Oleh: Riska Maryana
Guru ialah pahlawan tanda jasa. Itulah yang disematkan bagi seorang pengajar di negeri ini. Guru sebagai perantara untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan sekaligus mesin pencetak generasi bangsa yang tak ternilai jasanya.
Namun sayangnya kesejahteraan guru di negeri ini belumlah terselesaikan. Seperti diberitakan Kompas.com, Upah tidak sesuai dengan beban kerja dan keringat yang dikucurkan demi mencerdaskan anak bangsa.
Itulah yang dialami para guru honorer di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kepiketik, Desa Persiapan Mahe Kalen, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Flores, NTT.
Maria Marseli (27), salah seorang guru honorer di SDN Kepiketik mengaku sudah 7 tahun mengabdi di sekolah itu."Saya sudah 7 tahun mengajar di sini. Honor saya di sini Rp 75.000 per bulan," ucap Maria.
Maria menceritakan, dirinya mulai mengajar di sekolah itu sejak tahun 2013 silam. Kala itu, ia diberi honor Rp 50.000 per bulan. Besaran honor setiap guru itu diberikan tergantung masa kerja.Ia melanjutkan, pada tahun 2013, SDN Kepiketik masih status kelas jauh dari SDN Pigang Bekor. Kemudian, pada tahun 2014, status sekolah itu menjadi definitif jadi SDN Kepipetik.Sejak tahun 2014 hingga sekarang, ia tetap diberi honor Rp 75.000 per bulan. (Tribunnews.com).
Ironi melihat nasib guru honerer dalam sistem demokrasi, kesejahteraan hanya bayangan semu bagi mereka. Pasalnya upah yang diberikan pemerintah sangat jauh dari kata sejahtera. Terlebih di daerah terpencil pasti memiliki tantangan tersendiri bagi para gurunya untuk sampai ke sekolah seperti akses jalan yang juga perlu perbaikan. Biaya hidup yang tak murah menambah sulit untuk mereka memenuhi kebutuhan hidup dengan honor yang mereka terima. Mereka kembali harus memutar otak demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pekerjaan paruh waktu pun kerap mereka tempuh demi menompang hidupnya. Wajar apabila fokus dalam mengajar sedikit teralihkan karena harus membagi pikiran dan tenaga mereka. Maka perhatian dan bukti nyata dari pemerintah sangatlah diperlukan.Tidak hanya ucapan mensejahterakan namun juga harus terealisasikan, tak hanya wacana belaka.
Selain itu pemerataan kesejahteraan masih tebang pilih. Seperti kesejahteraan guru PNS (pegawai Negeri Sipil) atau guru yang sudah sertifikasi dengan guru honerer berbeda dalam segi finansial. Padahal tugas utamanya mereka sama-sama mengajar dan mencerdaskan anak bangsa. Entah bagaimana membangun dan mengatasi kesejahteraan guru di sistem demokrasi, karena kasus serupa berulang terjadi bahkan tak kunjung teratasi.
Jika kita kembali melihat sejarah saat islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai kehidupan, betapa islam sangat menghargai profesi seorang guru. Negara menjamin kesejahteraan guru melalui pemberian gaji yang terbilang besar sehingga tercukupi kebutuhan hidupnya. Di riwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al- Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madimah yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; bila saat ini 1 gram emas Rp. 500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar 31.875.000).
Tidak hanya pemberian gaji yang besar, negara pun menyediakan sarana dan prasarana secara cuma-cuma demi meningkatkan kualitasnya sebagai pendidik. Fokus mereka tak lagi teralihkan dengan mencari penghasilan tambahan demi memenuhi kebutuhan hidup, mereka akan fokus mencetak dan melahirkan generasi yang unggul.
Namun membangun kesejahteraan guru itu hanya bisa terwujud saat negara berada dalam naungan khilafah dan menerapakan islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. Wallahu a’lam biash-shawab.