Kebebasan Pendapat yang Semu dalam Sistem Demokrasi



Oleh:Zubaidah I S –
 Mahasiswa Ideologis Palembang

Kebanyakan orang percaya bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang baik. Mereka percaya bahwa masyarakat memiliki hak atas pembagian kekuasaan politik yang sama, menyampaikan pendapat dan kritik terhadap penguasa. Mereka percaya bahwa partisipasi politik itu baik untuk kita – ia memberdayakan kita, membantu kita mendapatkan apa yang kita inginkan, dan cenderung membuat kita lebih cerdas, lebih berbudi luhur, dan lebih peduli satu sama lain. Inilah beberapa gagasan kita yang paling dibanggakan tentang demokrasi. Namun, apakah fakta yang terjadi memang seperti itu?
Faktanya, suara-suara kritik rakyat dibungkam bahkan dianggap kriminal dan ditanggapi dengan nada emosional mereka menuding sepihak dengan mengatakan bahwa kritik itu adalah ujaran kebencian, mereka juga terus menampakkan pembelaan diri.
Contohnya tampak dari viral nya berita akhir-akhir ini mengenai tiga personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mendapat sanksi hukum dicopot dari jabatannya. Mereka mendapatkan hukuman disiplin karena ulah istrinya yang berkomentar di media sosial terkait kasus penusukan Menko Polhukam Wiranto. Selain dicopot dari jabatannya masing-masing mereka juga ditahan selama 14 hari.
Begitulah sejatinya demokrasi, alih-alih rakyat bebas mengeluarkan pendapat. Yang terjadi justru di kekang saat bertentangan dengan penguasa.
Sungguh berbeda dengan Islam. Dalam sistem Islam ada mekanisme kontrol (muhasabah) yang dilakukan dari dalam maupun luar kekuasaan. Juga ada Majelis Umat yang melakukan muhasabah. Ada Mahkamah Mazhalim yang berfungsi menghilangkan kezaliman para penguasa.
Bahkan, ketika Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim tidak melaksanakan tugasnya. Maka, Khilafah memberikan kesempatan kepada partai politik hingga ulama termasuk umat untuk melakukan fungsi muhasabah, bahkan sampai mengangkat senjata untuk menghilangkan kezaliman yang ada.
Dalam sejarah kepemimpinan Islam, Khalifah Umar bin Khaththab adalah penguasa yang selalu mendengar keluhan rakyat, bahkan hujan kritikan pun tak pernah diabaikannya. Umar bin Khaththab juga tak malu-malu untuk memohon maaf jika telah merasa lalai. Dan segera menuntaskan hajat rakyat yang sudah menjadi kewajibannya.
Seorang penguasa harus punya pendengaran yang peka terhadap keluhan, bahkan kritikan dari rakyatnya. Dia harus tunaikan kewajibannga kepada rakyat yang dipimpinnya. Bukan sebaliknya, justru memusuhi dan memenjarakan jika menyampaikan kritikan pada penguasa.

Wallahu a'lam bi Ash-Showab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak