Oleh : Tri Sundari
(Aktivis Pergerakan Muslimah dan Member AMK)
"Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak."
Bunyi pasal 34 UUD 1945 ayat (3) tersebut menyatakan bahwa negara mempunyai kewajiban menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang layak dan dapat dijangkau oleh semua kalangan. Hal ini dikarenakan kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi masyarakat.
Setiap orang pasti menginginkan selalu sehat, akan tetapi ketika terjadi hal yang tidak diinginkan yang akhirnya mengharuskan orang tersebut masuk rumah sakit maka otomatis dia harus mendapatkan pelayanan yang terbaik agar bisa segera sembuh.
Namun, beberapa waktu yang lalu, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Oktober 2019 lalu. Isi Perpres menyebutkan bahwa pemerintah akan memberlakukan kenaikan iuran yang terjadi terhadap seluruh segmen peserta mandiri kategori pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP).
Adapun besaran iuran yang harus dibayarkan yaitu Rp 160.000 untuk kelas I dari sebelumnya Rp 80.000, sedangkan pemegang premi kelas 2 harus membayar Rp 110.000 dari sebelumnya Rp 51.000. Sementara itu, kelas 3 sedikit lebih beruntung karena kenaikan yang dialami lebih kecil, yakni dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Kenaikan ini tak pelak membuat masyarakat pun berbondong-bondong mengubah kelas perawatan BPJS Kesehatan. Dari yang awalnya kelas I menjadi kelas II, serta kelas II menjadi kelas III. Hal itu dilakukan untuk mengurangi beban akibat kenaikan iuran.
Bagi masyarakat yang mempunyai penghasilan tetap mungkin tidak akan mengalami masalah jika harus berpindah kelas, akan tetapi bagi masyarakat yang penghasilannya tidak menentu, kenaikan ini akan menjadikan masalah baru. Dengan tidak terbayarnya iuran BPJS Kesehatan maka kemungkinan besar dia tidak akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang diperlukannya.
Begitulah pelayanan kesehatan masyarakat di sistem sekular demokrasi, negara menjadikan layanan kesehatan sebagai lahan bisnis. Ini tentu sangat berbeda dengan pelayanan kesehatan menurut Islam.
Rasulullah SAW. bersabda, "Siapa saja di antara kalian yang bangun pagi dalam keadaan diri dan keluarganya aman, fisiknya sehat dan ia mempunyai makanan untuk hari itu, maka seolah-olah ia mendapatkan dunia" (HR at-Tirmidzi).
Jelaslah menurut hadist tersebut bahwa kesehatan merupakan hal yang paling mendasar bagi umat.
Dalam BPJS Kesehatan, pelayanan kesehatan rakyat yang sesungguhnya kewajiban negara justru diubah menjadi kewajiban rakyat, sehingga beban rakyat bertambah berat.
Dalam Islam jaminan kesehatan memiliki empat sifat, yaitu:
Pertama, universal, artinya tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat.
Kedua, gratis, untuk mendapat pelayanan kesehatan, rakyat tidak dipungut biaya.
Ketiga, seluruh rakyat bisa mengaksesnya dengan mudah.
Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis, tidak dibatasi oleh plafon.
Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana besar. Pembiayaannya bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak, gas dan sebagainya. Semua itu lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat secara berkualitas.
Kuncinya adalah dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah. Hal itu hanya bisa diwujudkan dalam sistem yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. yakni sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus diperjuangkan oleh seluruh umat Islam.
Wallahu a'lam bishshawab
Tags
Opini