Gejolak Buruh dan Upah Minim, Sampai Kapan?




Oleh: Mila Ummu Tsabita
(Pegiat Dakwah Lit-Taghyir)

Seolah tak pernah sepi dari gejolak, persoalan buruh di negri ini viral lagi. Isu akan dihapuskannya Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) oleh Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah tak bisa dicegah terus mengemuka. Ke depan, hanya akan ada satu sistem pengupahan di masing-masing propinsi. Ida juga menjelaskan, bahwa selama ini perbedaan UMP dan UMK, termasuk upah sektoral, sudah direalisasikan berdasarkan regulasi yang telah ada. (BuruhOnline.com).

Namun sementara ini, acuan penetapan upah masih tetap menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015. Belum ada rencana lebih lanjut terkait kemungkinan-kemungkinan di atas. Sebagai informasi, Kemnaker telah menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2020 sebesar 8,51%. UMK ditetapkan setelah penetapan UMP. (detik.com).

Tentu saja, wacana sensitif begini segera mendapat penolakan dari buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Mereka menolak wacana untuk meninjau skema pengupahan, karena akan merugikan kalangan buruh terutama bagi kabupaten atau kota yang selama ini punya UMK jauh di atas UMP. Beberapa UMK yang jauh di atas UMP antara lain Kabupaten Karawang dan Kabupaten/Kota Bekasi.

Sebagai gambaran, UMP 2019 di Jawa Barat sebesar Rp 1,668,372, sementara itu UMK 2019 Jawa Barat yang tertinggi ada di Kabupaten Karawang, yakni Rp 4.234.010.  Sedangkan yang terendah terdapat di Kabupaten Pangandaran, sebesar Rp 1.714.673. (eramuslim.com). Yang terbayang di benak para buruh, ketika UMK yang sudah lumayan itu harus terjun bebas mengikuti UMP.   

Para buruh menganggap wacana Menaker ini sangat bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan secara sistematis akan memiskinkan kaum buruh. “Wacana ngawur “ kata Presiden KSPI Said Iqbal. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa upah minimum berdasarkan wilayah kabupaten/kota sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun yang lalu, sehigga dinilai tidak masuk akal apabila UMK hendak dihapuskan. Karena logikanya, pasti akan memicu perusahaan berlomba membayar upah buruh hanya sesuai UMP (Upah Minimum Provinsi). Ya...berat lah. Apalagi di tengah himpitan kondisi ekonomi kekinian yang jauh untuk bisa dikatakan baik. You know lah...

Lalu bagaimana tanggapan para pengusaha alias majikan para  buruh?  Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendukung wacana penghapusan UMK yang digulirkan Menaker.   Para pengusaha sangat menolak upaya menaikkan UMK.  Salah satu yang mengemuka adalah kenaikan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) Bekasi yang disepakati sebesar 8,51%.  Wakil Ketua Umum Apindo Suryadi Sasmita mengatakan bahwa pihaknya khawatir dengan iklim investasi dan kondisi perusahaan yang jadi kalah saing dengan negara-negara lain. Terutama yang bergerak di bidang industri padat karya dan manufaktur. 

“Sesungguhnya bagi pengusaha berat sekali karena bisnis sepi ditambah kondisi ekonomi yang belum stabil. Kenaikan 8,51% itu tidak bisa dibarengi dengan peningkatan produktivitas,” katanya. (Ayobekasi.net).  Apalagi kita juga tahu, para pengusaha terbebani berbagai pajak, juga kewajiban membayar asuransi bagi para pekerja dan memberi pesangon jika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).   Banyak pengusaha akhirnya mengambil jalur informal, karena beratnya regulasi.  Misalnya keharusan memberi pesangon 13 kali gaji  bagi pekerja yang di-PHK menyebabkan  mereka tak mau mengangkat buruhnya jadi pekerja tetap alias hanya outsourcing (pekerja kontrak). 

Pengusaha berharap pemerintah menggunakan skema UMN.  Memang besarannya kecil, tapi itu nanti disesuaikan oleh perusahaan. Misal, perusahaan yang untungnya gede, maka yang diberikan ke buruh juga besar. Perusahaan yang untungnya kecil, sebaliknya. Jika menggunakan skema UMN, buruh tak perlu merasa khawatir karena perusahaan tidak bisa seenaknya menggaji tanpa melihat kompetensi dan produktivitas kerja. Semua sudah ada aturan baku yang wajib diikuti.  “Ada PKB (Perjanjian Kerja Bersama)-nya dan dihitung aspek lain seperti kompetensi dan lain-lain,” kata Suryadi. 

Pada 2018, sempat ada wacana menghapus aturan tentang upah minimum oleh Bank Dunia yang sempat ditolak mentah-mentah oleh KSPI.  Demikian juga,  Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan, Bob Azam sependapat dengan itu.  Menurut Bob, aturan penghapusan upah minium dan pesangon sebetulnya tidak adil bagi kaum buruh dan terlalu memojokkan mereka.
Namun aturan upah minimum yang ada saat ini perlu diperbaiki. Dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap perusahaan dilarang untuk membayar pegawainya di bawah upah minimum. Menurut Bob, hal itu hanya bisa berlaku bagi UMKM, tapi tidak bagi perusahaan besar. 

“Harusnya kalau perusahaan besar itu bipartit. Enggak usah pakai upah minimum. Sekarang upah minimum saja jadinya terlalu tinggi, sehingga banyak perusahaan terutama UMKM tidak bisa memenuhi,” kata Bob. Bob beralasan, pengaturan kesepakatan antara dua pihak tentang penghasilan upah minimum karena banyak investor yang menginginkan kepastian hukum.  Biasanya, para investor selalu membuat perhitungan pengeluaran untuk lima tahun ke depan. “Tapi masalahnya upah minimum di Indonesia setiap tahun berubah-ubah. Tiap ada demo berubah, tiap mau pemilu, berubah. Perusahaan takut, enggak ada kepastian hukum, pengeluaran bertambah, padahal produksi tidak maksimal,” katanya menyesalkan. (tirto.id)

Kelihatannya, maunya buruh dan  pengusaha akan sangat sulit dipertemukan jika sistem pengupahan masih menganut pola demikian. Negara yang menetapkan besaran upah dengan mempertimbangkan biaya hidup minimum bagi para buruh.  Bukan berdasar jasa dan manfaat yang bisa dihasilkan mereka bagi perusahaan.  Lalu bagaimana solusi yang lebih manusia bagi para buruh dan pengusaha?



Regulasi yang selama ini berlaku

Dikutip dari BuruhOnline.com bahwa sejak tahun 1995, setidaknya aturan upah minimum telah enam kali diubah oleh Menteri Tenaga Kerja (Menaker). Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 01/Men/1996, upah minimum disebut upah minimum regional (UMR) yang merupakan upah bulanan terendah di wilayah tertentu dalam satu propinsi. Istilah UMR, digunakan juga oleh Permenaker No. 03/Men/1997 dan Permenaker No. 01/Men/1999.

Mulanya, penetapan besaran UMR di seluruh wilayah Indonesia, ditetapkan oleh Menaker. Lalu pada tahun 2000, melalui Keputusan Menaker Nomor 226 Tahun 2000, istilah UMR diubah menjadi Upah Minimum Propinsi (UMP) dan UMK yang besarannya ditetapkan oleh Gubernur. Aturan tersebut, kemudian dicabut dan digantikan oleh Permenaker Nomor 7 Tahun 2003, yang akhirnya dinyatakan tidak berlaku oleh Permenaker Nomor 15 Tahun 2018.

Sedangkan pengaturan UMK tidak hanya diatur oleh Permenaker, tetapi juga merupakan amanat Pasal 89 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, serta Pasal 45 dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015. Sehingga, apabila ada wacana Pemerintah untuk menghapus UMK, maka Pemerintah setidaknya harus mencabut dan mengubah tiga aturan pengupahan, yakni UU 13/2003, PP 78/2015 dan Permenaker 15/2018. Untuk mengubah UU 13/2003, maka setidaknya Pemerintah membutuhkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).


Sistem Kapitalis: konflik buruh dan pengusaha niscaya

Kesalahan mendasar sistem pengupahan di hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia adalah penerapan sistem Kapitalis.  Sistem ini mengatur mekanisme pengupahan buruh dengan menghitung  biaya hidup sebagai standar penentuan upah. Bahkan sesuatu yang semestinya menjadi kewajiban Negara -seperti jaminan kesehatan, pendidikan dll- turut menjadi komponen yang dibebankan pada pengusaha.

Dengan iklim usaha yang tidak kondusif, pengusaha dirugikan karena banyaknya kewajiban kepada Negara (pajak) maupun pada pekerja. Sementara pekerja juga merasa dizalimi oleh pengusaha atau kapital (pemilik modal).  Selama ini mereka merasa telah dieksploitasi oleh para kapital, namun pengorbanan tak sebanding dengan upah yang mereka dapatkan.  Dampaknya, pemenuhan kebutuhan tidak bisa dilakukan secara baik dan layak. 

Salim Fredericks dalam bukunya Political and Cultural (2004) mendeskripsikan bagaimana  terjadi praktek eksploitatif oleh para kapital (pengusaha) kepada para buruh.  Termasuk juga sikap negara-negara kapitalis terhadap negara Dunia Ketiga, sangat eksploitatif.  Banyak industri-industri dibangun di wilayah negara miskin atau berkembang,  dengan alasan yang sederhana yaitu upah buruhnya tergolong rendah. Kemudian hasil produksi dijual dengan harga berkali lipatnya.  Seperti pada kasus perusahaan yang memproduksi sepatu merk Nike. Dana jutaan dollar  pernah dibayarkan perusahaan sepatu ini kepada Michael Jordan (MJ) selama bertahun-tahun, dibanding kecilnya dana yang dikeluarkan untuk penduduk Asia Tenggara yang bekerja pada perusahaan tersebut.  Bisa dibayangkan betapa menyedihkan, para wanita  dan anak-anak yang memeras keringat di pabrik-pabrik Nike hanya dengan biaya produksi kurang dari 2 dollar AS (kala itu).  Segitulah upah yang didapatkan untuk sepasang sepatu yang bisa diselesaikan. 

Atau kasus paling hangat yang membuat kepala orang menggeleng ialah pengusaha asing yang kabur membawa upah seluruh karyawan. Ada pula beberapa perusahaan yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Diberitakan, sebanyak 3.000 karyawan PT Selaras Kausa Busana (SKB) belum menerima gaji sejak Agustus 2018. Para buruh terpaksa gigit jari lantaran direktur perusahaan yang berasal dari Korea Selatan malah membawa kabur modal perusahaan sebesar Rp90 miliar yang seharusnya menjadi gaji karyawan. (cnnindonesia.com).

Belum lagi, kasus pelanggaran upah minimum oleh beberapa perusahaan. Adapula perusahaan yang belum mendafarkan pekerjanya sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Ditambah problem seperti BBM, TDL, pajak, dan naiknya harga kebutuhan pokok keseharian,  juga kebutuhan akan kesehatan dan pendidikan semakin mempersulit kehidupan para buruh.  Sehigga wajar semua ini memicu konfliks yang sulit dihindari antara pengusaha (majikan) dan para buruh.

Namun seperti yang disebutkan di atas, problem perburuhan telah dipicu oleh kesalahan standar yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu biaya hidup ( living cost) terendah.  Biaya inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh.  Jadi para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang seharusnya,  tapi hanya mendapatkan  sekadar untuk untuk bisa hidup dan survive.  Merasa telah diesploitasi oleh para Kapital (pemilik perusahaan) maka kemudian memicu lahirnya gagasan sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.  Itulah yang terus dituntut oleh para pekerja agar diperhatikan para pengusaha, juga penguasa (negara).

Akhirnya  “terpaksa” pengusaha dengan ditengahi oleh pemerintah,  melakukan sejumlah revisi terhadap berbagai hal dan tidak lagi menjadikan living cost terendah sebagai standar dalam  gaji para pekerja mereka.  Itu pun setelah aksi berkali-kali tentunya. Kontrak kerja (baru) dibuat dengan sejumlah ketentuan yang bermaksud untuk melindungi para pekerja. Memberikan hak kepada mereka yang sebelumnya tidak didapatkan. Seperti hak membentuk serikat pekerja, pemberian dana pensiun, penghargaan dan sejumlah kompensasi lainnya. Mereka juga diberi hak upah tambahan, libur mingguan, jaminan kesehatan, dsb.

Walaupun mereka telah melakukan sejumlah revisi  untuk mencegah kemarahan para pekerja (plus menghadapi provokasi kaum sosialis), tapi semua itu bukan demi memeperbaiki nasib para buruh.  Justru demi kepentingan para pengusaha.  Bagaimana agar usaha tetap survive dan keuntungan tetap besar, plus tidak memunculkan masalah dengan beberapa pihak yang bisa mempengaruhi citra perusahaan.  Sebab pada dasarnya, para kapital hanya perduli dengan nasib usahanya. Tak perduli bahwa buruh harus bekerja untuk hidup, bahkan hidup (nya habis) hanya untuk bekerja. Miris.

Lalu bagaimana peran  negara?  Dalam sistem Kapitalis, negara lebih banyak mengakomodir dan menyokong kepentingan para kapital besar.  Sudah menjadi rahasia umum, pengaruh oligarki di dalam politik dan kebijakan suatu negri.  Termasuk kebijakan-kebijakan  terkait upah buruh. Sehingga berharap solusi tuntas kepada negara hari ini bisa jadi utopis.  Bagai pungguk merindukan pesangon.


Islam, Solusi perburuhan alterntif 

Kok Islam?  Ya.  Karena ini problem sistemik.  Harus sistemnya yang diinstall  lagi yang baru.  Islam punya aturan yang komprehensif soal ini.  Misalnya, dalam menentukan standar gaji buruh harusnya karena manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh di pasar, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.   

Rasul Saw bersabda : 
Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang ajir (buruh) maka hendaknya ia memberitahukan gajinya.“ (HR ad-Daruquthni).

 “Sesungguhnya harta ini (bagaikan) buah yang hijau dan manis, maka barangsiapa mengambilnya tanpa ketamakan Allah akan meberkahinya.  Tapi barangsiapa mengambilnya secara berlebihan, maka Allah tidak memberkahinya.  Dan dia seperti  seorang yang sedang makan tetapi tak pernah kenyang. Dan tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” (HR Bukhari).

Sungguh naluri  manusia yang fitrah ingin banyak harta, tapi para pengusaha harus mengembangkan hartanya dengan usaha yang dibolehkan oleh syariah (halal). Juga tidak boleh sampai mengorbankan pihak lain untuk mendapatkan laba yang tinggi.   Maka mereka wajib memenuhi hak-hak para pekerjanya berupa gaji yang memadai dan waktu kerja dalam batas yang wajar.

Jika sampai terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak.  Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negara (khilafah) turun tangan untuk memilihkan pakar untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut. (KH. Hafidz Abdurahman/2012)

Dengan demikian, negara tidak perlu ikut campur dalam menetapkan UMP/UMK dsb.  Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.  Harusnya faktor kesepakatan dalam akad dan keridhoan keduanya yang menjadi dasar.  Bukan dipaksa oleh UMP/UMK yang jauh dari standar hidup.

Trus kalau upah tidak disesuaikan dengan living cost, bagaiman para buruh bisa hidup layak? Ya bisa lah.  Karena negara khilafah punya mekanisme sendiri mengatur perekonomian sehingga segala kebutuhan masyarakat (bukan hanya buruh) seperti pangan, papan dan sandang bisa terjangkau. Termasuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas.  Yaitu dengan mengoptimalkan pendapatan negara dari SDA yang dianugerahkan Allah Swt kepada negara tersebut. Bukan dengan menyerahkan eksploitasi kepada pihak swasta atau kapital rakus sebagaimana dalam sistem bobrok kapitalis.  

Sungguh penguasa dalam Islam adalah penanggung jawab, sebagaimana Rasulullah telah bersabda: “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari).  

Jika penguasa serius dan  mau menerapkan Islam kaffah. Maka  tak akan terjadi salah urus dalam mengelola negeri ini.  Kesejahteraan bisa terwujud, baik buruh maupun masyarakat kebanyakan.  Pengusaha pun tak pusing terbebani dengan berbagai pungutan yang memberatkan.  Berapapun upah yang diakadkan antara buruh dan majikannya.

Akhirnya dengan penerapan sistem ekonomi Islam yang tidak kapitalistik-lah, menyebabkan negara mampu memfasilitasi rakyatnya (semua kalangan) dengan maksimal bahkan gratis. Merujuk pada defenisi  negara Kesejahteraan yakni konsep pemerintahan ketika negara mengambil peran penting dalam perlindungan dan pengutamaan kesejahteraan ekonomi dan sosial warga negaranya. Termasuk harapan para buruh yang ingin hidup sejahtera, dengan upah yang cukup dan kebutuhan pokok pun tak perlu dipusingkan karena sudah tersedia atau terjangkau.  Tapi pertanyaannya, sudikah rakyat (termasuk para buruh) dan negara ini mengadopsi sistem Islam? Harapan penulis, semoga kejernihan berpikir dalam mengkomparasi solusi makin meningkat.  Rakyat –yang mayoritas muslim- akan makin sadar untuk hijrah dari sistem  bobrok ini. Insha Allah[]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak