Oleh : Rosmiati
“Kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi lebih lambat di hampir 90 persen dunia pada 2019,” Begitu ungkapan Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF), Kristalina Georgieva dalam pertemuan rutin tahunan Bank dunia (Tirto.id, 21/10/2019).
Pada tahun 2020 mendatang, perekonomian dunia internasional akan mengalami resesi, yakni sebuah kondisi di mana perekonomian suatu negara berhenti tumbuh, dan berbalik menurun. Menteri keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani juga mengakui hal itu. Bahkan menurutnya, kontraksi dari beberapa negara telah terlihat, baik itu di Asia, Eropa bahkan sekelas Amerika, dimana basis kapitalisme dunia berdiri, juga mengalami nasib yang sama.
Perang dagang yang melibatkan duo kapitalis dunia AS dan Cina, menyumbang andil besar terhadap peristiwa ini. Berdasarkan analisis IMF, efek kumulatif dari perang dagang antara Cina dan AS telah mengurangi output Produk Domestic Bruto (PDB) global, sebesar USD700 miliar atau sekitar 0,8 persen tahun depan. Walhasil, tragedi resesi tidak dapat dihindari. Sebab ia amat bergantung pada kondisi PDB yang bersahabat.
Membaca sinyal ini sejumlah perusahaan otomotif, komputer hingga perusahaan perintis atau start up melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masal kepada sejumlah karyawannya. Demi perampingan biaya operasi dan memangkas biaya operasional alasan utama mengapa karyawan harus dirumahkan.
HP yang merupakan perusahaan komputer dan printer yang berbasis di Amerika Serikat, harus memangkas lebih dari 10 persen karyawannya di seluruh dunia, pada awal oktober ini. Sekitar 9.000 ribu karyawan akan di rumahkan, dalam kurun waktu 3 tahun ke depan, dari total karyawannya di seluruh dunia 55.000 ribu orang.
Selain HP, Uber juga tidak jauh berbeda. Perusahaan yang bergerak di bidang juga akan mem-PHK 85 persen pekerjanya di Amerika Serikat, 10 persen di Asia Pasifik dan 5 persen di Eropa, Timur Tengah dan Afrika.
Ford dan LG Display juga tidak luput dari terjangan tsunami PHK masal ini. Sekalipun LG Display tidak menyebutkan spesifikasi angka, namun PHK sukarela akan dilakukan terhadap karyawan yang sudah bekerja lima tahun atau lebih. Sedangkan Ford yang mengalami kerugian karena lambatnya penjualan produk, tidak hanya sekedar mem-PHK 12.000 karyawannya tetapi juga melakukan pemotongan gaji pekerja sebanyak 10 persen. Tujuannya agar perusahaan dapat meraih profit dan produktif (cnbcindonesia.com, 12/10/2019).
Sinyal Buruknya Sistem Ekonomi Dunia
Bergeraknya sejumlah perusahaan ternama dunia, dalam memasifkan aktivitas perumahan pekerja (PHK) adalah alarm bahwa kondisi ekonomi dunia sedang tidak baik-baik saja. Perang dagang antara Cina dan AS telah membawa dampak yang sangat signifikan bagi kelangsungan usaha para pemilik modal di bawah mereka. Kendatipun perusahaan start up juga bukanlah plat perusahaan biasa. Namun, pemecatan karyawan juga tidak bisa dinafikan bahwa itu adalah bagian dari sebuah ketidakberdayaan.
Sistem kapitalisme, sejak lahir hanya dekat dengan para pemilik modal besar saja. Sebab sejak awal ia dipersiapkan memang untuk itu, yakni mengakomodir segalah kepentingan pihak kaum borjuis. Dalam sistem ini pun kuat-kuattan, siapa yang punya modal banyak maka ia akan bertahan dalam kancah pergulatan. Dan barangsiapa yang tidak mengantongi suplai modal yang cukup, siap-siap saja untuk tenggelam dihembas badai resesi.
Kondisi ini menjadi bukti, bahwa betapa kapitalisme tidak sehebat yang dinarasikan. Amerika Serikat yang merupakan kampium dari sistem ekonomi kapitalisme juga nampak tidak berdaya dalam melindungi rakyatnya untuk tetap eksis di dunia kerja. Lalu bagaimana dengan negara-negara kecil di bawahnya? Tentu akan lebih dramastis nasib yang akan dialaminya.
Inilah sederet fakta dalam sistem kapitalistik. Ketika ekonomi terancam, dengan mudah para pembisnis akan menarik investasinya, lalu memecat pekerjanya dengan dalih demi kelangsungan hidup perusahaan. Lihatlah beberapa perusahaan di atas, dimana alasan utama melakukan PHK ialah demi menjaga biaya produksi sampai operasional perusahaan. Mengupah karyawan adalah bagian yang paling merugikan pembisnis dalam sistem yang mengedepankan materi ini.
Padahal PHK adalah ibarat membuka gerbang menuju tol pengangguran masal. Dan ketika ini terjadi, maka siapa yang dirugikan? Jelas negaralah yang kembali akan dirugikan. Sebab akan menjadi beban baru.
Sistem ekonomi berbasis materi ini memang lahir dari rahin sekularisme dengan obsesi terbesar ialah mengumpulkan segudang materi. Maka tidak heran, bila raut wajahnya nampak tidak berhati dalam hitung-hitungan pendapatan. Tidak peduli seberapa banyak mudarat yang ditimbulkan, asal hajat untuk meraih pendapatan tercapai. Akibatnya dalam urusan memenuhi kebutuhan rakyat pun masih berhitung untung rugi.
Dalam Islam, menjadi keharusan bagi pemimpin dalam mengupayakan penghidupan yang layak bagi segenap rakyatnya, tanpa padang kasta juga status dalam masyarakat apakah ia dari golongan terpandang atau rakyat kebanyakan yang tidak punya modal menggunung. Yang namanya penguasa punya beban moril yang harus direalisasikan, yakni bagaimana agar rakyat dapat hidup nyaman dan aman. Dan perkara ini kelak ia akan bersaksi dan kembali mempertanggungjawabkannya.
Maka sungguh ruginya bila selama itu ia dusta dan zalim atas apa yang diurusnya. Hal-hal semacam ini tidak dijumpai dalam sistem sekuler kapitalis. Maka tidak heran bila yang ada dalam ekspektasinya hanyalah sekedar mengejar keuntungan perseorangan. Tanpa memikirkan kelanjutan nasib bagi yang lainnya.
Persoalan pelemahan eknomi yang berujung pada perumahan sejumlah karyawan adalah sinyal betapa kapitalisme kian jatuh tersungkur entah tidak dapat terhitung lagi sudah berapa kerugian yang telah diperbuatnya. Masih terus mau hidup di bawah bayangnya?
Wallahu’alam