Oleh : Zahida Arrosyida
Perbincangan seputar Khilafah kini resonansinya semakin memenuhi ruang publik. Hal itu dipicu oleh beberapa pernyataan dari pejabat dan tokoh negeri ini, satu diantaranya pejabat yang baru terpilih menyatakan banyak pihak mengharapkan terbentuknya sistem Khilafah dan pemerintahan di Indonesia. Beliau menampik kenyataan itu dengan mengatakan tidak ada yang namanya sistem Khilafah dalam Islam, yang ada adalah prinsip Khilafah dan itu tertuang dalam Alqur'an.
Tudingan yang digulirkan oleh mereka yang terpesona oleh pemikiran dari barat ini sesungguhnya bagian dari penyesatan politik dan upaya memalingkan umat dari khazanah kekayaan pemikiran Islam. Perang salib yang berkepanjangan telah memberikan inspirasi bagi Barat, bahwa kaum Muslim tidak mungkin dikalahkan secara fisik sebelum mereka dilumpuhkan secara pemikiran. Barat lalu melakukan ghazwul fikri (perang pemikiran) dan membuat berbagai propaganda negatif terhadap ideologi Islam. Lalu propaganda tersebut disebarkan melalui media, penguasa-penguasa yang merupakan agen-agen barat dan para tokoh yang telah terancukan pemikirannya dengan ide-ide sekuler.
Benarkah sistem Khilafah tidak ada dalam Islam? Benarkah Alqur'an tidak menentukan bentuk baku sistem pemerintahan? Untuk menemukan jawabannya marilah kita berfikir jernih dan objektif serta mengambil sumber-sumber hukum syara yaitu Alqur'an, Assunnah,Ijma dan Qiyas sebagai pijakan kita dalam berargumen.
Sistem dalam Kamus Bahasa Indonesia Daring (2016) yang dikelola oleh Kemendikbud menguraikan tentang definisi sistem yait :
1) Sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas
2) Sistem adalah susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya
3) Sistem adalah metode.
Sedangkan istilah baku, disebutkan dalam referensi yang sama bahwa yang dimaksud baku adalah :
1) Pokok; utama
2) Tolak ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan; standar.
Dari pengertian sistem dan baku di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa istilah sistem baku menggambarkan suatu *perangkat unsur yang secara totalitas, yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan; standar tertentu*. Kriteria kebakuan ini jelas telah dipenuhi oleh sistem pemerintahan (al-Khilafah) dalam Islam karena :
1) Asas dan pondasi kepemimpinan Khilafah adalah tauhid atau akidah Islam. Asas dan pondasi inilah yang akan menentukan tata letak bangunan kehidupan di atasnya.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan : " Akidah Islam adalah dasar negara. Segala sesuatu yang menyangkut institusi negara, perangkat negara dan pengawasan atas tindakan negara harus dibangun berdasarkan akidah Islam. Akidah ini menjadi asas undang-undang dasar dan perundang-undangan syar'i. Segala sesuatu yang berkaitan dengan undang-undang dasar(dustur) dan perundang-undangan (qonuun) harus terpancar dari akidah Islam. Konsep agung ini dijelaskan oleh Syaikh Taqiyuddin berdasarkan argumentasi :
(i) Rasulullah mendirikan Daulah Islam di Madinah berdasarkan akidah Islam, yakni kalimat laa Ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah. Kalimat inilah yang mendasari seluruh aspek kehidupan umat Islam saat itu.
(ii). Rasulullah telah mewajibkan jihad untuk menyebarkan kalimat laa Ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah kepada seluruh umat manusia : " Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi tidak ada ilah kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah" (HR. Al Bukhari, Muslim, Ahmad).
(iii) Rasulullah telah memerintahkan perang (qital) demi menjaga kedudukan akidah Islam sebagai dasar negara. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit, Rasulullah telah mewajibkan umat Islam untuk menaati Imam/Khalifah, kecuali : "... Jika kalian melihat kekufuran yang nyata, dan kalian mempunyai argumentasi yang kuat di sisi Allah tentang kekufuran itu." (HR. al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Malik,Ahmad, an-Nasa'i).
2) Pedoman dan Standar Konstitusi Negara Khilafah.
Dalam Islam bertolak dari prinsip akidah Islam sebagai asas dan fondasi kepemimpinan, maka konstitusi negara wajib dirumuskan berdasarkan pedoman dan standar Alqur'an dan as-Sunnah, didukung ijmak sahabat dan qiyas syar'i. Ini sejalan dengan prinsip bahwa sistem pemerintahan dalam Islam berdiri tegak di atas kedaulatan di tangan As-Syari (Allah dan Rasul-Nya).
Allah menegaskan bahwa Alqur'an merupakan pedoman utama bagi mereka yang bertaqwa (QS: Al Baqarah:2).
Dasar syar'i wajibnya menjadikan Alqur'an dan as-Sunnah sebagai pedoman konstitusi negara adalah :
(i) Adanya dalil yang mewajibkan kaum muslimin berhukum pada hukum yang diturunkan Allah (QS : an-Nisaa;65, al-Maidah; 48)
(ii) Adanya dalil yang secara tegas melarang kaum muslimin berhukum dengan selain hukum Allah (QS: al-Maidah; 44). Ditambah dengan beberapa perintah untuk menegakkan Islam secara total dalam kehidupan (QS: Al-Baqarah; 208).
3) Esensi kepemimpinan dalam Islam.
Kekhilafahan adalah amanah, yaitu amanah untuk menegakkan aturan Ilahi. (QS : Al-Baqarah; 30). Mengkufurinya adalah kebinasaan sebagaimana digambarkan dalam QS : Faathir;39. Allah pun menegaskan amanah tersebut dalam ayat-ayat Alqur'an lainnya ( QS : al-An'am; 165 dan an-Naml; 27).
4) Visi kepemimpinan dalam Islam.
(i) Melanjutkan kehidupan Islam. Khilafah merupakan entitas politik yang memiliki visi penegakkan Islam kaffah dalam kehidupan sebagaimana digambarkan dalam praktik kehidupan al-Khulafa' al-Rasyidun,dimana Islam telah datang secara sempurna dan kesempurnaan tersebut diikuti oleh penegasan bahwa Allah hanya meridhai Islam sebagai Dien yang ditegakkan oleh manusia, berdasarkan dalil yang terang-benderang dalam firman-Nya :
" Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu" (al-Maidah ; 3).
Kesempurnaan Islam ini diikuti dengan tuntutan syar'i berupa kewajiban menyegarakan penegakkan Islam dalam kehidupan (QS: Ali Imran; 133).
(ii)Menyatukan kaum muslimin di atas asas akidah Islam.
Islam secara tegas mengajarkan umatnya untuk menjunjung tinggi persatuan di atas akidah Islam. Seperti yang di firmankan Allah pada QS al-Hujurat; 10, QS at-Taubah; 11 dan QS ar-Ruum; 31-32.
Dalam hadist Rasulullah bersabda :" Sesungguhnya orang beriman bagi orang beriman lainnya bagaikan satu bangunan yang saling menguatkan." (HR Bukhari, Muslim, an-Nasa'i, Tirmidzi dan Ahmad).
(iii) Menegakkan dakwah Islam meraih kembali predikat khayra ummah. Visi ini sejalan dengan tugas Rasulullah yang diutus untuk seluruh umat manusia, bersifat universal dimana hal ini meniscayakan visi dakwah tanpa melihat warna kulit (suku bangsa) dan asal-usul (wilayah) sebagaimana firman-Nya :" Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." ( QS: Saba; 28). Diperjelas QS al-A'raf; 158, nash-nash Alqur'an dan as-Sunnah yang membicarakan topik dakwah amar ma'ruf nahi mungkar, menunjukkan bahwa tanggung jawab memikul aktifitas agung ini tak hanya berada di pundak para ulama tetapi juga merupakan tugas para penguasa (umaraa), bahkan menjadi karakter yang melekat pada visi dan misi kekuasaan dalam Islam. Hal itu menjadikan penguasa menempati kedudukan yang sangat krusial dalam menegakkan kebenaran dan menghapuskan kemungkaran karena kewenangan yang berada dalam genggamannya.
Mengapa? Karena visi dakwah wajib melekat pada aktifitas politik dalam dan luar negeri Daulah Islam. Sebagaimana ditegaskan Imam al-Haramain Abu al-Ma'ali al-Juwaini as-Syafi'i (w. 478 H) bahwa penguasa wajib mengemban dakwah dengan hujjah dan jihad. Diperjelas argumentasi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ketika menjelaskan kepemimpinan dalam Islam bahwa kepemimpinan dalam Islam (Khilafah) secara Syar'i adalah " kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syari'at Islam dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia."
Penguasa wajib aktif mendorong rakyatnya kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran dengan kekuasaan di tangannya. Tak hanya itu dakwah pun menjadi politik luar negeri penguasa yang secara aktif dilakukan dengan cara mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Sebagaimana teladan Rasulullah yang tak kenal lelah menyeru para pembesar bangsa-bangsa dimasanya seperti Romawi dan Persia.
Wajib difahami bahwa Allah menjadikan kaum muslimin sebagai umat terbaik manakala Allah menunjukkan kemuliaan tersebut berikut karakteristik yang harus melekat padanya, salah satunya aktifitas dakwah berdasarkan firman-Nya : " Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah." ( QS: Ali Imran; 110).
Bertolak dari penjelasan di atas maka para ulama menjelaskan empat pilar politik Islam dalam sistem Khilafah yaitu :
1) Kedaulatan ditangan syari'at.
Pilar ini menjamin penegakkan hukum Alqur'an dan as-Sunnah dalam kehidupan, mengundang keberkahan dari Allah, menebarkan rahmat bagi semesta alam.
2) Kekuasaan milik umat. Yakni dengan adanya hak baiat untuk mengangkat Khalifah. Yang dibaiat untuk menegakkan hukum Alqur'an dan as-Sunnah yang menjamin terealisasinya kepemimpinan yang amanah dalam menegakkan syariat Islam.
3) Kewajiban adanya satu kepemimpinan Khalifah untuk seluruh umat yang menjamin realisasi kesatuan kaum muslimin dalam satu institusi super power untuk menegakkan Islam dalam kehidupan.
4) Khalifah berhak mengadopsi hukum. Pilar ini menjamin kesatuan kaum muslimin dan menjaganya dari ancaman perpecahan. Hukum yang diadopsi hendaknya berkaitan dengan kesatuan kaum muslimin, dimana tanpa kesatuan ini kaum Muslimin akan berpecah belah.
Demikianlah dengan sangat gamblang Islam menjelaskan bentuk baku sistem pemerintahan yang wajib diterapkan untuk kehidupan. Lalu atas dasar apa seorang muslim dengan lancang mengatakan bahwa sistem pemerintahan tidak pernah disebutkan dalam Islam, jika tidak di dasari oleh kepentingan tertentu dan hawa nafsu?
Wallahu a'lam bi showwab.
Tags
Opini