GURUKU YANG MULIA, GURUKU YANG MALANG




OlehM Azzam Al Fatih

Guru adalah mutiara emas dalam kehidupan ini yang selalu memberi makna berarti. Dalam dirinya terpancar suri tauladan mulia, keikhlasan, kesabaran maupun semangat yang jarang ditemui. Semua dilakukan hanya untuk berbagi ilmu dan motivasinya. Maka pantas jika guru mempunyai gelar pahlawan tanpa tanda jasa.

Guru adalah pahlawan yang yang tak pernah di sebut dan disanjung seperti pahlawan Nasional. Sebutan pahlawan hanya tersemat pada dirinya ketika masih hidup, namun jasanya tak jauh beda dengan para pahlawan Nasional. Perjuanganya tak kenal lelah, berangkat pagi pulang pun petang. 

Sungguh jiwa raganya hanya didedikasikan untuk mengabdi kepada negeri. Pikiran dan perasaan dikorbankan demi kecerdasan anak didiknya. segala kemampuan dia tuangkan tanpa mengharap imbalan apapun kecuali pahala dan masa depan negeri. 

Namun ironisnya, jasa dan perjuangannya tak berbalas kebaikan. Kadang mendapat ejekan dan hinaan dari siswa maupun walinya bahkan berujung pada sel penjara hanya gegara tak terima atas bentakan sang guru, padahal bentakan sang guru diniatkan dalam rangka mendidiknya.

Lebih ngeri , pengorbannya tidak diperhatikan oleh negara. Coba bayangkan, di zaman sekarang yang serba mahal. masih banyak guru honorer dengan gaji 300 ribu perbulan. Di kehidupan sekarang tentunya gaji senilai tersebut, sangatlah minim untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bisa jadi cukup biaya transport. Akibatnya harus banting tulang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ada yang sambil jualan, tambahan ngajar les, bahkan ada cari hutang ribawi. Hal ini, tentu sangat menyiksa seorang guru. 

Seharusnya Negara bertanggung jawab penuh terhadap nasib guru honorer ini, baik yang sudah lama maupun baru mengabdi. Sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang guru dan dosen pada pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa setiap guru dan dosen dalam menjalankan tugas mempunyai hak: "mempunyai Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial"

Tetapi tidak untuk negeri ini, Undang undang yang ada tidak dijalankan semestinya. Faktanya masih banyak guru yang dengan penghasilan jauh dari standar. Masih banyak guru yang hidupnya serba kekurangan, hidup dirumah kontrakan, makan seadanya, bahkan masih ada yang tidak mempunyai transportasi. Dalam hal ini jelas, Negara berlepas  tangan dari tanggung jawab terhadap nasib guru.

Sekarang cobalah kita tengok sejarah Islam yang pernah berjaya berabad - abad. Kita akan temui sejarah gemilang dibidang pendidikan yaitu di masa kehilafahan Abbasiyah, di mana dunia pendidikan mencapai puncak kejayaan yang sampai sekarang pun belum ada yang menyamainya, baik mutu pendidikan maupun kesejahteraan gurunya.
Sebagaimana honor yang diterima zujaj senilai 200 dinnar setiap bulannya. Nilai itu jika di nominal saat ini, jika satu dinnar senilai Rp 2.200.000. jika 200 dinnar maka yang honor guru yang diterima dalam satu bulan senilai 4.400.000.000. sedangkan  abu duraij digaji 50 dinnar oleh  Al muktadir, sungguh keren kan.

Sekarang coba bandingkan dengan sistem demokrasi ini, adakah sejarah yang mencatat kesejahteraan guru di negeri ini, lalu adakah di dunia kita jumpai kwalitas pendidikan dan kesejahteraan seperti kekhilafahan Abbasiyah. Nihil, tak satupun negeri di bawah sistem demokrasi yang menorehkan kwalitas pendidikan terbaik, murah dan kesejahteraan guru terjamin.

Sebab, demokrasi hanyalah produk manusia yang tentunya dibuat atas dasar kepentingan. Berbeda dengan sistem daulah khilafah Islamiyyah, produk dari Allah SWT, yang Allah ciptakan sabagai Pioneer untuk merapkan sayriat Islam secara kaffah.

Dan hanya orang sombong dan bermental penjajah saja yang masih mempertahankan sistem kufur ini. Sebab menolak sistem yang datang dari pencipta yang jelas shohih demi kepuasan nafsunya. Nauzubillah min dzalik.


Wallahu'Alam Bhishowwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak