Ketika Radikalisme Kembali Menjadi Sorotan



(Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis)


Isu radikalisme kembali menjadi trending topik di berbagai media. Menurut berbagai sumber, isu ini kembali digulirkan dengan merujuk ke hasil survei Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan pada 2017.

Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) melakukan survei terhadap 100 masjid pemerintahan di Jakarta. Survei terhadap 100 masjid tersebut terdiri dari 35 masjid di Kementerian, 28 masjid di Lembaga Negara dan 37 masjid di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).


Ketua Dewan Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Agus Muhammad mengatakan, survei itu dilakukan setiap shalat Jumat dari 29 September hingga 21 Oktober 2017. Kemudian, tim survei menganalisis materi khutbah Jumat yang disampaikan, dan hasilnya ada 41 masjid yang terindikasi radikal. (www.republika.co.id, 30/11/2018)


sementara itu, dari sumber lain (www.detik.com, 20/4/2018) disebutkan bahwa tingkat terpaparnya radikalisme di Indonesia berada pada level tertinggi (zona merah). Hal ini sudah dianggap parah, artinya terpapar penyimpangan norma NKRI. Dianggap penyimpang dari falsafah dan norma-norma Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Serta mendorong kearah-arah yang lebih simpati ke ISIS. Ini yang membawa aroma konflik Timur Tengah kesini (Indonesia). Mengutip ayat perang sehingga menimbulkan ESKOM (emosi, sikap, tingkah laku, opini dan motivasi).


kalau kita mau berpikir sedikit jernih, tentu opini ini mengandung banyak pertanyaan mendasar. Dan untuk itu, kita perlu mendifinisikan secara tepat, makna radikal itu sendiri sehingga kita mampu memaknai dengan tepat serta mengambil langkah tepat menghadapi opini yang terus digulirkan ini. “Radikal” secara bahasa (Kamus Besar Bahasa Indonesia) diartikan “secara mendasar”, “sampai kepada hal yang prinsip”, amat keras dalam menuntut perubahan”, “maju dalam berfikir dan bertindak”. Secara istilah, radikal adalah afeksi atau perasaan terhadap segala sesuatu sampai ke akarnya (Sarlito Wirawan : 2012) sedangkan kata “isme” sendiri memiliki arti sebuah ide atau pemikiran. Jadi ditinjau dari segi bahasa dan istilah, radikalisme memiliki arti yang positif.


Radikal merupakan kata yang biasa dalam dunia ilmu. Ini merupakan sebuah terminologi untuk mengasosiasikan pada tingkat kedalaman. Dalam perubahan sosial, istilah radikal biasanya dikaitkan dengan keinginan pada perubahan fundamental dan struktural. Bukan fungsional. Dinamis, bukan statis. Bergejolak, bukan tenang. Militan, bukan lembek. 


Jadi, jika istilah radikal dikaitkan dengan Islam menjadi Islam radikal, misalnya, tentu merujuk juga pada keinginan menempatkan Islam sebagai ajaran dominan. Dalam tingkatan radikalistik yang maksimum, tentu yang dimaksudkan adalah menjadikan Islam sebagai dasar negara.


nah setelah kita mengetahui makna radikal maupun radikalisme, tentu kita bisa menempatkan, bahwa Isu Islam radikal, bukanlah hal yang membahayakan negeri ini. Justru, ketika ada yang sangat percaya bahwa agamanya sanggup menyelesaikan seluruh masalah yang ada di negeri ini (karena didukung oleh dalil dan juga sejarah nyata), maka harusnya mereka ini diberi tempat dan waktu untuk berdiskusi. Siapa tahu, ide – ide radikal mereka (yang bersumber dari agama), benar mampu mneyelesaikan masalah negeri ini.

Lihatlah, betapa sempitnya penghidupan rakyat kita saat ini. Ekonomi melemah, biaya hidup makin meningkat (terlebih iuran BPJS pun sudah dinyatakan naik), serta sederet kasus kriminal yang bersumber dari peliknya ekonomi. Sama sekali tidak bersinggungan dengan mereka yang berpemahaman radikal terhadap agamanya. 

Tentu kondisi ini menimbulkan banyak pertanyaan. Mengapa umat islam selalu disalahkan dalam banyak kasus? Kenapa umat islam selalu menjadi sasaran tembak opini buruk media? Kenapa kasus lebih besar semakin tenggelam hanya karena isu radikalisme yang masih sebatas opini. Apakah ini tidak lebih membahayakan negeri ini. Karena memicu timbulnya konflik horizontal.

Sebagaiman yang disampaikan


oleh Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban, Din Syamsuddin. Beliau meragukan hasil survei yang mengungkapkan 41 masjid pemerintah di Jakarta terindikasi radikal. Menurut beliau justru survei tersebut akan menimbulkan kecemasan dan memecah kerukunan di kalangan umat Islam. Ia meminta masyarakat tidak cepat mempercayai penilaian yang dapat menimbulkan perpecahan bangsa. Sebab, penelitian tersebut bisa dilakukan dengan paradigma yang salah terhadap pemahaman radikalisme. (Republika.co.id, 30/11/2018)


Wallahu'alam bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak