Iuran BPJS Melangit, Sehat Semakin Sulit


ilustrasi : google

Ummu Bagus
(Pegiat Opini)


Kabinet baru telah terbentuk. Nampaknya orang nomor satu di Kementerian Keuangan tidak mengalami perubahan. Jabatan tersebut masih tetap dipegang oleh  Sri Mulyani. Bukan tidak mungkin kebijakan masa lalu yang masih menjadi wacana akan segera direalisasikan. 

Dalam jabatan Menteri periode lalu beliau sudah menegaskan,  bahwa kondisi keuangan BPJS mengalami defisit sebesar 9,1 trilyun di tahun 2018. Dan BPJS akan semakin tekor jika upaya penambalan tidak segera dilakukan. (detik health, 22/10/2019).

Masih dari sumber yang sama, di akhir 2019 defisit BPJS akan mencapai 28 trilyun. Itulah alasan diusulkannya iuran BPJS harus dinaikkan.

Per 1 Januari 2020 kenaikan iuran BPJS bakal diberlakukan.
Untuk PBI (Penerima Bantuan Iuran) pusat dan daerah menjadi 42.000 Rp, dari 23000rp/bulan/ jiwa.
Untuk kelas 1, menjadi 160.0 00 dari 80.000/ bulan/ jiwa.
Untuk kelas 2, menjadi 110.000 dari 51.000/bulan/jiwa.
Untuk kelas 3, menjadi 42.000 dari 25.000/bulan/jiwa.(Monitor.co.id)


Kesehatan Semakin Mahal

Masyarakat sekarang lagi ketar ketir dengan wacana dinaikkannya iuran BPJS tersebut. Apalagi dalam kondisi sekarang. Kondisi yang lagi rentan timbulnya penyakit yang disebabkan lingkungan dan makanan tidak sehat, diikuti biaya untuk berobat semakin mahal. 

Tak heran banyak masyarkat yang menyimpan penyakitnya di rumah, tergeletak bertahun tahun karena tidak mampu untuk membiayai pengobatan yang semakin mahal.
Seperti yang dialami Hasni saputra  warga Pasuruan yang luka di kaki dibiarkan membusuk karena keterbatasan biaya untuk berobat.(detiknews,13/9/2019)

Bagi sebagian masyarakat dari kalangan atas, kenaikan iuran BPJS yang diusulkan mungkin tidak memberatkan. Tapi dari kalangan bawah terutama bagi mereka yang termasuk kelas 3 akan menjadi beban yang sangat berat. 

Golongan kelas 3 didominasi masyarakat buruh yang untuk mencukupi pangannya saja masih kesulitan. Bagaimana mungkin mereka bisa membayar iuran BPJS? 

Sebelum ada kenaikan iuran premi saja, mereka sudah kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Terlebih dengan jumlah keluarga besar. Dengan kenaikan berlipat, dengan anak satu saja sudah harus mengeluarkan uang 120 ribu lebih per bulan untuk iuran BPJS.  Nominal yang  sangat berharga bagi mereka yang terkategori kelas 3. Kita bisa berhitung berapa uang yang harus dikeluarkan jika anggota keluarga lebih dari satu anak.

Sangat penting untuk memahami kondisi masyarakat saat ini. Sehingga BPJS harus punya empati untuk tidak mengeluh kepada masyarakat atas tunggakan iuran tersebut. Apa lagi dengan menagihnya secara paksa. 
Karena tentu mereka punya alasan dari ketidak mampuannya untuk mengangsur. Bisa jadi mereka belum dapat kerjaan, atau usahanya lagi merugi.

Penagihan yang terus menerus dalam satu bulan minimal dua kali seperti yang dialami KH 35 tahun dengan tunggakan sebesar 400 ribu rupiah.  Jelas akan membuat orang menjadi risih karena merasa terganggu privasinya. Masyarakat pun semakin terbebani.
 
Apakah kenaikan iuran premi tersebut akan diimbangi dengan kualitas pelayanan yang bisa memgakomodir semua jenis pengobatan?
Jangan sampai kenaikan iuran premi BPjS hanya untuk menutup defisit saja, tapi tidak meningkatkan kualitas layanan.

Karena sesungguhnya pemerintahlah yang bertanggung jawab atas kenyamanan hidup masyarakatnya termasuk dalam hal kesehatan. Maka yang harus bertanggung jawab dan mengatasi defisit adalah negara. Tidak dibebankan kepada masyarakat dengan menaikan iuran.

Miris hidup di era kapitalisme. Kesehatan, masalah yang urgen untuk terciptanya kesejahteraan,  dilayani seperti halnya transaksi untung rugi.

BPJS, sesuai namanya Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial sudah seyogyanya dinanti kiprahnya oleh masyarakat. Dalam benak masyarakat, terutama masyarakat golongan 3 dan 2. Istilah dari kata "jaminan", masyarakat berasumsi bahwa pengobatan untuk mendapat kesehatan  dijamin gratis tanpa mengeluarkan biaya.

Sayang, Kapitalisme selalu punya cara untuk mengelabui kebijakannya.
Seolah olah peduli dengan kepentingan masyarakat, maka dibuatlah narasi narasi bijak yang membungkusnya.

Sebagai dukungan terhadap BPJS atas kebijakannya untuk menaikan iuran premi, Bapak KH Ma'ruf Amin menyampaikan bahwa kenaikan iuran BPjS merupakan cara pemerintah untuk berkolaborasi dengan masyarakat dalam memberikan pelayanan kesehatan yang prima.  (kompas. com,  3/11/2019)

Beliau pun mengatakan "Masyarakat yang sehat dan memiliki lebih dapat membantu masyarakat yang sakit dan membutuhkan" (kompas com).

Kalimat kalimat bijak dan slogan yang indah tidak berarti boleh untuk berlepas diri dari tanggung jawab. Masyarakat dibiarkan untuk mengurusi sendiri lewat BPJS dengan beban yang tidak lagi bisa menanggungnya.

Sehat Yang Dijamin Dengan Islam

Dalam ajaran Islam, negara wajib hukumnya menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, tanpa membebani rakyat untuk membayar. Dalam Shahih Muslim terdapat hadits dari Jabir bin Abdillah RA, dia berkata, ”Rasulullah SAW telah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Ka’ab (yang tv sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Ka’ab lalu melakukan kay (pengecosan dengan besi panas) pada urat itu.” (HR Muslim no 2207).

Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW sebagai kepala negara telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, 2/143).

Terdapat pula hadits lain dengan maksud yang sama, dalam Al Mustadrak ‘Ala As Shahihain karya Imam Al Hakim, “Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, dia berkata,”Aku pernah sakit pada masa Umar bin Khaththab dengan sakit yang parah. Lalu Umar memanggil seorang dokter untukku, kemudian dokter itu menyuruhku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu.” (HR Al Hakim, dalam Al Mustadrak, Juz 4 no 7464).

Hadits ini juga menunjukkan, bahwa Umar selaku Khalifah (kepala negara Khilafah Islam) telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, 2/143).

Kedua hadits di atas merupakan dalil syariah yang sahih, bahwa dalam Islam jaminan kesehatan itu wajib hukumnya diberikan oleh negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani apalagi memaksa rakyat untuk membayar, seperti dalam BPJS. Layanan kesehatan dalam Islam adalah hak rakyat, bukan kewajiban rakyat. 

Wallohu A'lam bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak