Ketika Mantan Napi Naik Pangkat : Apakah Terpercaya?




Oleh Rifdatun Aliyah


Salah satu hal yang menggelikan yang terjadi di sebuah negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi adalah tidak konsisten terhadap peraturan yang dibuat sendiri. Bagaimana tidak, jika seorang pegawai biasa saja harus memiliki etikat baik dalam berperilaku, justru bagi para pemegang kebijakan inipun diabaikan. Buktinya, mantan napi bisa menjadi dirut suatu BUMN atas titah Sang Menteri. Sang mantan napi bahkan digadang-gadang akan memberantas mafia dan para koruptor di lingkungan yang ia pimpin. Meskipun banyak yang menyanjung, namun tak sedikit pula yang meragukan. Apakah dapat terpercaya?


Dilihat dari rekam jejak ketika Sang mantan napi bergelut di kancah perpolitikan, ia bukanlah orang yang baik dalam berkomunikasi dengan baik. Asal ucap dan sengaja menyulut konflik merupakan salah satu penyebab mengapa ia masuk bui. Belum lagi dugaan kuat adanya kasus penggelapan lahan rumah sakit menambah kuat aroma busuk korupsi di kalangan para pejabat. Lantas, apa yang terjadi jika ini tetap dibiarkan?


Polemik Sang mantan yang jelas akan mengurangi kepercayaan rakyat kepada para penguasa negeri. Sebab, rakyat tidak hanya membutuhkan sosok yang mahir dalam mengelola namun juga mampu menjadi teladan yang baik. Memilih para pengurus rakyat yang hanya mementingkan diri sendiri bahkan mendahulukan kepentingan asing-aseng jelas merupakan bukti pengkhianatan terhadap rakyat. Mereka sejatinya telah merusak sumpah yang mereka ucap sendiri di bawah panji yang mereka agungkan sendiri. Jika sudah begini, apakah ada solusi lain? Apakah Islam memiliki penyelesaikan dalam pemberantasan korupsi?


Islam sebagai agama sekaligus pandangan hidup manusia memiliki seperangkat aturan yang mampu menyelesaikan segala permasalahan hidup. Termasuk dalam pemberantasan korupsi. Sistem Islam akan mampu memberantas korupsi dengan menggunakan beberapa prinsip. Pertama, membekali setiap muslim dengan aqidah Islam dan melahirkan kesadaran senantiasa diawasi oleh Alloh serta melahirkan ketaqwaan pada diri. Kedua, sistem politik Islam yang murah dalam memilih pemimpin yang amanah. Sebab, salah satu faktor maraknya korupsi yaitu untuk mengembalikan modal biaya politik.


Ketiga, politisi dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak bergantung dan tak tersandera oleh parpol. Peran parpol dalam Islam adalah focus dalam mendakwahkan Islam, amar ma’ruf dan nahyi munkar atau mengoreksi dan mengontrol penguasa.  Anggota Majelis Umat tidak memiliki kekuasaan politik dan anggaran sehingga mafia anggaran tidak akan terjadi. Keempat, struktur dalam sistem Islam, semuanya berada dalam satu kepemimpinan kepala negara yakni Khalifah, sehingga ketidakpaduan antar instansi dan lembaga bisa diminimalisir bahkan tidak terjadi. 


Kelima, Islam melarang para penguasa dan pejabat untuk mendapatkan harta ghulul atau harta yang diperoleh tanpa kejelasan proses termasuk hadiah selama ia menjabat. 

Sanksi dalam Islam bagi pelaku korupsi merupakan bagian dari ta’zir, bentuk dan kadar sanksi atas tindakan korupsi diserahkan pada ijtihad khalifah atau qadhi (hakim). 


Sanksi dapat diberikan berupa penyitaan seperti yang dilakukan khalifah Umar, atau tasyhir (diekspos), penjara, hingga hukuman mati dengan mempertimbangkan dampak, kerugian bagi negara dan bahayanya bagi masyarakat. Dengan semua hal itu maka praktek korupsi dapat dicegah dan diselesaikan. Sudah saatnya kaum muslimin kembali kepada syariat Islam yang akan membawa keberkahan hidup bagi semua umat manusia. Wallahu’alam bi ash showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak