Ironi, Kelaparan di negeri Agraris



Oleh Faizul Firdaus, S.Si


Sebagaimana diketahui rilis laporan hasil riset Asian Development Bank (ADB) yang dikutip dari laman resminya, menyebutkan bahwa pada 2016-2018, sekitar 22,0 juta orang di Indonesia menderita kelaparan. Sungguh suatu hal yang ironi.
Peribahasa, Laksana ayam mati di lumbung padi tampaknya sesuai dengan hasil riset ADB tersebut.

Sungguh sangat disayangkan, fakta kelaparan terjadi di tengah para pejabat tengah bergelimang harta dan fasilitas tunjangan jabatan dari negara. Sebagaimana diumumkan Pihak Sekretariat Negara bahwa mereka telah menjatuhkan pilihan pada Toyota Crown 2.5 HV G-Executive sebanyak 101 unit untuk para mentri dan pejabat setingkat mentri. Total anggaran yang disiapkan Rp 152.540.300.000 untuk pengadaan mobil baru untuk para menteri tersebut. Belum untuk presiden dan wakilnya.

Dan yang lebih ironi lagi, bahwa fakta kelaparan justru terjadi di negeri yang pernah dijuluki lumbung padi di Asia Tenggara. Indonesia yang bahkan sempat menjadi negara pengekspor beras kini harus menelan fakta 22 juta rakyatnya menderita kelaparan.

Jelas ini menunjukkan bahwa ada masalah dalam distribusi dan ketahanan pangan di negeri ini. Yang butuh untuk segera diselesaikan. Tampak disana ada kesulitan mengakses bahan pangan hingga jutaan orang mengalami kelaparan. Mekanisme distribusi bahan pangan ini harus serius segera diperhatikan pemerintah. Karena pemenuhan kebutuhan dasar tiap warga negara adalah amanat konstitusi.

Disamping masalah distribusi bahan pangan, negeri ini juga mengalami masalah dalam ketahanan pangan. Sehingga kerap didapati fakta stok bahan makanan pokok tidak mencukupi kebutuhan nasional. Hal ini dipengaruhi karena minimnya lahan pertanian. Yang berangkat dari tidak berjalannya arah kebijakan yang holistik dimana pengaturan lahan pertanian terjaga keberadaannya, tidak mudah dialih fungsikan untuk perumahan,  perkantoran apalagi untuk pusat perbelanjaan. Juga tidak berdayanya negara terhadap lahan produktif yang dibiarkan terlantar bertahun-tahun oleh pemiliknya. Hal ini karena memang tidak adanya payung hukum yang mengizinkan negara mengambil lahan yang dibiarkan atau diterlantarkan selama kurun waktu tertentu. Sebagaimana bila dalam fiqih ekonomi Islam, negara bisa mengambil lahan dari pemiliknya bila selama 3 tahun tidak diproduktifkan.

Ke depan diharapkan pemerintah lebih serius terhadap kesejahteraan rakyatnya, dan mengambil tindakan dan kebijakan yang sesuai bukan yang condong dan menguntungkan para kapital (pemilik modal).
Wallahua'lam bisshowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak