(Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis)
Nadiem Makarim, mungkin bukan nama asing dalam key word para peselancar dunia maya. Sebelumnya, pada tahun 2010 namanya sempat melambung karena telah membuka strat-up baru di Indonesia, yakni Gojek. Menggenggam dunia transportasi lewat aplikasi, sebuah terobosan baru di kalangan generasi millenial yang membuat tercengang para pengusaha yang masih bergaya kolonial.
Tahun ini, nama Nadiem Makarim kembali menjadi sorotan ketika preisden Joko Widodo mengumumkan jajaran menterinya. Nadiem berada pada jajaran menteri baru yang sukses menuai pro-kontra atas pengangkatannya.
Sosial media pun seperti biasa, ramai membicarakannya. Berbagai macam arah perbincangan netizen menyeruak. Namun tulisan ini akan difokuskan kepada opini mengenai masa depan pendidikan Indonesia yang berambisi serius dalam mencapai kesuksesan penerapan revolusi industri 4.0.
tentu bukan tanpa alasan Presiden Jokowi memilihnya menjadi menteri pendidikan yang notabene dunia pendidikan tidak ada hubungannya sama sekali dengan latar belakang kehidupan maupun prestasi Nadiem Makarim. Nadiem Makarim, seorang bos start-up unicorn (saat ini sudah mencapai level decacorn) berhasil mencuri hati Pak Presiden.
Setidaknya ada 3 hal yang pernah disampaikan oleh presiden sebagai alasan dipilihnya Bos Gojek menjadi menteri pendidikan. Presiden merasa butuh Menteri Pendidikan yang memiliki keahlian manajerial, menguasai teknologi, serta mampu memberi terobosan untuk mewujudkan SDM handal.
Terkait teknologi, tidak ada yang ragu dengan kemampuannya. Untuk keahlian manajerial dan mewujudkan SDM handal, Pak Nadiem dinilai telah mampu dalam dua hal ini karena sudah merintis Gojek sejak awal hingga menjadi salah satu unicorn di Indonesia serta membuka lapangan pekerjaan yang banyak bagi penduduk Indonesia melalui kerjasamanya dengan para mitra Gojek.
Pak Jokowi berharap dengan ditunjuknya bos Gojek akan mampu mengantarkan Indonesia sukses mengawal revolusi industri 4.0. Beliau menargetkan dalam masa pemerintahannya, akan muncul 1000 startup baru yang akan di link kan dengan inkubator-inkubator di global agar bisa ada akses untuk dikembangkan di negara-negara lain. Ini untuk mendukung berlangsungnya revolusi industri 4.0 di Indonesia.
Sebagaimana yang diketahui bersama, formasi pendidikan menengah di Indonesia adalah SMK jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan SMA. Pada pemerintahan yang telah lalu, formasinya dibuat demikian untuk mendukung terciptanya lebih banyak SDM yang siap pakai untuk kerja. Namun saat ini tantangan dunia semakin meningkat, melalui revolusi industri 4.0 manusia dituntut paham tentang dunia IT bahkan untuk kelas pekerja.
Seperti biasa, para kapitalis memang hebat menyembunyikan wajah aslinya. Wajahnya selalu disulap hingga tak nampak aslinya. Jika didengarkan dari pemaparan Pak Jokowi tentang target 1000 startup dan hubungannya dengan masa depan Indonesia, begitu indahnya impian itu.
Sayangnya, fakta start-up tak jauh beda dengan UKM. Memulai bisnis start-up hingga level unicorn bukanlah hal mudah. Start-up kecil memang bisa membuka peluang kerja, namun disini jugalah salah satu letak kesalahannya. Membuka lapangan pekerjaan bukanlah tugas rakyat, melainkan tugas pemerintah.
Dengan munculnya banyak start-up, hanya mengulang kesalahan masa lalu, yakni pemerintah lepas tangan dari kewajibannya memberi peluang kerja yang luas bagi rakyatnya. Bisnis start-up sukses hingga menjadi unicorn adalah hal yang sulit. Sebagaimana bisnis UKM yang dicita-citakan akan mampu menandingi produk-produk dengan merk-merk besar yang sudah terkenal, itu hanya fatamorgana.
Di sisi lain, jika dari kebijakan ini akhirnya muncul millenial yang berhasil sampai sekelas Nadiem Makarim, justru berkemungkinan akan melancarkan investasi asing dan terserapnya tenaga ahli asing. Sebab di Indonesia tenaga ahli terbatas, dan lagi start-up yang mau sampai level unicron syaratnya adalah dengan mendapatkan banyak kucuran dana dari investor.
Timbal balik yang bisa di
manfaatkan investor setidaknya ada 3 hal, penguasaan data tentang masyarakat, produk impor dari mereka, dan mendapatkan teknologi terkini dengan cara mudah-murah untuk memenangkan pertarungan bisnis.
Ketika kita berbicara tentang Pendidikan, maka Indonesia memiliki PR besar dalam, yakni iman dan taqwa generasi muda. Berita freesex anak-anak remaja hingga guru dan kepala sekolahnya, pembunuhan antar remaja bahkan juga pada gurunya sendiri, menjadi catatan kelam pendidikan Indonesia hari ini.
Maka ketika memandang Pendidikan hanya sebatas revolusi industri 4.0, maka akan menjadikan panggang jauh dari api. Kita terlalu berpikir permukaan tanpa menyentuih dasar. Oleh karena itulah, dalam islam selalu disampaiakan, bahwa aqidah islam adalah landasan dalam seluruh kurikulumnya. Sehingga ketika anak sudah beraqidah kokoh dan bersyakhsiyah kuat, maka kemmapuan teknologi dan lain sebagianya akan dimanfaatkan sebesar – besarnya untuk kemakmuran negara. Bukan untuk menjadi budak asing yang kita tersilakukan dengan bungkus kemewahan yang disuguhkan.
Wallahu a’lam.