Gegap gempita pelantikan presiden jilid ke 2 baru saja berlalu. Haru biru menyambut susunan kabinet yang akan bekerja selama 5 tahun kedepan. Mereka akan bekerja siang malam memperjuangkan nasib rakyat dan ibu pertiwi. Setumpuk harapan dan asa kini berada dipundak mereka berharap negeri ini menjadi lebih baik dan bermartabat dimata dunia.
Namun semua itu justru berbanding terbalik dengan nasib kaum muslimin yang nota bene penduduk mayoritas dinegeri ini. Mereka seakan kehilangan tempat untuk mengeskpresikan pendapat dan identitas keagamaannya. Bagaimana tidak atas nama melawan Radikalisme, para ulama dan intelektual muslim dipersekusi dengan tuduhan tak berdasar. Fenomena ini disinyalir semakin mengganas dan tersruktur pasca pelantikan. Hal ini terlihat dari acara yang diselenggarakan salah satu institusi pendidikan belum lama ini. Ma'had Jami'ah IAIN Salatiga mengadakan pengajian akbar bersama Gus Miftah Habiburokhman di halaman kampus, Jumat (12/10) malam. Dalam taushiahnya, Gus Miftah mengingatkan pentingnya sikap keberagaman yang moderat.
Gus Miftah mengawali ceramah dengan menyampaikan keprihatinan atas fenomena ekstrimisme di Indonesia. Terbaru, tindakan itu diarahkan kepada seorang pejabat sebagai korban.
"Seorang pejabat negara saja ada yang berani melukainya, bagaimana keamanan orang-orang seperti saya yang berbicara NKRI dan Pancasila. Ini kan mereka sudah nekad. Kalau kemudian pemahaman-pemahaman ini tidak kita kuatkan, saya ngeri kalau kemudian warga kita terpapar paham-paham radikal," tandasnya.
Sejalan dengan itu, Gus Miftah menekankan pentingnya peran mahasantri sebagai agen perdamaian dalam mempertahankan NKRI. Menurutnya, santri menjadi tumpuan harapan bangsa karena sejak dulu diajarkan untuk mencintai bangsa dan negara, karena kecintaan pada negara adalah bagian dari iman.
Sementara itu, dalam sambutannya, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Dr. Sidqon Maesur mengatakan bahwa IAIN Salatiga merupakan perguruan tinggi Islam yang sangat mendukung dan senantiasa meningkatkan ta’zizul wasatiyah, selalu meneguhkan moderasi Islam.
Rupanya virus Islamophobia atau ketakutan yang berlebihan pada islam(simbol maupun ajarannya) dan kaum muslimin telah merambah segala lapisan masyarakat mulai dari rakyat jelata hingga kaum intelektual yang memiliki segudang gelar akademik. Gerak gerik masyarakat senantiasa di pantau apalagi jika berhubungan dengan media sosial. Sejumlah aparat negara pun tak segan untuk dicopot dari jabatannya akibat cuitan di media sosial yang berbau kritik ataupun yang dianggap pro terhadap"Radikalisme" ala penguasa baik dilakukan secara pribadi maupun oleh istri. Seperti yang dialami oleh eks Dandim Kendari. Hal serupa kini menanti para ASN alias para Pegawai Negeri Sipil. Mereka akan langsung ditindak jika kedapatan mengunggah sesuatu yang berisi kritikan terhadap pemerintah ataupun nyinyir terhadap kebijakan yang berlaku. Maka tidak mengherankan jika para ASN kini hanya mengunggah postingan yang adem ayem seperti ubin masjid. Belum lagi yang dialami para ulama dan aktivis dakwah yang mengalami persekusi dan intimidasi sepihak hanya karena menyuarakan kebenaran.
Fakta diatas hanya sekelumit dari sekian banyak peristiwa yang menunjukkan pada kita semua bahwa betapa sistem saat ini menutup rapat celah muhasabah atau mengktritik pemerintah. Mereka melabeli para ulama dan aktivis dakwah yang beramar makruf nahyi mungkar dengan sebutan Radikal, Intoleran, Anti NKRI dan lain sebagainya. Padahal aktivitas memuhasabah penguasa dzolim adalah kewajiban setiap warga negara bahkan setara dengan pahala berjihad dijalan Allah. Kritikan pada penguasa bukanlah bentuk kebencian melainkan bentuk kasih sayang sebagai sesama manusia agar senantiasa berada dijalan yang lurus, jalan yang diridhoi Sang Pencipta. Bukankah konstitusi menjamin dalam berkumpul dan berserikat mengeluarkan pendapat bagi setiap warga negara?
Rakyat tak mungkin melakukan huru hara jika pemerintah sudah meri'ayah dan memenuhi segala kebutuhannya dengan baik. Bukan hanya sandang pangan dan papan yang memadai tetapi juga terjaminnya keamanan, keadilan, pendidikan,kesehatan, dan lapangan pekerjaan yang layak. Karena sejatinya seorang penguasa adalah pelayan bagi rakyatnya. Sebagaimana Umar Bin Khattab yang rela memanggul sendiri sekarung gandum tuk diberikan kepada seorang janda miskin yang kelaparan padahal Beliau adalah seorang kepala negara. Jika segala kebutuhan rakyat terpenuhi dengan baik. Merekalah yang akan melindungi pemerintahnya dengan segenap daya upaya yang dimiliki. Menjadi tameng dari segala rongrongan dari dalam dan luar negeri.
Sekarang saatnya kita berbenah memperbaiki segala kekacauan negeri yang terjadi saat ini dengan kembali pada aturan Ilahi. Sudah terlalu jauh kita meninggalkan aturanNya. Sudah terlalu lama kita terlena dengan dunia fana yang menipu. Pertanyaanya siapkah kita dengan perubahan?
Wallahu A'lam Bis Shawwab.
Penulis : Teti Ummu Alif
Kendari, SULTRA