Oleh: Asha tridayana
(ibu rumah tangga)
Belum lama berselang, terdapat kasus dimana seorang ibu tega meminumkan air galon dengan paksa kepada anak kandungnya sendiri hingga tewas, lantaran stres setelah diancam sang suami akan diceraikan jika kondisi anaknya masih saja terlihat kurus. Entah mendapat ide darimana, seorang ibu akhirnya mengambil jalan pintas tersebut untuk menjadikan anaknya lebih gemuk. Hal ini terjadi akibat kondisi ekonomi keluarga mengalami kesulitan sehingga korban tidak mendapatkan gizi yang cukup, jelas Irwandhy Idrus, Kanit Reskrim Polsek Kebon Jeruk AKP kepada wartawan di kantornya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Jumat (25/10/2019) yang dilansir dari www.islampos.com.
Sungguh tragis, seorang ibu sampai hati melakukan perbuatan di luar nalar hingga menyebabkan anaknya sendiri meninggal. Memang tak dipungkiri jika ibu tersebut bersalah tapi tidak menutup kemungkinan orang-orang di sekitarnya ikut andil secara tidak langsung. Keluarga seharusnya menjadi tempat untuk saling menjaga, bukan saling menyalahkan. Apalagi seorang suami yang juga mempunyai peran penting dalam pengasuhan dan pendidikan anak, meskipun tanggung jawab tetap berada di tangan seorang ibu. Setidaknya suami memberikan banyak dukungan, bukan malah memojokkan ketika kondisi anak tidak seperti keinginan. Belum lagi, jika terdengar komentar-komentar miring dari orang sekitar yang terkadang tidak peduli apakah menyinggung perasaan atau tidak.
Tanggung jawab menjadi seorang ibu tentu sungguh berat, disibukkan dengan rutinitas pekerjaan rumah tangga serta mengurus dan mendidik anak-anak. Keadaan semacam ini mudah memicu stres bahkan depresi sehingga kasus-kasus serupa bisa dan mungkin sekali terjadi. Jika ditelusur lebih jauh, banyak kasus kriminalitas yang bersumber dari hilangnya peran keluarga. Dalam hal ini peran seorang ibu yang seharusnya menjadi ummu warobatul bait (mengatur urusan rumah tangga), madrasatul 'ula, mengasuh dan mendidik putra putrinya justru kehilangan naluri keibuannya.
Semua peristiwa yang terjadi tak lepas dari adanya kapitalisme yang bersarang di negeri ini. Peran negara yang semestinya menjadi pelindung dan perisai bagi warganya termasuk menjamin kesejahteraan ibu dan anak tak lagi dijalankan. Pemerintah seolah lepas tanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya. Termasuk kondisi perempuan terlebih seorang ibu yang butuh dukungan justru semakin disibukkan dengan beban kehidupan. Seorang ibu dituntut bisa mengurus rumah tangga dan juga harus bekerja. Karena faktor ekonomi yang semakin membebani, ditambah lagi biaya fasilitas kesehatan dan pendidikan yang semakin tinggi. Kebutuhan bahan pokok pun menjadi sulit tercukupi sehingga anak pun turut menjadi korban. Rumah tangga yang harmonis dan penuh kasih sayang berubah menjadi tempat pelampiasan kekesalan atas kesulitan hidup yang semakin mendera. Jaminan kesejahteraan tak lagi bisa diharapkan. Melihat berbagai peristiwa yang terjadi, negeri ini perlu perubahan yang mendasar yang menyelesaikan masalah dari akar, dengan mencampakkan kapitalisme yang berasas sekulerisme. Dimana segala sesuatu dinilai dari manfaat yang dihasilkan tanpa peduli akibat yang ditimbulkan termasuk kesenjangan ekonomi dan sosial. Maka beralih ke sistem Islam sebagai satu-satunya jalan keluar.
Islam jelas sekali telah mengatur bagaimana seharusnya memperlakukan perempuan. Begitu banyak jaminan bahkan memuliakan perempuan bisa dikatakan suatu kewajiban. Rasulullah bersabda : "Dunia ini adalah perhiasan/kesenangan, dan sebaik-baik perhiasan / kesenangan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad). Perlindungan pun senantiasa diberikan kepada perempuan seperti firman Allah swt : “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) , dan karena mereka (laki-laki) telah memberi nafkah dari hartanya.“ (QS. An-Nisa : 34). Terlebih ketika menjadi seorang ibu, dimana kedudukannya tiga tingkat lebih tinggi dibandingkan seorang laki-laki, sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadist : Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.' (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).
Oleh karena itu, hanya dengan sistem Islam perempuan akan mendapatkan kesejahteraan, perlindungan bahkan dijamin hak dan kewajibannya. Peran seorang ibu pun tetap terjaga tanpa khawatir akan terjadi hal-hal yang diluar nalar. Urusan rumah tangga terkondisikan dan keluarga menjadi tempat yang dirindukan. Pengasuhan dan pendidikan anak terjamin sehingga terlahir generasi-generasi gemilang yang berkepribadian Islami. Karena sosok seorang ibu sebagai madrasatul 'ula dapat tercurahkan dengan maksimal. Terlebih kondisi psikologis seorang ibu jauh dari tekanan berkat dukungan dari suami dan orang-orang sekitar. Selain itu, keluarga yang harmonis juga turut andil menurunkan angka kriminalitas sehingga kondisi negeri pun semakin kondusif. Begitulah ketika Islam diterapkan secara kaffah di setiap sendi kehidupan. Hal ini telah terbukti lebih dari 14 abad Islam mencapai puncak kejayaan menjamin kesejahteraan dan perlindungan seluruh rakyatnya tanpa terkecuali.
Wallahu'alam bishowab.
Tags
Opini