Oleh : Shela rahmadhani
(aktivis Agrokompleks)
Kebakaran hutan sepanjang September kemarin membuat jagad raya kelam. Bahkan kebakaran begitu mencekam terlebih pasca fenomena langit memerah darah sebagai bentuk adanya akibat polusi udara yang tinggi. Tercatat Bencana kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Indonesia dalam kurun Januari berdasarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana hingga Agustus 2019 mencapai 328.724 hektare.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data dan Informasi Masyarakat BNPB, Agus Wibowo mengatakan kebakaran hutan Riau mencapai 49.266 hektare (Ha) dan merupakan kebakaran terluas. Kebakaran di Riau paling banyak terjadi di lahan gambut mencapai 40.553 Ha, dan tanah mineral 8.713 Ha. Kebakaran hutan dan lahan yang luas juga terpantau di Kalimantan Tengah mencapai 44.769 Ha, Kalimantan Barat 25.900 Ha, Kalimantan Selatan 19.490 Ha, Sumatera Selatan 11.826 Ha, Jambi 11.022 Ha. Jumlah titik panas pada Jumat pukul 09.00 WIB dilaporkan 5.086, dengan titik terbanyak di Kalimantan Tengah dengan 1.443 titik panas disusul Kalimantan Barat (1.384), Jambi (695), Sumatera Selatan (532), Riau (187), dan Kalimantan Selatan (169) (katadata.co.id, 20/09/2019).
Dalam jumpa pers di kantornya, Senin (23/9), pelaksana tugas Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo menjelaskan hingga 23 September 2019, jumlah penderita ISPA akibat kebakaran hutan dan lahan sebanyak 919.516 orang di enam provinsi, yaitu Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan (Voaindonesia, 23/09/2019)
Sedangkan, menurut data yang dilansir situs iku.menlhk.go.id secara harian, pada 16 September 2019 per pukul 15.00 WIB, Indeks Standar Pencemar Pencemar Udara (ISPU) di Palangkaraya (Kalimantan Tengah), mencapai angka 500. Artinya, kualitas udara di Palangkaraya ada pada level Berbahaya bagi semua populasi yang terpapar pada waktu tersebut. Data yang sama menunjukkan hingga Senin pukul 15.00 WIB, kualitas udara di Pekanbaru (Riau) dan Pontianak (Kalbar) masuk dalam kategori Tidak Sehat, dengan angka ISPU masing-masing 192 dan 160. Dampak kondisi di level ini umumnya penurunan jarak pandang dan penyebaran luas debu. ISPU pada kategori Tidak Sehat juga terjadi di Kota Jambi, yakni mencapai angka 129.
Angka ISPU itu berdasar parameter konsentrasi partikulat PM 10 atau partikel di udara berukuran lebih kecil dari 10 mikron. PM10 adalah partikel debu dan salah satu polutan yang membahayakan sistem pernapasan jika terhisap langsung ke paru-paru serta mengendap di alveoli. Data BMKG yang dilansir harian berdasar parameter konsentrasi PM10, juga menunjukkan kualitas udara di Pekanbaru (Riau) pada 16 September 2019, pukul 18.00 WIB, mencapai level Berbahaya atau angka 327 µgram/m3. Tingkat konsentrasi PM10 makin parah pada pukul 21.00 WIB.
Di Pontianak, konsentrasi PM10 sempat menyentuh level Berbahaya pada Senin, pukul 16.00 WIB, yakni 383,81 µgram/m3. Angka itu menurun ke level Sangat Tidak Sehat atau 293,73 µgram/m3 pada pukul 18.00 WIB. Kualitas udara di Sampit (Kalbar), yang Berbahaya pada Senin pagi, turun ke level Sangat Tidak Sehat dengan konsentrasi PM10 226,6 µgram/m3, saat pukul 18.00 WIB (tirto.id, 17/09/2019)
Akar Masalah Titik Api Persepektif Ilmiah.
Kebakaran hutan akibat faktor alam merupakan sebuah bencana. Kebakaran hutan dapat terjadi secara alami pada musim kemarau akibat pembakaran spontan. Pendapat adanya El Nino yang membuat curah hujan minim dan kebakaran hutan di Australia turut memgemuka sebagai faktor alam karhutla baru-baru ini. Hal ini disampaikan Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK, Ruandha Agung Sugardiman
"Memang kondisinya saat ini El Nino normal, tapi ini diperparah dengan adanya kebakaran di Australia yang arah anginnya sekarang dari tenggara menuju ke barat laut. Sehingga udara kering dari Malaysia menambah potensi terjadinya kebakaran ini," kata dia seperti dilansir Antara.
Pembakaran spontan atau pengapian spontan, adalah merupakan proses terbakar akibat pemanasan sendiri, oleh peningkatan suhu, karena reaksi sendiri/internal eksothermik, kemudian diikuti dengan pelepasan panas (pemanasan internal cepat, mempercepat terjadinya kenaikan suhu tinggi), sehingga mampu menyalakan dan menimbulkan pengapian. Seperti contoh timbunan batubara di alam terbuka, dapat menyala secara spontan atau terbakar akibat paparan panas matahari diikuti oksidasi dengan oksigen udara terbuka sehingga menimbulkan api.
Dalam kasus kebakaran hutan, pembakaran spontan dapat terjadi atas beberapa peluang. Diantara peluang terbakar spontan adalah semak dan padang lalang/rumput yang mengering sepanjang musim kemarau. Pergesekan hutan lebat terutama hutan bambu dan batang kayu yang tertiup angin, akan menimbulkan panas sehingga terjadi pembakaran spontan.
Demikiam pula pembakaran spontan berpeluang pula terjadi pada lahan gambut. Tumpukan gambut kering mudah menyala dan terbakar bahkan menjadi perhatian serius. Gambut adalah lahan basah yang terbentuk dari timbunan materi organik yang berasal dari sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut, dan jasad hewan yang membusuk. Timbunan tersebut menumpuk selama ribuan tahun hingga membentuk endapan yang tebal. Pada umumnya, gambut ditemukan di area genangan air, seperti rawa, cekungan antara sungai, maupun daerah pesisir yang tebalnya dapat mencapai lima hingga sepuluh meter. Gambut memiliki sifat menyimpan air sehingga dapat menahan banjir pada saat musim hujan. Namun pada musim kering air di lahan gambut akan menguap. Kekeringan pada lahan gambut, dapat memicu panas di tumpukan gambut, sehingga kebakaran pada lahan gambut bisa terjadi secara tidak terduga bahkan cukup berbahaya karena lahan tersebut dapat menyimpan panas dan api yang menjalar dan menyebar secara luas pada kedalaman tertentu di bagian permukaan lahan.
Karena yang terjadi di bawah permukaan lahan gambut, tidak ada alat yang mampu memadamkannya. Lahan gambut sangat sempurna menahan bara api. Pengalaman tim pemadam kebakaran Manggala Agni bersama-sama dengan tim asing dari Korea dan Jepang (2006) telah berusaha keras memadamkan titik api di Kabupaten Ketapang, namun mereka tidak mampu dan api terus menjalar. Hanya guyuran hujan yang turun dengan deras yang mampu memadamkan titik api karena adanya genangan air pada lahan tersebut. Jika hujan yang turun relatif kecil (tidak sampai menggenangi lahan gambut), maka kebakaran lahan gambut akan semakin mengeluarkan asap yang lebih besar lagi (seperti menyiram air ke setrika yang sangat panas). Api cepat menjalar pada bagian dalam lahan gambut yang kering, sehingga sering menyebabkan munculnya titik api baru di beberapa tempat.
Namun, di saat masih ditutupi hutan asli, dan belum terjadi penebangan hutan, kelembaban hutan tetap tinggi dan lapisan humus akan menjaga penguapan air tanah gambut. Pada akhirnya penggundulan hutan maupun alih fungsi lahan gambutlah yang berpotensial menyebabkan pembakaran spontan tersebut.
Faktor pemicu munculnya titik api juga dapat dihasilkan dari kecerobohan manusia misalnya pembuangan puntung rokok sembarangan di lahan yang kering. Demikian juga kelalaian para petani ketika melakukan pembakaran semak yang sudah ditebas namun terjadi perembetan api ke lahan-lahan lainnya. Kadang disebabkan juga faktor ketidaksengajaan seperti terbangnya percikan api yang terbawa angin ke lokasi lahan disebelah sehingga menimbulkan titik api.
Akar Masalah Titik Api Perspektif Ideologi
Kebakaran hutan hari ini tidak terlepas dari agenda kapitalisme global terkait budidaya kelapa sawit. Kelapa sawit hari ini digadang-gadang sebagai sumber energi terbarukan untuk mencegah pemanasan global disebut sebagai biofuel climate change. Padahal sejatinya agenda hegemoni dan penjajahan. Tak heran, pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit sangat gencar terjadi di daerah Riau dan Kalimantan.
Program biofuel climate change telah dikampanyekan sejak Maret 1994 pada KTT bumi melalui forum The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang ditandatangani oleh 154 negara termasuk Indonesia. Gagasan ini berisi mandat bahwa Energi fosil wajib “dimusuhi” dan wajib beralih pada energi terbarukan. Salah satu bentuk energi terbarukan tersebut adalah biofuel, berasal dari tumbuhan dalam hal ini sawit. Komitmen dunia terhadap agenda berbahaya ini terus diperkuat melalui pertemuan tahunan Conference of the Parties (COP). Khususnya COP di Kyoto Jepang tahun 1997 dan dihasilkan persetujuan amandemen UNFCCC dengan nama Kyoto Protocol to The UNFCCC.
Protokol Kyoto di tandatangani oleh 181 negara dan Uni Eropa. Kemudian COP 21 tahun 2015, dengan merumuskan kesepakatan iklim Paris yang mengikat AS dan 187 negara lain. Namun AS sebagai penyumbang 15% emisi GRK dunia mengundurkan diri dari kesepakatan ini di tahun 2017 karena dipandang AS merugikannya dan menguntungka rival bisninsinya India dan China (https://www.bbc.com/indonesia/amp/dunia-40126676/amerika-serikat-mundur-dari=kesepakatan-iklim-paris)
Pada COP 24, tahun lalu di Polandia disepakati pemberlakukan kesepakatan iklim Paris. Menjelang COP 25 pada 2-13 Des 2019 di Santiago diadakan KTT Aksi Iklim di New York pada 23 Sept 2019 membahas tindakan transisi ke energi terbarukan ( biofuel sawit tentu salah satunya).
Demikian pula pada pertemuan G20 di Osaka-Jepang, Indonesia berkomitmen menjalankan agenda hegemoni climate change, khususnya program biodiesel/biofuel sawit. Dan Indonesia telah mengadopsi mandatori biodiesel blending 20 persen (B-20) dan ditargetkan 30 persen (B-30) pada tahun 2025.
Perluasan kebun kelapa sawit terjadi secara besar-besaran bermula dari hal itu untuk memenuhi kebutuhan kapitalis global. Tidak tanggung-tanggung, tahun ini industri sawit Indonesia memproduksi sekitar 42 juta ton CPO,15. Sementara pemenuhan kebutuhan Eropa saja tahun 2012 dibutuhkan lahan 7000 m2, sebagai perkiraan tahun 2011 permintaan Eropa 3,4 juta ton. Ini belum lagi pemenuhan negara-negara di Asia. Maka, tentu besar sekali lahan yang dibutuhkan untuk produksi kelapa sawit tersebut. Wajar alih fungsi lahan hutan gambut menjadi solusi.
Sebagai turunan dari konsep besar biofuel tersebut, hak konsesi (HGU) kepada korporasi perkebunan semakin meluas pula. Bahkan menjadi faktor keganasan karhutla yang berulang selama puluhan tahun. Terbukti, seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini pun titik api terbanyak kembali ditemukan di lahan perkebunan pemilik hak konsesi, khususnya perkebunan sawit. Jadi, bukan di lahan milik masyarakat kebanyakan sebagaimana diklaim pemerintah.
Para pemilik hak konsesi, sangat memungkinan melakukan penyiapan lahan dengan
membakar semak belukar mengingat luasnya lahan yang dibutuhkan untuk kelapa sawit. Hal ini diperkuat dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyegel sekitar 42 perusahaan di 43 lokasi yang diduga menjadi otak di balik aksi pembakaran hutan. Hal tersebut disampaikan oleh Dirjen Penegakkan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani saat ditemui di kantor BNPB, Jakarta, Sabtu (14/9/2019).
Demikian pula, pemberian hak konsensi searah dengan data rusaknya ekosistem lahan gambut Hutan di Indonesia sebagian besar adalah hutan gambut. 2,5 juta hektare IUPHHK-HT (HTI) di Indonesia adalah ekosistem gambut, dan lebih dari 1 juta ha merupakan gambut fungsi lindung. Maka wajar, titik api karhutla di Riau dan Kalimantan kebanyakan masuk ke dalam Kawasan Hidrologi Gambut (KHG).
Para korporasi konsensi merusak ekosistem gambut dengan pengeringan kanal-kanal yang ada ekosistem gambut sehingga dapat memicu kebakaran spontan atau terkena percikan pembakaran yang menyebabkan rembetan dan menyala besar. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhadi menyatakan, ekosistem gambut di Riau dan Kalimantang Tengah rusak sejak pemerintah memberikan konsesi lahan kepada para pengusaha. Sebab, para pengusaha kerap mengeringkan kanal di lahan gambut. Kanal yang berisi air tersebut sedianya dibutuhkan untuk menjaga lahan gambut tetap basah agar tak mudah terbakar. Karena sekarang sebagian besar kanal mengering, maka karhutla mudah terjadi dan terus meluas.
Kebakaran hutan secara alami adalah perkara yang mungkin saja terjadi, namun, sangat kecil peluangnya. Mengingat Indonesia adalah jalur kathulistiwa yang curah hujannya cukup walaupun ada musim kemarau. Pada daerah yang tingkat kekeringannya tinggi seperti puncak gunung Merbabu, bisa saja terjadi kebakaran hutan alami karena pembakaran spontan. Namun, di hutan hujan tropis sepertinya kecil sekali mengingat hutan gambut yang belum rusak memiliki mekanisme protektif alami dari kekeringan. Namun, akibat manusia yang di drive oleh ideologi kapitalisme keseimbangan menjadi rusak dan kebakaran hutan terjadi baik sengaja (dibakar) atau tidak (terbakar).
Agar Karhutla Tidak Berulang
Islam mengharamkan perilaku merusak, dan sebaliknya Islam mengajarkan untuk menjaga alam semesta. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-A’raf [7] Ayat 56:
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepadanya rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”
Maka, Islam memerintahkan normalisasi fungsi ekologi dan hidrologi gambut untuk keseimbangan alam dengan program restorasi gambut termasuk rewetting dan revegetasi ekologi gambut yang terbakar dengan anggaran yang bersifat mutlak dari kas negara. Allah subhanahu wa ta'ala menciptakan kadar, karakter alamiah pada setiap makhluk ciptaan-Nya, juga hutan dan lahan gambut. Ditegaskan dalam QS Al A’la ayat 3, yang artinya, ”Dan yang menentukan kadar (masing-masing ciptaan-Nya) dan memberi petunjuk”. Dan terlarang merusaknya, ditegaskan Allah subhanahu wa ta'ala dalam QS Ar Rahman (55), ayat 8, yang artinya, ” agar kamu jangan merusak keseimbangan itu”.
Islam juga mengharuskan pencabutan hak konsensi. Hak konsesi tidak dikenal dalam Islam. Karena, pemanfaatan secara istimewa (himmah) hanyalah pada negara, dengan tujuan untuk kemashlahatan Islam dan kaum muslimin. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak ada hima (hak pemanfaatan khusus) kecuali bagi Allah dan Rasulnya” (HR Abu Daud). Hutan gambut tropis Indonesia memiliki fungsi ekologis dibutuhkan oleh puluhan juta jiwa Karenanya, pada hutan dan lahan gambut, sebagaimana hutan pada umumnya, melekat karakter harta milik umum. Dituturkan lisan mulia Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam yang artinya, ”Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air dan api”(HR Abu Dawud).
Agenda hegemoni Climate Change biofuel sawit wajib diakhiri, sebab Islam mengharamkan penjajahan apapun bentuknya. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam QS Al Maaidah (4): 141, artinya, “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin”.
Negara hadir dan menjadi pihak paling bertanggungjawab penjaga kelestarian fungsi hutan dan lahan gambut. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam menegaskan, artinya, ”Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggungjawa terhadap gembalaannya (rakyatnya),” (HR Muslim). Artinya, apapun alasannya negara haram sebagai regulator bagi kepentingan korporasi perkebunan sawit. Sebaliknya, negara wajib bertanggungjawab langsung dan sepenuhnya dalam pengelolaan hutan dan lahan gambut. Termasuk pemulihan fungsi gambut yang sudah rusak serta antisipasi pemadaman bila terbakar.
Alih fungsi lahan dan ekstensifikasi di dalam Islam didasarkan pada pengkajian. Negara akan menentukan setelah tim ahli melakukan pengkajian terkait mana lahan yang boleh dijadikan perkebunan, pertanian, dan hutan. Lalu, rakyat dapat menghidupkan lahan pertanian dan perkebunan, sementara hutan tetap dilestarikan, tidak boleh dirusak.
Mekanisme pengaktifan lahan mati atau ekstensifikasi tetap dilandasi oleh prinsip melestarikan alam bukan merusak alam (ekosistem). Demikian pula ekosistem lahan gambut.
Dan yang dapat melakukan semua hal tersebut adalah negara yang menerapkan ideologi dan sistem Islam.
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah
kamu akan dikumpulkan” (TQS Al Anfal (8): 24). Allahu a’lam.