Oleh : Sabi
Kasus kematian bayi yang disebabkan penganiayaan dari orangtua, kini semakin sering terjadi. Seiring dengan semakin tingginya tingkat perceraian dan perselingkuhan dalam keluarga muslim. Hal ini menunjukkan, adanya kemerosotan keimanan, pemikiran dan akhlak yang cukup tajam dalam lingkungan keluarga termasuk ayah. Saat ini, banyak sekali ayah yang kehilangan peran, seperti kasus terbaru yang beredar, seorang balita 2.5 tahun harus tewas ditangan ibunya sendiri karena sang ibu depresi atas ancaman perceraian dari suami. Fenomena ketidakhadiran peran ayah dalam keluarga ini menjadi sumber permasalahan utama dalam rumah tangga. Alih – alih merasa sudah cukup memberikan uang dan fasilitas lalu abai terhadap tanggung jawab lainnya serta nafkah batin yang menjadi hak istri dan anak. Ini, juga sebagai indikator bagaimana kita, sebagai muslim tidak memahami dan menjalankan konsep islam secara benar dan menyeluruh.
Suami dan ayah bukanlah simbol rumahtangga, lebih dalam dari itu, suami dan ayah adalah pemegang kunci masa depan keluarga. Keberlangsungan peradaban manusia bisa dikatakan dimulai dari sosok seorang pria, ia harus bisa menjadikan dirinya seorang tauladan dan pembimbing sejati. Dengan ketakwaan kepada Allah yang tinggi dan pemahaman atas peran seorang suami, ia akan mampu membersamai istri untuk menjaga dan mendidik generasi – generasi yang terlahir dari nasabnya.
Islam telah memberikan konsentrasi luar biasa pada pernikahan. Islam juga mendorong kaum muslim untuk menikah dan membangun keluarga yang sakinah penuh berkah. Keluarga sebagai inti dari pembangunan peradaban telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para generasi terdahulu. Namun, moderenitas perlahan mengikis nilai – nilai dalam keluarga. Ada empat tugas suami menurut alquran dan hadist.
1. Suami adalah penjaga keluarga
Suami maupun istri memiliki peran penting dalam bahtera rumah tangga, saling bekerjasama dan saling melengkapi. Sebagaimana nakhoda dalam bahtera, suami diberi tanggungjawab yang lebih besar yang membuat mereka mempunyai peran yang lebih besar untuk menjaga keluarga mereka.
“ Kaum laki – laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki – laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki – laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).... (QS. An Nisaa: 34)
2. Suami harus mencintai istrinya dengan baik
Kunci dari harmonisnya sebuah keluarga adalah bagaimana cara pasangan memperlakukan pasangannya. Suami harus menganggap istrinya sebagai sahabatnya, begitupun sebaliknya. Persahabatan yang menentukkan akhirat kita. Allah memupuk cinta diantara pasangan yang menyemai kasih sayang dalam pernikahan untuk perbaikan kehidupan akhirat mereka.
“Dan diantara tanda – tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri – isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar – benar terdapat tanda – tanda bagi kaum berfikir” (QS. Ar Rum: 21)
Seorang suami harus memahami bahwa wanita yang ia nikahi memiliki hak, keinginan, kesempatan dan hasratnya sendiri untuk menggenapi suaminya dengan lebih baik. Begitupun dengan anak, seorang anak memiliki hak,keinginan, kesempatan untuk memberikan bakti kepada oangtua dengan lebih baik. Sebagaimana sebuah kisah yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab. Seorang laki-laki datang menghadap Umar bin Khaththab. Ia bermaksud mengadukan anaknya yang telah berbuat durhaka padanya dan melupakan hak-hak orangtua. Kemudian Umar mendatangkan anak tersebut dan dan memberitahukan pengaduan bapaknya.
Anak itu bertanya kepada Umar bin Khaththab, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah anak pun mempunyai hak-hak dari bapaknya?”
“Ya, tentu,” jawab Umar tegas.
Anak itu bertanya lagi, “Apakah hak-hak anak itu wahai Amirul Mukminin?”
“Memilihkan ibunya, memberikan nama yang baik, dan mengajarkan Al Quran kepadanya,”jawab Umar menunjukkan.
Anak itu berkata mantap, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku belum pernah melakukan satupun diantara semua hak itu. Ibuku adalah seorang bangsa Ethiopia dari keturunan yang beragam Majusi. Mereka menamakan aku Ju’al (kumbang kelapa), dan ayahku belum pernah mengajarkan satu huruf pun dari al-Kitab (Al Quran).”
Umar menoleh kepada laki-laki itu, dan berkata tegas, “Engkau telah datang kepadaku mengadukan kedurhakaan anakmu. Padahal, engkau telah mendurhakainya sebelum dia mendurhakaimu. Engkau pun tidak berbuat baik kepadanya sebelum dia berbuat buruk kepadamu.”
3. Menjadi suami siaga di masa kehamilan istri
Kehamilan adalah fase terlemah seorang perempuan, karena ia tidak hanya sedang diuji fisiknya, namun juga psikologis dan keimanannya. Kecemasan dan kegundahan akan janin di rahimnya selalu merasuki perasaannya. Untuk itu, seorang suami harus bisa memahami kondisi istri dikala hamil, dengan mendampinginya, memberi perhatian lebih dan menyirami hatinya dengan kisah kisah tauhid yang meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Fenomena babyblues yang kerap hadir meneror para ibu pasca melahirkan, tidak akan menjadi masalah selama suami senantiasa memberikan perhatian dan kelembutan sebagaimana Rasulullah SAW contohkan. Namun kini, fenomena babyblues menjadi momok besar, terbuktikan dengan banyaknya kasus kematian bayi oleh ibu kandungnya sendiri. Ini memvalidasi sebagai seorang muslim, para suami tidak menerapkan konsep rumahtangga secara islam menyeluruh dan tidak berperan sebagai suami sesuai tuntunan Rasulullah SAW.
4. Membersamai istri dalam membesarkan anak – anak
Gerak laju moderenitas menyingkirkan peran suami sebagai seorang pendidik. Suami kehilangan kemampuan untuk mengasuh dan mendidik istri dan anak. Masyarakat umum beranggapan bahwa peran suami dan ayah hanya sebagai pencari nafkah. Padahal, lebih dari itu, suami adalah pendidik utama. Suami harus mampu mendidik istri dan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh didalam keluarga, agar istri dapat lebih mudah mendidik anak untuk ikut menerapkan syariat Islam. Sebagaimana sebuah sekolah, suami berperan sebagai kepala sekolah dan istri sebagai gurunya. Istri yang depresi dan rendah keimanannya, menjadi indikasi bahwa suami tidak pernah dan tidak mampu mendidik serta membimbing pasangannya, justru membebankan tanggungjawab pendidik keatas bahu istri. Selain sebagai pendidik, seorang suami juga harus membersamai pasangannya dalam mengasuh anak, Islam jelas mengajarkan hal itu, dapat terlihat dari akhlak Rasulullah yang tanpa sungkan ikut mengasuh dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Semua itu dilakukan oleh suami, bukan untuk menjatuhkan harga dirinya, bukan pula untuk menginjak – injak marwah dirinya, namun untuk menggenapi setengah dien pasangannya, menerapkan konsep rumah tangga islam secara menyeluruh dan bersikap baik terhadap keluarga yang menjadi pondasi peradaban Islam. Jika segenap penghuni keluarga kembali kepada Islam maka kehidupan rumah tangga akan mencapai sakinah dan tercipta rumahku surgaku. Sejatinya, Islam lah yang mampu menyelesaikan setiap permasalahan kelurga.
“ Sebaik – baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.” (HR. At Tirmidzi No: 3895 dan Ibnu Majah no: 1977)
https://www.islamkafah.com/kisah-hikmah-umar-ibn-khattab-dan-ayah-yang-melaporkan-kedurhakaan-anaknya/
Alhdulillah smg dg adanya tulisan ini mampu menyadarkan kita semua tentang pnting nya membangun RT yg sesuai dg ajaran islam.aamiin
BalasHapus