Oleh : Nur Ilmi Hidayah
Praktisi Pendidikan Madrasah, Member Akademi Menulis Kreatif
Salah satu keunikan kurtilas adalah masuknya ekstrakurikuler yang mengakibatkan ikhtilat dalam sistem pendidikan di sekolah. Ekstrakurikuler pramuka misalnya, adalah kegiatan yang bisa dilakukan oleh segala kelompok umur. Sebagai upaya menggelorakan kembali trisatya dan Dasa Dharma, pramuka menjadi kebutuhan relevan saat ini.
Pramuka menjadi tren di semua sekolah. Bukan karena kegiatannya yang dirindukan, tapi karena statusnya wajib. Pramuka sebagai kegiatan baru, rutin dilakukan tiap minggu. Hal ini tentu menjadi dilema, karena pramuka sebenarnya adalah sesuatu yang sukarela.
Dalam penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia tentang gerakan pramuka, dengan jelas dikatakan bahwa “Gerakan pramuka yang sifatnya mandiri, sukarela dan non politis.” Yang dimaksud ‘sukarela’ adalah organisasi yang keanggotaannya atas kemauan sendiri, tidak diwajibkan. Semangat sukarela yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut akan langsung gugur, jika kemudian kegiatan ekstrakurikuler pramuka diberi embel-embel wajib di semua jenjang sekolah.
Apa jadinya jika sesuatu yang seharusnya sukarela menjadi wajib? Keterpaksaan pastinya. Jika sudah terpaksa, apakah dapat dilaksanakan dengan enjoy? Tentu tidak, karena dalam kegiatan pramuka butuh kemauan, kerja keras dan yang paling penting, enjoy. Jika kegiatan pramuka itu dilakukan dengan enjoy, maka apa yang diinginkan dari pramuka terhadap anggotanya dapat terwujud. Anggota akan lebih ikhlas dalam melaksanakan kegiatan. Pada akhirnya, kewajiban yang termaktub dalam Dasa Dharma akan terpenuhi. Tetapi jika tidak enjoy, bagaimana bisa?
Kewajiban mengikuti kegiatan ekstrakurikuler pramuka menimbulkan keengganan tersendiri bagi sebagaian besar siswa. Kebanyakan dari mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler pramuka menjadi sekadar kegiatan formalitas yang membosankan. Sebagian dari mereka merasa ketakutan dimarahi oleh pembina pramuka atau pihak sekolah kalau tidak mengikuti kegiatan tersebut. Bahkan, banyak dari mereka yang terpaksa mengikuti ekstrakurikuler pramuka hanya karena takut tidak memperoleh nilai. Sementara, nilai ekstrakurikuler pramuka menjadi salah satu penentu naik tidaknya siswa ke jenjang berikutnya.
Gerakan pramuka sebagai suatu bentuk pendidikan luar sekolah telah menggabungkan kegiatan di sekolah dengan di rumah sehingga merupakan suatu kesinambungan pendidikan yang tidak terputus.
Ekstrakurikuler pramuka melakukan kegiatannya dengan cara campur baur (ikhtilat) antara laki-laki dan perempuan. Di dalam ajaran Islam, Allah telah memberikan sistem peraturan dalam pergaulan, termasuk dalam sistem pendidian.
Di dalam syariat yang mulia ini, laki-laki dan perempuan yang bukan mahram diharamkan bercampur baur dalam satu tempat tanpa adanya hijab/pemisah antara keduanya (ikhtilat).
Ikhtilat merupakan penghalang terbesar untuk melaksanakan ketentuan agama tersebut. Dengan seringnya bersama-sama di bangku sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler, seringnya bertemu, saling melemparkan pandangan dan ucapan, maka bisa menimbulkan fitnah. Rasulullah Saw telah menyatakan ftnah ini dalam sabdanya yang agung :
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikian bahayanya akibat yang ditimbulkan ikhtilat ini berupa kerusakan moral dan akhlak, sepantasnya kita tidak meremehkan dengan alasan darurat dan semisalnya. Namun, sikap yang semestinya kita ambil adalah berhati-hati dan menjaga diri dari ikhtilat.
Asy-Syaikh Abdullah Aziz bin Badillah bin Baz r.a, ketika memberikan fatwa dalam permasalahan di atas, beliau menyatakan, “Duduknya siswa dan siswi secara bersama-sama di bangku sekolah sebab terbesar terjadinya fitnah dan sebab ditinggalkannya hijab yang Allah Swt syariatkan kepada kaum mukminat. Juga merupakan sebab dilanggarnya larangan-Nya bagi kaum mukminat untuk menampakkan perhiasan mereka di hadapan selain pihak-pihak yang disebutkan dalam surat an-Nur.
Realitanya, dunia pendidikan formal dan ekstrakurikuler yang ada di Indonesia merupakan ikhtilat. Sedangkan umat sangat membutuhkan orang-orang yang memiliki kompetensi ilmu secara formal di bidangnya masing-masing. Maka, menjalani pendidikan secara ikhtilat adalah sebuah hal yang sifatnya darurat. Agar keimanan terjaga, solusi yang diambil adalah :
1. Senantiasa konsisten dalam kegiatan menuntut ilmu agama, menghadiri majelis ilmu, dan bertanya kepada ulama dalam setiap permasalahan pelik yang dihadapi, khususnya dalam interaksi di dunia pendidikan formal.
2. Senantiasa bersama orang-orang yang memiliki komitmen dalam menegakkan nilai-nilai Islam pada diri sendiri dan orang lain.
3. Menghindarkan diri dari tempat-tempat atau kegiatan-kegiatan yang dapat menjerumuskan seseorang dalam fitnah.
Para pemimpin bangsa dan pihak-pihak yang berkompeten dalam dunia pendidikan harus menyadari adanya oknum-oknum yang mencoreng nama baik dunia pendidikan. Hendaknya seluruh hal tersebut semakin mempertebal keyakinan kita akan penting dan urgennya kembali syariat Allah yang benar agar cita-cita serta visi dan misi utama pendidikan dapat tercapai.
Wallaahu a‘lam bishshawaab.