Oleh: Ratna Kurniawati
Beberapa hal di pemerintahan Jokowi dikritik, salah satunya terkait impor di banyak bidang, sebut saja salah satunya terkait pangan. Banyak pengamat yang menyorotinya.
Sungguh tragis dan miris, impor pangan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia semakin dahsyat. “Yang meningkat impor non migas yang dahsyat. Gula saja kita impor, garam juga, beras juga impor,” demikian pernyataan Faisal Basri.(CNBC Indonesia, 2019). Sebelumnya, beliau juga pernah menyebutkan dalam 2 tahun terakhir Indonesia menjadi importir terbesar untuk gula. Sementara menurut NSEAS Study, hingga saat ini terdapat 29 komoditas pangan dan pertanian yang masih terus diimpor. Padahal, sumberdaya alam pertanian sangat berlimpah di negeri ini. Didukung pula jumlah sumberdaya manusia yang banyak serta lahan subur yang terhampar luas. Serta musim yang juga sangat mendukung.
Semestinya, dengan beragam potensi ini Indonesia seharusnya mampu memproduksi kebutuhan pangannya sendiri tanpa tergantung pada impor. Apalagi anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan pertanian demi mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan tidaklah sedikit. Tapi, impor pangan justru semakin dahsyat.
Baru-baru ini ternyata bukan hanya kebutuhan pangan dan migas yang telah di impor oleh pemerintah Indonesia, tetapi ada fakta baru bahwa Indonesia ternyata juga masih impor alat pertanian cangkul. Padahal produk itu bisa dibuat di dalam negeri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diterima detikcom, Jumat (8/11/2019), jumlah impor pacul sebanyak 505,5 ton dengan nilai US$ 330,03 ribu sejak 2015 hingga September 2019. Dari total berat impor cangkul itu yang berasal dari Jepang hanya 7 kg dengan nilai US$ 65 dan sisanya dari China. Jika dirinci per tahun, pada 2015 totalnya seberat 14,2 ton dengan nilai US$ 6.589. Pada tahun 2016 totalnya seberat 142,7 ton dengan nilai US$ 187,0 ribu. Pada tahun 2017 totalnya sebesar 2,3 ton dengan nilai US$ 794.
Sedangkan pada tahun 2018 totalnya seberat 78,1 ton dengan nilai US$ 33.889 ribu. Pada tahun 2019 tercatat dari Januari sampai September totalnya seberat 268,2 ton dengan nilai US$ 101,6 ribu.
Akibat kebijakan impor
Maraknya kebijakan impor akan mengakibatkan dampak negative bagi petani dengan mangkrak dan anjloknya harga. Hal itu menyebabkan harga yang merosot dari ketentuan harga pembelian pemerintah (HPP). Dengan alasan dan dalih ketahanan pangan, banjir impor akan menjadi kebijakan yang tak berpihak kepada petani. Jadi, sebenarnya ketahanan ekonomi siapa yang sedang di perjuangkan ??
Menyikapi hal ini, pemerintah seharusnya mendengarkan keluhan rakyat agar tidak ada impor beras. Terlebih, beberapa daerah menyatakan surplus beras. Selain itu, banyak pula kepala daerah yang lebih memilih untuk membeli dari daerah-daerah lain. Kebijakan impor beras, tidak mensejahterakan petani dan bertentangan dengan program nawacita yang digagas pemerintahan Jokowi soal ketahanan pangan.
Ketahanan pangan kita masih lemah, dalam perspektif Islam negara wajib memberikan subsidi yang cukup bagi para petani agar mereka dapat memproduksi pangan, agar biaya produksi ringan, sehingga keuntungan yang mereka peroleh juga besar. Sebab, pangan adalah masalah strategis, dimana negara tidak boleh tergantung kepada negara lain. Ketergantungan pangan terhadap Negara lain bisa mengakibatkan Negara akan dengan mudah dijajah dan dikuasai.
Lantas, bagaimana kebijakan dalam perspektif Islam untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya?
Jawabannya ada dalam politik pertanian Islam, yang diarahkan untuk peningkatan produksi pertanian dan kebijakan pendistribusian yang adil, sehingga kebutuhan pokok masyarakat pun terpenuhi.
Dalam pandangan Islam, sektor pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi di samping perindustrian, perdagangan, dan jasa. Dengan demikian, pertanian merupakan salah satu pilar ekonomi yang apabila permasalahan pertanian tidak dapat dipecahkan, dapat menyebabkan goncangnya perekonomian negara, bahkan akan membuat suatu negara menjadi lemah dan berada dalam ketergantungan pada negara lain. Oleh karena itu tentunya, kebijakan pangan Khilafah harus dijaga dari unsur dominasi dan dikte negara asing, serta dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan ke depan, bukan semata-mata target produksi sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Oleh karenanya perhatian Negara dalam sistem Islam pun harus dicurahkan untuk mengoptimalisasikan pengelolaan pertanian ini,agar kebutuhan pangan untuk rakyat terpenuhi. Langkah optimalisasi pengelolaan ini dilaksanakan dengan beberapa kebijakan yang harus sesuai dengan ketetapan hukum syara, agar kesejahteraan dan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Sumberdaya alam berlimpah dan tanah subur nan luas yang dianugerahkan Allah SWT kepada Indonesia harusnya menjadi modal utama terwujudnya pemenuhan pangan rakyat secara cukup, terjangkau dan berkualitas. Pemenuhan itupun bisa diusahakan secara mandiri tanpa ketergantungan pada negara lain. Saat ini potensi tersebut dikelola dengan sistem dan konsep batil Neoliberalisasi sehingga ketahanan dan kedaulatan pangan hanyalah angan-angan. Sebaliknya apabila pengelolaannya menggunakan sistem politik ekonomi Islam yang mewajibkan negara hadir secara penuh, maka pemenuhan pangan secara mandiri bukanlah mimpi. Wallahu a’lam bi ash shawab.
Tags
Opini