Oleh : Ninning Anugrawati, ST.,MT
(Dosen Non PNS UHO)
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan soal berlakunya percepatan larangan ekspor komoditas bijih nikel. Mulai berlaku 1 Januari 2020. Hal ini diumumkan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Bambang Gatot. Salah satu alasan larangan ekspor bijih nikel kadar rendah karena pemerintah menganggap teknologi yang ada di Indonesia sudah sangat maju, sudah dapat mengolah bijih nikel kadar rendah yang didalamnya mengandung komponen cobalt dan juga lithium yang berguna sebagai bahan baterai mobil listrik yang sementara dikembangkan oleh pemerintah saat ini.
Hal ini tentunya menjadi kabar yang membanggakan dimana bijih nikel laterit yang banyak terdapat di Indonesia bagian timur, yang tadinya hanya bijih dengan kadar nikel 1,6 % keatas yang dapat dikelola, sementara bijih nikel dengan kadar nikel dibawah dari 1,6 % tidak dapat dikelola sebab dianggap tidak ekonomis, sekarang telah dapat dikelola dan dimanfaatkan. Permasalahannya kemudian apakah ini membawa kemaslahatan bagi negeri ini khususnya masyarakat Indonesia?
Dampak Pelarangan Ekspor Bijih Nikel
Pelarangan ekspor bijih nikel harusnya sudah terjadi lima tahun sejak diberlakukannya undang-undang No.4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, dalam pasal 103 diatur bahwa para pemegang izin usaha khusus operasi produksi wajib mengelola dan memurnikan hasil tambang di dalam negeri. Pasal 107 ditegaskan bahwa pemurnian di dalam negeri harus dilakukan selambat-lambatnya lima tahun setelah undang-undang tersebut diundangkan. Dengan merujuk pada pasal tersebut seharusnya larangan ekspor bijih nikel sudah harus dilakukan pada 12 Januari 2014 lalu. Kebijakan ini dianggap menjadi jalan masuknya bagi investasi asing dalam membangun pabrik-pabrik smelter di Indonesia dengan didukung berbagai kebijakan yang memberikan peluang sebesar-besarnya bagi asing untuk melakukan investasi dibidang pertambangan dan infrastruktur, pada 3 Oktober 2013 dilakukan penandatanganan MoU antara Presiden China Xi Jinping dengan pemerintah Indonesia tentang pembangunan industri hilir di Morowali. Ketika pembangunan smelter tersebut berhasil, banyak investor China yang tertarik untuk masuk ke kawasan itu (Finance.detik.com).
Larangan ekspor bijih nikel kadar rendah sangat erat kaitannya dengan pengembangan kendaraan listrik di Indonesia sebab baterai kendaraan tersebut bahan bakunya terdapat pada bijih nikel, banyak pihak yang menganggap bahwa larangan ekspor bijih nikel merupakan hal positif bagi Indonesia dan berdampak negatif bagi China, sebab selama ini Indonesia sebagai salah satu penghasil bijih nikel terbesar di dunia namun sebagian besar diekspor ke China. Oleh karena itu sangat penting untuk mengembangkan pengolahan dan pemurnian bijih nikel dalam negeri. Riset dari Wood Mackenzie menyebutkan bahwa penghentian ekspor nikel dari Indonesia akan menurunkan produksi Nickel Pig Iron (NPI/feronikel berkadar rendah) China. Tentunya alasan-alasan diatas menjadi sesuatu yang keliru mengingat pelaku usaha penambangan dan pengolahan bijih nikel terbesar di Indonesia saat ini tetap dipegang oleh China.
Dari sisi penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat yang terkena dampak langsung dari kegiatan penambangan dan pengolahan masih belum memberi harapan baik. Hal ini dikarenakan investasi yang dilakukan oleh pihak asing khususnya China selain membawa teknologi yang mereka miliki, mereka juga membawa tenaga kerja yang berasal dari negaranya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kabuputen Morowali, jumlah TKA di Morowali mencapai 3.113 orang, sekalipun ada pihak yang mengatakan nilai tersebut jauh lebih sedikit dari jumlah sesungguhnya (Kumparan.com ).
Ini juga tentunya membawa dampak negatif bagi masyarakat sekitar mengingat kebiasaan dan budaya dari tenaga kerja asing yang jauh menyimpang dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang masih dipengaruhi nilai-nilai moral dan agama. Dari sisi lingkungan tentunya dengan banyaknya pembukaan lahan untuk kegiatan penambangan dan konstruksi smelter serta emisi gas buang mesin-mesin yang digunakan di pabrik smelter tentunya berdampak buruk apalagi jika semua itu dikelola dengan ketamakan tanpa memperhatikan kaidah yang baik. Bahan galian tambang bersifat tidak terbarukan, jika telah habis maka habislah tanpa meninggalkan dampak positif bagi bangsa ini. Seharusnya pemerintahlah yang berperan dalam mengelolanya yang hasilnya diperuntukan bagi kemaslahatan masyarakat diberbagai bidang kehidupan: kesejahteraan, kesehatan, pendidikan dan lain-lain.
Solusi Tuntas dalam Pengelolaan Barang Tambang
Islam sebagai suatu sistem kehidupan memiliki sistem ekonomi yang khas. Di dalamnya ada konsep bagaimana mengelola sumber daya alam ini. Menurut pandangan Islam, hutan, air, dan energi adalah milik umum. Ini didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW: ‘‘Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api“ (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). Maka, pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada swasta (corporate based management) tapi harus dikelola sepenuhnya oleh negara (state based management) dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk.
Untuk pengelolaan barang tambang dijelaskan oleh hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal yang menceritakan, saat itu Abyad meminta kepada Rasul SAW untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang sahabat. “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda, “Tariklah tambang tersebut darinya”. Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus menerus. Hadits tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Sikap pertama Rasulullah SAW memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Akan tetapi, ketika Rasul SAW mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar—digambarkan bagaikan air yang terus mengalir—lalu Rasul mencabut pemberian itu. Hal ini karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum. Adapun semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.
Berbagai permasalahan yang timbul dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya bijih nikel yang berdampak sangat buruk bagi bangsa ini tentunya berasal dari sistem kapitalisme dan sistem pemerintahan demokrasi yang menopang negeri ini. Semua kebijakan yang dilahirkan memberikan peluang yang sangat besar bagi pihak asing dalam mengeruk kekayaan alam negeri ini. Saatnya negeri ini beralih pada sebuah sistem yang dirahmati, mensejahterakan yang berasal dari zat yang menciptakan manusia, yang lebih memahami bagaimana seharusnya manusia berbuat, yaitu sistem Islam dan tentu saja negeri ini harus memiliki pemimpin yang amanah menjalankan sistem tersebut.