Isu Radikalisme Digulirkan, Tutupi Ekonomi Yang Kian Mengkhawatirkan



Oleh : Puput Yulia Kartika, S.Tr.Rad
Koordinator Smart Muslimah Community

Isu radikalisme nampaknya masih menjadi sajian utama bagi periode kedua rezim Jokowi hari ini. Isu Radikalisme ini sering kali dikaitkan menjadi penyebab utama kerusakan bangsa, yang tak luput mendatangkan berbagai upaya untuk menangkalnya termasuk di dalamnya oleh susunan kabinet baru Indonesia. 

Didalam pelantikannya kepada wakil menteri (wamen) di Komplek Istana Negara, Jakarta pada Jumat, 25 Oktober 2019 lalu Presiden Jokowi menyampaikan salah satu tugas khusus kepada wamen yakni terkait penanganan masalah radikalisme. (JawaPos, 25/10/2019)

Seoah-olah para penguasa dan pejabat hari ini berpikir bahwa masalah radikalisme ialah masalah utama negeri Indonesia yang harus segera diselesaikan. Padahal jika kita perhatikan, begitu banyak permasalahan yang seharusnya menjadi fokus utama para pejabat dan penguasa negeri, seperti misalnya permasalahan ekonomi yang performanya kembali memburuk di tahun ini. 

Pasalnya baru empat hari dilantik menjadi menteri di Kabinet Indonesia Maju, Sri Mulyani sebagai Menteri Ekonomi telah mengumumkan rencana untuk menerbitkan surat utang berdenominasi valuta asing atau global bond. Langkah Sri Mulyani itu diambil karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 mengalami defisit sementara kebutuhan negara membengkak. (HarianAceh, 28/10/2019)

Alih-alih menangkal radikalisme, rupanya isu ini justru ditujukkan untuk menutupi ekonomi Indonesia yang kian hancur. Mengalihkan perhatian kepada publik dari 'masalah besar' yang sesungguhnya yang menimpa negeri Indonesia hari ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan, bahwa isu ini digulirkan untuk memuluskan jalannya pinjaman hutang kepada luar negeri. 

Didalam sistem demokrasi-kapitalisme, memang hutang telah menempati peranan penting. Karenanya tak heran, langkah kebijakan yang dilakukan oleh Menteri Ekonomi untuk menutupi kekurangan defisit anggaran APBN 2019 yakni lewat pinjaman hutang lagi, meski sebenarnya hutang Indonesia sudah menggunung.

Hal ini juga menunjukkan kepada kita bahwa para pejabat dan penguasa hari ini tidak memiliki kemandirian dalam membangun negeri. Hanya bisa mengandalkan utang dengan alasan untuk pembangunan. Padahal jika kita perhatikan, pinjaman hutang yang diberikan kepada negeri Indonesia tidaklah cuma-cuma, istilahnya "no free lunch". Pinjaman hutang yang menjerat Indonesia ini mengakibatkan bangsa mau tidak mau untuk tunduk pada yang meminjamkannya, maka jangan heran bila banyaknya kebijakan yang lahir pro kepada Asing dan Aseng, dan malah menyengsarakan rakyatnya. 

Islam sebagai sebuah ideologi memiliki pandangan yang khas terhadap hutang luar negeri. Hutang luar negeri tidak dapat dilepaskan dari bunga( riba). Padahal Islam dengan tegas mengharamkan riba. Sebagaimana firman Allah SWT :

وأحل الله البيع وحرم الربا

Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba…” (Qs. al-Baqarah [2]: 275).

Imam At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Mas'ud ra. bahwa Nabi Saw. bersabda :

"Rasulullah Saw. mengutuk orang yang makan riba dan orang yang memberi makan dengan riba." (HR. Muslim) 

Di dalam sistem pemerintahan Islam pemasukan negara diperoleh dari 3 pos, yakni kepemilikan negara (milkiyyah ad-daulah),  kepemilikan umum (milkiyyah 'ammah), dan zakat maal.

Kepemilikan negara (milkiyyah ad-daulah) diperoleh dari ‘usyur, fa’i, ghonimah, kharaj, jizyah dan lain sebagainya. Sedangkan kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) diperoleh dari pengelolaan hasil pertambangan, minyak bumi, gas alam, kehutanan dan lainnya. Negara bertanggung jawab atas optimalisasi dari harta kepemilikan umum dan negara tersebut tanpa adanya liberalisasi dalam lima aspek ekonomi, yaitu liberalisasi barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil. 

Dan terakhir dari zakat maal yang diperoleh dari ternak, pertanian, perdagangan, emas dan perak. Ketiga pos ini akan mengalirkan harta baitul mal yang bertumpu pada sektor produktif. Akibatnya, harta baitul mal selalu mengalir dan tidak membuat negara terjerat hutang ribawi. Dengan demikian, kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan kebutuhan anggaran dari hutang luar negeri dapat dihindari.

Karenanya inilah yang seharusnya menjadi fokus para pejabat dan penguasa negeri ini untuk memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia, bukan mengalihkan kepada isu lain semisal Radikalisme. Dan untuk memperbaiki kondisi ekonomi hanya bisa ketika negara menerapkan sistem ekonomi Islam. Dimana sistem ekonomi Islam hanya bisa terwujud ketika negara juga menerapkan sistem pemerintahan Islam di seluruh aspek kehidupan. 

Wallahu'alam bii ashshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak