Oleh : Ghina
(Bidan Swasta)
Istilah radikal masih terus digencarkan oleh rezim saat ini. Bak bola api, isu ini terus bergulir semakin liar. Alih-alih mengurusi persoalan negri yang lebih penting dan serius, isu radikalisme kembali dipropagandakan dan ditudingkan pada kelompok-kelompok umat Islam yang dianggap bersebrangan dengan kepentingan pemerintah. Tujuannya jelas, yaitu untuk menakut-nakuti masyarakat secara umum, khususnya umat Islam agar semakin tertanam di dalam pemahaman mereka bahwa radikalisme adalah tindak kejahatan yang harus dijauhi bahkan dilawan. Bersamaan dengan narasi radikalisme ini, muncullah penyesatan makna syar'i tentang jihad, busana muslim dan cadar. Karena berdasarkan pengamatan secara fisik, yang kerap menjadi obyek adalah mereka yang berjenggot, celana cingkrang, bercadar, dan membuat kajian esklusif semisal halaqah/liqa. Sehingga ini menyebabkan umat Islam semakin takut dan menjauhi ajaran agamanya sendiri.
Itulah mengapa kita seringkali mendapati pandangan bahwa semakin nampak “Islami” seseorang, semakin besar kecenderungannya terhadap kekerasan dan semakin dicurigailah dia. Seorang pria dengan ciri-ciri yang terlihat Islami yang meninggalkan tasnya sesaat tanpa pengawasan di kereta membuatnya lebih banyak mendapatkan kecurigaan daripada orang lain yang tidak memiliki ciri serupa. Kecurigaan semacam itu, sadar atau tidak, kini melekat pada cara pemerintah bersikap, yang dikuatkan dengan sejumlah aturan, dikampanyekan di sekolah dan universitas yang dihimbau untuk melaporkan perilaku "mencurigakan", dan diproduksi oleh media saat mendiskusikan tentang Islam dan Muslim. Itu semua adalah dampak dari Islamofobia, yang menyalahkan umat Islam padahal mereka sendiri adalah korban.
Oleh karena itu, kita tidak dapat meningkatkan kesadaran tentang Islamofobia tanpa meningkatkan kesadaran tentang sifat cacat inheren yang ada pada agenda anti-terorisme atau deradikalisasi. Munculnya istilah radikal, radikalisme, dan terorisme menjadi pemantik kehadiran proyek deradikalisasi ini. Dalam laman Wikipedia disebutkan bahwa deradikalisasi mengacu pada tindakan preventif kontra terorisme atau strategi untuk menetralisir paham-paham yang dianggap radikal dan membahayakan dengan cara pendekatan tanpa kekerasan. Tujuan dari deradikalisasi ini adalah untuk mengembalikan para aktor terlibat yang memiliki pemahaman radikal untuk ke jalan pemikiran yag lebih moderat (Pusbangdatin, Kemenkumham 2017).
Pasca slogan war on terorisme oleh George Bush, Amerika serikat di bawah pimpinan Donald Trump mengubah slogan tersebut mejadi war on radicalisme. Slogan ini menggambarkan upaya keras AS untuk menghilangkan tidak saja kelompok-kelompok tertentu yang dianggap sebagai teroris tetapi juga nilai-nilai ajaran Islam dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari slogan ini muncullah program deradikalisasi yang merambah ke seluruh negara. Paradigma yang dikeluarkan sama, yaitu memberantas kelompok dan ajaran-ajaran Islam yang ingin berjuang merebut kekuasaan dan menyebarluaskan ajaran Islam.
Dibuatlah upaya untuk menghalau pergerakan dakwah Islam politik. Istilah intoleran disematkan bagi mereka yang ingin memperjuangkan Islam ke seluruh sendi kehidupan. Mereka yang ingin taat pada syariat dan ajaran Islam dengan menutup aurat secara sempurna dituduh menganut paham radikalisme. Orang-orang Islam yang nyaring bersuara mengkritik kebijakan pemerintah yang pada faktanya semakin menyengsarakan rakyat juga diserang sebagai kelompok radikal.
Terkait isu terorisme, deradikalisasi dalam 10 tahun terakhir sudah menjadi ungkapan yang cukup populer. Secara bahasa deradikalisasi berasal dari kata "radikal" yang mendapat imbuhan “de” dan akhiran “sasi”. Radikal sendiri berasal dari kata “radix” yang dalam bahasa Latin artinya “akar”. Jika ada ungkapan “gerakan radikal” maka artinya gerakan yang mengakar atau mendasar, yang bisa berarti positif (untuk kepentingan dan tujuan baik) atau negatif. Dalam Kamus, kata radikal memiliki arti secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak (KBBI, ed-4, cet.I.2008).
Maka yang dimaksud “deradikalisasi” adalah langkah upaya untuk merubah sikap dan cara pandang diatas yang dianggap keras (dengan julukan lain; fundamentalis) menjadi lunak; toleran, pluralis, moderat dan liberal. Definisi radikal diatas sangat bias, persis seperti dunia barat menjelaskan konsep radikal secara simplistik, bahwa radikalisme banyak diasosiasikan dengan mereka yang berbeda pandangan secara ekstrim dengan dunia Barat. Hal ini sama biasnya terjadi ketika mendefinisikan “terorisme”. Sebuah labelisasi kepada kelompok atau individu muslim yang secara fisik atau non fisik mengancam kepentingan global imperialisme Barat. Ini indikasi yang cukup untuk menjelaskan bahwa proyek deradikalisasi dan kontra radikalisasi adalah bagian dari strategi WOT di mana arahan dan paradigma Barat (AS) menjadi basis implementasinya.
Sehingga yang harus dikritisi dari program deradikalisasi adalah pencitraburukan terhadap Islam. Semakin hari perang melawan terorisme dan radikalisme justru mengarah kepada pembungkaman terhadap dakwah Islam dan pengerdilan syariat-syariatnya salah satunya melalui penyesatan makna syari. Framing ini adalah upaya pecah belah dan dikhawatirkan berpotensi terjadi gesekan yaitu saling curiga, saling memata-matai, saling menuduh bahkan berpotensi terjadi pelanggaran HAM yaitu menindas, mempersekusi kelompok dakwah atau individu yang dituduh radikal dan ini sudah terjadi. Diduga ada skenario besar yang sedang dibangun oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan membangun framing atau narasi "bahaya radikalisme". Jika narasi/framing ini tidak dihentikan, akan sangat berbahaya atas kelangsungan dakwah di negeri ini. Padahal dakwah adalah jalan mewujudkan negeri ini menjadi negeri yang berkah dan bermartabat.
Meski sepertinya isu terorisme maupun radikalisme dimanfaatkan oleh AS untuk menguatkan Islam moderat, umat Islam harus memahami, bahwa target akhir perang melawan terorisme dan radikalisme adalah perang melawan Islam itu sendiri. Pasalnya, terorisme yang dimaksudkan oleh Amerika tidak lain adalah Islam—baik moderat atau radikal, dan tidak ada pengertian lain. Padahal semua istilah tersebut tidak dikenal dalam Islam. Baik istilah Islam moderat atau Islam radikal hanyalah ciptaan Barat penjajah demi kepentingan mereka: memecah-belah kaum Muslim. Islam moderat tidak lain adalah Islam yang bisa menerima semua unsur peradaban Barat seperti demokrasi, HAM, pluralisme, kebebasan, sekularisme dll. Islam moderat inilah yang dikehendaki Barat. Sebaliknya, Islam yang anti peradaban Barat akan langsung mereka cap sebagai Islam radikal.
Islam sangat mengecam tindakan terorisme. Aktivitas dakwah yang dilakukan dengan cara kekerasan berupa bom bunuh diri, penikaman, pembunuhan dan semacamnya tidak dicontohkan oleh Rasulullah. Jika kita menelusuri jejak sirah dakwah Rasulullah, akan ditemukan perbedaan mendasar fase dakwah beliau antara Mekah dan Madinah. Fase dakwah Rasulullah di Mekah adalah fase dakwah tanpa kekerasan. Bagaimanapun perlakuan kafir Quraisy terhadap Rasulullah, tidak pernah sekalipun beliau membalas secara fisik. Beliau hanya terus menyeru dengan lisan secara hikmah. Mengapa? Karena belum saatnya perlawanan fisik dimulai. Beda halnya ketika dakwah beliau sudah di Madinah dan telah berdiri Daulah Islam, maka perlawanan fisik pun dimulai. Bahkan dalam kisah pengusiran Bani Qainuqa, hanya karena seorang perempuan dilecehkan oleh orang Yahudi menyebabkan Rasulullah sebagai kepala negara memerintahkan untuk mengepung Bani Qainuqa selama 15 hari berturut-turut di tempat mereka sendiri.
Melihat kondisi sekarang dengan ketiadaan Daulah Khilafah maka perlawanan fisik tersebut tidak dibenarkan. Aktivis Islam yang kemudian melakukan tindakan bunuh diri dan sejenisnya sebagai bentuk jihad tidak dibenarkan dalam syariat. Kecuali jihad yang dilakukan oleh saudara-saudara kita di Timur Tengah yang secara langsung memang sudah diserang secara brutal. Maka wajib bagi mereka melakukan pertahanan dan perlawanan untuk menyelamatkan jiwa mereka. Istilah radikal seperti yang sudah disebutkan di awal jika disematkan pada perjuangan dan penerapan Islam tentu tidak salah. Karena penerapan Islam memang harus totalitas dan mengakar. Allah subhanahu wa ta'ala sendiri telah memerintahkan di dalam Alquran yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya Syaitan itu musuh yang nyata bagimu"
(TQS Al-Baqarah : 208)
Dalam tafsir Ibnu Kasir disebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta'ala memerintahkan kepada hamba-hamba Nya yang beriman kepada-Nya dan membenarkan Rasul-Nya, agar berpegang kepada seluruh tali Islam dan syariatnya, mengerjakan perintah-Nya, serta menjauhi semua larangan-Nya sekuat tenaga.
Tampaklah bahwa deradikalisasi justru mengajak umat phobia dengan ajaran Islam. Umat digiring mengaminkan wacana yang dikembangkan. Islam radikal diversuskan dengan Islam wasathan (Islam moderat). Padahal Islam moderat ini adalah produk dari barat yang memang membenci Islam. Indonesia dengan pluralitasnya dianggap tidak layak jika diatur dengan kehdiupan Islam. Hal ini akan mengintimidasi agama lain. Diangkatlah wacana bahwa semua agama sama. Muslim boleh mengunjungi tempat ibadah agama lain, demikian sebaliknya. Jihad diisukan sebagai tindakan kejahatan. Materi perang akan dihilangkan dalam materi pelajaran agama. Padahal kemenangan umat Islam, perjuangan dakwah Rasulullah justru ditopang dengan kekuatan perang yang dimiliki, 2/3 belahan dunia pernah dikuasai Islam pada masa Utsmaniyyah. Islam menjadi mercusuar peradaban dengan kegemilangannya pada masa Abbasiyyah. Salah satu kunci kesuksesannya adalah pada kekuatan militer dan perang yang dimiliki Daulah Islam pada masa tersebut.
Maka, wajar jika kemudian memunculkan kecurigaan bahwa deradikalisasi hanyalah program bayangan untuk menghapuskan Islam sejengkal demi sejengkal. Pada akhirnya simbol-simbol Islam menjadi momok yang menakutkan. Karena sudah terstigma bahwa orang yang radikal dan calon teroris itu yang berjenggot, jilbabnya besar, celananya cingkrang, sering ke mesjid, memperjuangkan khilafah dan lain sebagainya, diduga berpotensi terjadi kriminalisasi terhadap kelompok dakwah, pengemban dakwah, dan ajaran beserta simbol Islam. Hal ini menyebabkan umat menjauh dari Islam bahkan phobia terhadap keyakinannya sendiri. Wujud teror baru penguasa, menebar mata-mata di tengah umat Islam atas nama pencegahan radikalisme.
Karena itu seluruh komponen umat Islam tanpa harus dikotak-kotakkan oleh istilah moderat atau "radikal" buatan kafir penjajah, sejatinya harus bersatu dalam menghadapi isu radikal maupun derasikalisasi ini. Umat harus memiliki satu pandangan bahwa Islam bukanlah agama teror. Radikalisme dan terorisme tidak ada kaitannya dengan Islam. Umat harus bergerak melawan proyek deradikalisasi yang menyerang ajaran Islam juga menyesatkan makna syar'i. Ini adalah kewajiban kita sebagai Muslim untuk meluruskan pemikiran umat juga menjelaskan definisi sebenarnya dari isu-isu menyesatkan di atas. Umat Islam seluruhnya harus mulai menyadari bahwa untuk membebaskan diri dari semua fitnah yang diakibatkan oleh isu radikalisme yang dilancarkan Barat dan AS ini memang diperlukan sebuah institusi negara yang kuat dan bersifat global yaitu dibawah naungan Daulah Khilafah 'ala minhaj an nubuwwah.
Wallahu a'lam bi ash showwab.
Tags
Opini