Oleh: Fifit Maria Ningsih
Setelah resmi sebagai presiden (Rabu, 23 Oktober 2019), Jokowi siap memimpin Indonesia bersama Kabinet Indonesia Maju Jilid II. Dalam kabinet jilid II beberapa mentri fokus dan "ramai" membahas masalah radikalisme karena menganggap masalah yang di hadapi pemerintah saat ini adalah radikalisme. Mereka adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan Keamanan Mahfud MD serta Menteri Agama Fachrul Razi. Menurut pengamat intelejen dan keamanan, empat orang ini mempunyai karakter tegas dan cukup mampu melawan radikalisme.
Sejatinya -tak kalah ramai-, masalah yang dihadapi pemerintah saat ini adalah kompleks, tidak saja menyangkut "radikalisme" tapi masalah riil yang menjadi jeritan rakyat jilid II. Menurut BPS 2019, pengangguran Indonesia tertinggi ke 2 di Asia Tenggara, wilayah Banten adalah yang paling tinggi penganggurannya. Sebagaimana di sampaikan dalam realese resmi Asian Development Bank (ADB), ada 22 juta orang di Indonesia menderita kelaparan sepanjang periode 2016-2018. Jumlah penduduk Indonesia dari 2019 sebesar 269 juta jiwa maka angka kelaparan telah mencapai 13,5% dari jumlah penduduk.
Begitu juga premi BPJS naik 100% (VOAIndonesia), semakin menjadikan rakyat terjepit. Belum lagi korupsi jamaah para pejabat yang merugikan uang negara, masalah kebakaran hutan yang selalu ada tiap tahunnya, masalah Organisasi Papua Merdeka (POPM) yang sudah jelas menuntut disintegrasi, hutang negara yang menumpuk dan menambah hutang lagi untuk membayar dendanya, masalah kenakalan remaja, dan masih banyak lagi masalah yang dihadapi negeri ini.
Seharusnya pemerintah fokus menyelesaikan masalah-masalah yang diderita oleh rakyat bukan malah mengalihkan isu dengan membahas radikalisme yang tidak jelas ukurannya dan hanya menyakiti umat Islam.
Kemana Rakyat Harus Mengadukan Jeritannya?
Seolah anak ayam kehilangan induk, rakyat setiap hari harus berfikir sendiri untuk mengurusi kehidupannya. Beban berat biaya yang harus ditanggung dalam hidup seakan tidak ada hentinya. Pemerintah yang sejatinya menjadi pelayan dan mengurusi kehidupan rakyat justru terlihat semakin menindas rakyat dengan menaikkan premi BPJS, menaikkan tarif dasar listrik, mencabut subsidi dll.
Dalam sistem demokrasi kapitalis, yang kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin memang nyata adanya. Kebijakan penguasa hanya menguntungkan segelintir orang berduit meski mengorbankan ratusan juta rakyat. Pemerintah telah lupa bahkan tak lagi memiliki mind set menjadi pelayan umat yang bertanggung jawab mengurusi rakyat. Rakyat hanya didatangi setiap lima tahun sekali saat pencoblosan. Selebihnya, lagi-lagi rakyat dikorbankan. Ironis.
Lalu, harus kemana lagi rakyat mengadu? Apa yang di banggakan dari sistem demokrasi kapitalis yang kian hari kian menyiksa ini? Haruskah sistem ini di pertahankan?
Islam Bukan Masalah Melainkan Solusi
Selama puluhan tahun tak ada persoalan dengan agama di negeri ini, khususnya Islam sebagai agama dengan pemeluk mayoritas. Baru beberapa tahun belakangan saja dimunculkan isu seolah-olah agama (Islam) atau seruan dan kajian keislaman menjadi pemicu radikalisme, perpecahan, dsb.
Padahal radikalisme bukanlah persoalan inheren dalam Islam. Isu atau tuduhan radikalisme lebih merupakan framing dari pihak luar untuk menyudutkan Islam atau menghalangi geliat umat Islam dan kebangkitan mereka. Bisa diduga, tujuan akhir dari isu radikalisme itu adalah untuk makin menjauhkan Islam dari kehidupan. Dengan itu Islam dan umat Islam tidak menghalangi-halangi agenda liberalisme dan penjajahan Barat. Itu persis seperti dulu penjajah Belanda menggunakan terma radikalisme untuk menyudutkan siapa saja —kebanyakan dari kalangan umat Islam— yang menentang penjajahan Belanda.
Begitu pun sekarang ini. Isu radikalisme awalnya dimunculkan dan terus dinyanyikan oleh Barat. Ini seiring dengan mulai tampaknya kebangkitan umat Islam dan penolakan umat terhadap ideologi kapitalisme dan liberalisme serta penjajahan Barat. Lalu isu radikalisme itu disuntikkan ke tubuh kaum Muslim di berbagai negeri Islam dengan berbagai jalan dan cara. Akhirnya, isu radikalisme ini pun dinyanyikan dan dimainkan oleh mereka yang secara sadar ataupun tidak menjadi agen Barat.
Walhasil, berbagai problem yang bermunculan sejatinya bukanlah disebabkan Islam, melainkan penerapan sistem diluar Islam, yakni demokrasi kapitalisme. Artinya, berbagai kerusakan yang terjadi, seoerti ketimpangan antara warga dan antar daerah, rakyat tidak merasakan kemakmuran dari melimpahnya kekayaan alam, makin menggunungnya utang Negara, makin kuatnya cengkeraman asing dan aseng. Semua itu bukan karena Islam, tetapi justru karena penerapan sistem selain Islam, yaitu akibat meninggalkan Islam dan syariahnya. Allah SWT telah memperingatkan kita dalam firman-Nya:
"Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta…" (TQS Thaha [20]: 124).
Makna, “berpaling dari peringatan-Ku” adalah menyalahi perintah-Ku dan apa saja yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya (Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim, V/323).
Berbagai kerusakan yang terjadi itu tentu mendatangkan akibat buruk bagi masyarakat secara keseluruhan. Sejatinya itu baru sebagian dari akibat kerusakan yang disebabkan manusia berpaling dari Islam dan syariahnya. Allah SWT menimpakan sebagian dari akibat kerusakan itu agar manusia bertobat dengan kembali pada Islam dan syariahnya. Allah SWT berfirman:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)". (TQS ar-Rum [30]: 41).
WalLâh alam bi ash-shawâb.[]
Tags
Opini