c. Bangun komunikasi yang sehat dengan pasangan. Komunikasi antara suami istri diibaratkan seperti rel kereta api yang searah. Tempat kereta api berpijak menuju kota tujuan yang ingin dituju. Kehidupan rumah tangga diibaratkan kereta dan kita adalah penumpangnya. Jika relnya mulus hingga tak ada masalah yang menghambat perjalanan, maka yakinlah kereta tersebut akan mengantarkan kita pada tujuan yang dituju.

d. Salah satu pasangan harus menjadi peredam bagi pasangannya. Dalam rumah tangga akan selalu ada konflik baik besar maupun kecil. Maka, dalam menghadapi konflik tersebut salah satu dari pasangan harus mampu menjadi peredam. Suami diibaratkan api saat marah, maka istri harus mampu menjadi air yang meredam kemarahan suami. Demikian pula sebaliknya, saat istri marah maka suami yang harus menjadi peredamnya. Buatlah kesepakatan bersama, bahwa masing-masing harus siap untuk menjadi peredam saat amarah melanda pasangan.

2. Langkah-langkah kunci, yaitu langkah-langkah yang harus dilakukan sebagai upaya preventif untuk menghadapi konflik yang terjadi dalam rumah tangga.

a. Naikkan level resolusi penyelesaian konflik dalam rumah tangga melalui komunikasi. Ada level komunikasi yang biasa dilakukan dalam menyelesaikan konflik. 

Level pertama; komunikasi pasif dengan menahan diri, menunjukkan kemarahan dengan diam atau menangis mengurung diri di dalam kamar hingga tidak mau berbicara dengan pasangan. Level seperti ini dianggap sebagai level yang pasif layaknya seorang bayi yang mengungkapkan keinginan dan kemarahannya dengan sebuah tangisan. Maka, level penyelesaian ini tidak efektif. Seperti api dalam sekam ataupun bom waktu yang setiap saat bisa meledak.

Level kedua; serangan fisik dengan mengungkapkan kemarahan dan menunjukkannya dengan menyerang fisik pasangan. Hal ini yang menjadi penyebab terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga. Pasangan tidak mampu mengontrol diri sehingga saat merasa dirinya terancam atau tersakiti akan menunjukkan kemarahannya melalui serangan fisik. Seperti anak  usia dua sampai tiga tahun. Ketika keinginan dan kemauannya tidak dituruti maka akan diungkapkan dengan melempar barang dan menyerang fisik. Jika pasangan melakukan hal ini, maka harus segera disepakati untuk berubah. Jika tidak mampu menyelesaikan bersama pasangan, segera mencari bantuan pihak yang ahli. Sebab, jika dibiarkan bisa berbahaya dan berubah menjadi tindak kriminal.

c. Level ketiga; serangan verbal yakni menunjukkan kemarahan terhadap pasangan dengan melontarkan makian dan hujatan. Ungkapan kemarahan ini seperti anak usia empat sampai lima tahun. Jika pasangan mengambil resolusi konflik seperti ini, artinya ia masih bersifat kekanak-kanakan. Umumnya, sifat perempuan mudah memaafkan tapi sulit melupakan. Perempuan akan selalu mengingat kata-kata menyakitkan yang dilontarkan oleh pasangan. Langkah yang baik adalah jangan pernah menyimpannya. Berusaha untuk segera melupakan dan memaafkan pasangan. 

d. Level keempat; yaitu menyelesaikan setiap persoalan dengan komunikasi. Dilakukan oleh anak usia di atas enam tahun sampai dewasa. Ini merupakan resolusi konflik yang baik. Membicarakan setiap persoalan dan mencari solusi bersama-sama. Karena pasangan kita bukan seorang peramal yang memahami dan mengerti apa yang diri ini inginkan. Jika menginginkan atau mengharapkan sesuatu dari pasangan lakukan komunikasi.

3. Desain ulang peran istri dan suami. Hak dan kewajiban suami istri harus saling memahami dan menerapkan fungsinya di dalam rumah tangga. Peran suami sebagai qowwam (pemimpin) harus benar-benar dihargai. Dan peran istri sebagai ummun wa rabbatul bait harus mampu menjadi pendukung yang sinergis dalam rumah tangga. Tidak saling membongkar aib atau kelemahan, baik di hadapan anak-anak maupun kehidupan publik. Jaga marwah dan izzah pasangan hingga hanya kita yang tahu kelemahannya. 

4. Quality time dan hadir seutuhnya saat bersama keluarga. Hal ini sangat penting agar terbina keharmonisan dalam rumah tangga dan meningkatkan hubungan yang lebih berkualitas. Mempermudah pasangan saling mengenal kebiasaan dan hobi masing-masing.

5. Kenali bahasa cinta pasangan. Salah satu naluri yang dimiliki manusia adalah gharizah nau' (naluri kasih sayang) yang penampakannya terlihat dalam  kebutuhannya akan perasaan merasa dicintai. Perbedaan bahasa cinta yang diungkapkan oleh pasangan tanpa disadari kadang menjadi konflik dalam keluarga. Masing-masing sudah merasa mengungkapkan cinta mereka namun karena bahasa cinta pasangan yang berbeda terjadi konflik yang fatal. Merasa tidak dihargai apalagi dicintai. Maka, masing-masing harus mengenali bahasa cinta dari pasangan agar tidak terjadi salah paham. 

Menurut Gary Chapman ada 5 bahasa cinta pasangan, 
Pertama, bahasa cinta melalui apresiasi. Yakni mengungkapkan cinta terhadap pasangan melalui kata-kata romantis. Ucapan terima kasih serta pujian terhadap pasangan.

Kedua, bahasa cinta dengan menciptakan waktu berkesan dan merayakannya sebagai bukti cinta yang mereka rasakan. Bagi pasangan yang memilik bahasa cinta seperti ini, akan senantiasa meluangkan waktu untuk selalu bersama. Walaupun hanya sekedar duduk ngobrol di teras rumah sambil minum secangkir kopi. Bagi pasangan ini, waktu dan tempat tidak menjadi masalah, yang terpenting adalah kebersamaan yang mereka ciptakan.

Ketiga, bahasa cinta melalui hadiah. Ungkapan cinta pasangan ini tampak dengan intensnya mereka memberikan hadiah. Baik dalam moment hari spesial atau hari-hari biasa. Para pecinta jenis ini mereka akan senantiasa memberikan limpahan hadiah pada pasangannya. Tak mesti dengan hadiah yang mahal kadang dengan hadiah kecil berupa sebatang coklat yang sengaja mereka beli menjadi bukti perhatian dan besarnya cinta mereka terhadap pasangannya. 

Keempat, bahasa cinta dengan pelayanan. Seorang istri biasanya menunjukkan cinta kasihnya terhadap pasangannya dengan mencurahkan seluruh hidupnya untuk pelayanan yang maksimal terhadap suaminya. Demikian pula dengan suami, kecintaannya terhadap istri tidak membuatnya canggung untuk turun tangan membantu pekerjaan istrinya, mencuci piring atau mengasuh buah hati mereka.

Kelima, bahasa cinta dalam bentuk sentuhan fisik. Ungkapan cinta yang mereka lakukan dalam bentuk pelukan dan sentuhan-sentuhan terhadap pasangan sebagai bentuk cinta yang mereka rasakan.

6. Khusus untuk suami, puaskan tiga kebutuhan dasar laki-laki yakni, 

a.Kebutuhan mata, pada dasarnya laki-laki menyukai keindahan maka istri harus pandai berdandan. Dandan bukan berarti harus bermakeup. Berpakaian rapi, bersih dan menjaga penampilan diri dihadapan suami agar senantiasa terlihat fresh merupakan bagian dari tugas istri. Jangan sampai suami merasa tidak nyaman dengan penampilan istri dan mencari pemandangan indah di luar sana.

b. Kebutuhan perut, yakni menyiapkan makanan kesukaan suami. Istri tidak harus menjadi ahli masak atau chef terkenal. Cukup dengan mempelajari beberapa makanan kesukaan suami dan menyediakannya agar suami senang. Makanan yang halal dan thoyib harus selalu tersedia. Karena makanan sehat di rumah merupakan kebutuhan pokok agar keluarga terjaga kesehatannya.

c. Kemaluan, kebutuhan biologis laki-laki dan perempuan dalam hal ini sangat berbeda. Laki-laki tidak mampu menahan hasrat biologisnya sehingga saat dorongan itu muncul maka harus segera ditunaikan. Hal ini untuk menghindari terjadinya perselingkuhan. Ada ungkapan kuras "sumur" sebelum keluar rumah. Artinya bahwa kebutuhan biologis  suami merupakan hal yang sangat penting untuk menjalin keharmonisan bagi kehidupan rumah tangga. Seluruh hasrat libido suami harus benar-benar dipenuhi oleh istri hingga saat suami keluar rumah tidak ada lagi ketertarikan dan dorongan libido terhadap lawan jenisnya. Secantik atau semenarik apapun penampilan wanita pada dasarnya saat berhubungan  biologis mereka "rasanya" tetap sama.

Pernikahan adalah perjalanan rahasia yang Allah Swt tetapkan untuk manusia. Jodoh, rezeki dan ajal adalah sesuatu yang menjadi kehendak-Nya. Lama atau sebentarnya waktu usia pernikahan bukanlah tolok ukur keberhasilan dalam rumah tangga. Sebab, keberhasilan rumah tangga adalah ketika kita senantiasa berupaya untuk terus saling memahami dan mencintai pasangan demi terwujudnya pernikahan yang sakinah, mawaddah dan rahmah hingga sa'adah. Tidak hanya di dunia, tapi sampai di akhirat, yaitu berkumpul kembali di jannah-Nya. Semoga. 

Wallahu a'lamu bi ash shawwab.

1 Komentar

  1. Mantap ...semoga yg membaca bisa mengambil kihmah dari semua isi tulisan mahganipatra .yg tentunya penulisnya sendiri udah menerapkan apa yg telah di tulis ..dlam kesehrianya.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak