Oleh: Yuli Mastari, S.Pd
Guru SMPIT Ar-Rahman Banjarbaru, Member AMK Kalsel
Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang diterapkan pemerintah pada bulan Januari 2020 naik hingga lebih dari dua kali lipat dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Alasan kenaikan ini karena katanya BPJS terus mengalami defisit. Anggaran keuangan BPJS kesehatan terus merugi, sejak lembaga ini berdiri pada 2014.
Kenaikan premi BPJS kesehatan ini diatur dalam Peraturan Presiden(Perpres) nomor 75 tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani pada 24 Oktober 2019.
Adapun besaran iuran premi yang harus dibayarkan yaitu Rp 160.000 untuk kelas I yang tadinya hanya membayar 80.000 perbulan, sedangkan untuk kelas II premi yang harus dibayarkan Rp 110.000 dari sebelumnya 51.000, untuk kelas III dari sebelumnya 25.000 menjadi 42.000 (kompas 2/11/2019)
Apakah dengan menaikkan Iuran ini dapat membantu menyelesaikan masalah kesehatan? Atau memunculkan masalah baru dalam bidang kesehatan?
"Bukan rahasia umum, selama ini pengguna BPJS Kesehatan banyak mengeluhkan pelayanan BPJS ini, ketika sedang berobat" kata Murjani,(jejak rekam.com/29/08/2019).
Kenaikan ini hanya seperti gali lobang tutup lobang saja, artinya resiko defisit akan muncul lagi sedangkan pelayanan kepada masyarakat tidak mengalami kemajuan.
Harusnya kenaikan iuran BPJS ini dikaji kembali, sebab jika tetap dinaikkan, malah akan memperparah defisit dari keuangan BPJS kesehatan, pasalnya masyarakat malah tidak mampu membayar iuran bulanan.
Ibarat kata pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudahlah tidak dapat membayar iuran, merekapun menunggak pula. Hutang pun semakin hari semakin menumpuk.
Bagai sebuah ilusi, kesehatan dibatasi oleh besarnya rupiah yang diangsurkan. Setiap warga negara yang seharusnya mendapat layanan kesehatan malah menjadi ladang bisnis yang berpotensi untung rugi.
Daripada menambah iuran bulanan, lebih baik kenaikan disesuaikan dengan kenaikan harga obat dan pelayanan, daripada masyarakat terus dipaksa membayar dengan iuran yang tinggi, disisi lain ekonomi rakyat terus menurun yang semakin hari terus merugi.
Sejatinya, negara harus bersungguh-sungguh mengurusi, bukan malah menyerahkan urusan ini kepada pihak korporasi yang pasti berorientasi hanya pada untung dan rugi.
Akar permasalahan ini sebenarnya tidak jauh- jauh dari masih diterapkannya sistem penjajahan gaya baru atau Neoimperialisme dan Neokapitalisme yang memisahkan hukum agama dari kehidupan.
Kesehatan yang sejatinya adalah kebutuhan pokok rakyat yang paling dasar dan pemenuhannya diberikan oleh negara, malah di biarkan tanpa dipandang lagi. Negara jugalah yang wajib menyediakan dan menjamin semuanya, dari mulai obat-obatan hingga fasilitas yang digunakan.
Jaminan terhadap layanan kesehatan ini tidak boleh dipindahtangankan pada swasta asing. Jika pengelolaan urusan ini dipindahkan kepada asing maka besar kemungkinannya mereka akan meraup keuntungan sebesar-besarnya dan mengeluarkan modal dengan sekecil-kecilnya.
Hal ini akan sangat berbeda jika pengurusan seperti yang diajarkan di dalam Islam. Sejarah membutikan pelayanan kesehatan dalam Islam sejatinya tak pernah pilih kasih. Apalagi menarik iuran yang mencekik kepada rakyat dan melayani sesuai harga yang mereka bayarkan. Dengan biaya yang murah atau bahkan gratis serta dimudahkannya segala birokrasi, rakyat akan mendapatkan pelayanan yang prima. Semua ini akan mudah dilaksanakan jika negara berasakan sistem aturan buatan Tuhan.
Oleh karena itu, tak ada pilihan lain kalau rakyat inginkan layanan kesehatan murah namun berkualitas yakni hanya ada di dalam sistem yang menerapkan Islam kaffah.
Wallahu'alam bish shawab