Oleh : Dara Millati Hanifah, S.Pd
.
Pemerintah sedang mewacanakan program sertifikasi pernikahan bagi pasangan yang akan menikah. Hal tersebut langsung menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Pasalnya kebijakan itu cukup mempersulit pasangan untuk menikah dari sisi prosedur. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Kemanusiaan dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mendorong penerapan sertifikat pernikahan untuk calon pengantin baru, yang rencananya akan mulai diterapkan pada 2020.
.
Beliau menjelaskan, program sertifikasi pernikahan berbeda dengan konseling pranikah yang sudah dijalankan Kantor Urusan Agama (KUA). Selama ini, KUA hanya menjelaskan, tentang tujuan pernikahan, hak dan kewajiban suami-isteri kepada calon mempelai sebelum acara pernikahan.
Sementara sertifikasi pra-nikah akan memberikan pengetahuan yang lebih komprehensif kepada calon mempelai mulai dari kesehatan reproduksi, pencegahan terhadap berbagai penyakit, persiapan menjelang kehamilan hingga cara merawat anak. (Liputan6.com 16/11/2019)
.
Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nakha'i, mengatakan setuju dengan rencana pemerintah mewajibkan sertifikat pernikahan bagi calon pengantin. Ia menilai, wacana mewajibkan itu merupakan upaya negara dalam membangun keluarga yang kokoh, berkesetaraan, dan berkeadilan. Sehingga, pasangan yang sudah menikah diharapkan mampu membangun keluarga sejahtera.
Menurutnya, sertifikasi pernikahan menjadi penting karena saat ini terjadi perang narasi ketahanan keluarga. Ada kelompok yang memaknai bahwa ketahanan keluarga adalah dengan kembalinya perempuan ke ruang domestik, ketaatan penuh pada suami, dan kepemimpinan laki-laki. Sementara konsep perkawinan yang ditawarkan Kemenag adalah perkawinan yang berdiri di atas prinsip keadilan, kesalingan, dan kesetaraan.
.
Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan akan mengerahkan tenaga kantor urusan agama (KUA) dan penyuluh agama dalam program sertifikasi pernikahan. Beliau mengatakan, calon pengantin akan ditatar terlebih dulu sebelum mengurus surat-surat nikah. Mereka akan dibekali oleh para penyuluh agama dengan pengetahuan mengenai masalah agama hingga kesehatan. (Tempo.co 14/11/2019)
.
Mungkin tujuan pemerintah memang baik, namun sayangnya program semacam ini justru hanya akan mempersulit pasangan di negeri ini untuk melaksanakan pernikahan. Apalagi sebelumnya, ada revisi usia pernikahan oleh DPR bahwa batasan usia yang dibolehkan melakukan pernikahan antara laki-laki dan perempuan adalah sama, yakni usia 19 tahun. Hal ini sangat bertolak belakang dengan program yang dicetuskan oleh presiden berkenaan dengan himbauan untuk memudahkan peraturan dan sistem birokrasi.
.
Walaupun kebijakan tersebut bertujuan untuk membangun ketahanan keluarga, sistem reproduksi dan agama. Jika ditelaah lebih dalam lagi, solusi tersebut bukan menyelesaikan tapi menimbulkan permasalahan baru. Di antaranya, keengganan pasangan untuk melakukan pernikahan karena administrasi yang rumit. Atau menikah hanya atas agama bukan dicatatan sipil. Di mana, hal tersebut akan merumitkan pasangan yang baru menikah untuk mengurusi akta kelahiran anak, biaya pendidikan anak dan lain sebagainya.
.
Padahal pernikahan merupakan bagian dari syariat Islam. Di mana, negara ikut andil dalam mengurusi pernikahan dengan memberi kemudahan, khususnya dalam hal administrasi. Tak cukup sertifikat menjadi tolok ukur atau pra nikah kilat. Karena sejatinya pernikahan itu diniatkan hanya untuk beribadah.
.
Begitu pula dengan ketahanan keluarga. Ia tidak perlu menggunakan sertifikasi, karena hal itu dibangun oleh aqidah yang kuat berlandaskan Alquran dan As-Sunah yang tidak diperoleh secara instan melainkan butuh proses panjang. Pendidikan seperti ini akan menyumbangkan keberhasilan pada pendidikan reproduksi. Karena dengan keimanan yang kokoh mereka tidak akan terjerumus dalam pergaulan bebas.
.
Masalah stunting dan perceraian adalah dampak dari sistem ekonomi liberalisme. Permasalahan tersebut hanya akan selesai dengan diterapkannya sistem Islam yang kaffah, dimana semua rakyatnya akan mendapatkan hak yang sama, terutama dalam hal kebutuhan pokok. Negara lah yang berperan penting dalam mengurusi permasalahan di atas, bukan perseorangan apalagi pasangan. Hal di atas sangat tidak mungkin bisa dipraktikkan sekarang. Sungguh hanya dalam sistem Islam, pernikahan akan dimudahkan. Dalam sistem Islam pula, menjadikan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah adalah perkara yang sangat mudah.
.
Wallahu 'alam bi shawab