Oleh: Elis Solihat
(Ibu Rumah Tangga)
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Tjahjo Kumolo mengatakan baru saja memberi sanksi disiplin berupa pencopotan jabatan atau non job terhadap aparatur sipil negara (ASN) yang mengunggah konten pro khilafah di media sosialnya. Tjahjo enggan menyebut rinci identitas sang Pegawai Negeri Sipil (PNS) tersebut. Namun Tjahjo memastikan orang tersebut bekerja sebagai ASN di Kantor Wilayah Kemenkumham Balikpapan. "Salah satu pegawai di Kanwil Kumham di Balikpapan. Saya minta pada Irjen untuk mengusut dan langsung dinonjobkan," kata Tjahjo saat ditemui usai Rakornas Simpul Strategis Pembumian Pancasila di Hotel Merlyn Park, Jakarta, Rabu (16/10). Dalam tangkapan layar yang ditunjukkan Tjahjo kepada awak media, ASN tersebut mengunggah kalimat "Era Kebangkitan Khilafah telah Tiba".
Sementara itu sekitar 31 ribu personel Polri dan TNI dikerahkan untuk mengamankan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo - Ma'ruf Amin pada Ahad, 20 Oktober 2019. Pengamanan acara itu dinilai berlebihan dan membuat masyarakat tak nyaman. Jumlah tersebut jauh meningkat ketimbang acara yang sama lima tahun lalu saat Jokowi ditasbihkan sebagai Presiden Indonesia untuk periode pertama bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Saat itu, jumlah aparat pengamanan yang dikerahkan kurang dari 25 ribu orang. Pengamanan yang lebih ketat tersebut, menurut Kepala Kepolisian Republk Indonesia Jenderal Tito Karnavian untuk mengantisipasi unjuk rasa yang kemungkinan akan terjadi saat acara pelantikan Jokowi - Ma'ruf Amin digelar. Pasalnya, menurut Tito, unjuk rasa yang terjadi belakangan ini kerap berakhir ricuh.
Fakta diatas menunjukkan bahwa pemerintah saat ini justru membuat masyarakat mengidap islamophobia. Bagaimana tidak, khilafah yang memang sejatinya ajaran islam, justru didiskreditkan dengan alasan memerangi paham islam radikal, dan mereka tidak segan-segan memberi sanksi pada orang yang pro terhadap khilafah. Selain itu rezim saat ini pun seolah-olah menutup diri dari kritik dan muhasabah rakyat. Faktanya dengan adanya pengamanan yang begitu ketat saat pelantikan Presiden dan Wakil Presiden kemarin serta larangan kepada masyarakat untuk melakukan unjuk rasa. Bukankah sejatinya demokrasi adalah kepemimpinan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat? Tapi mengapa pemerintah yang menjalankan seolah-olah tidak mau tau apa yang diinginkan rakyat? Malah menjalankan apa yang diinginkan para kapitalis pemilik modal? Jelaslah bahwa sistem Demokrasi nyatanya tidak pernah diterapkan sempurna. Bahkan dengan mudah dikesampingkan demi kepentingan pribadinya.
Muhasabah adalah salah satu cara yang diperlukan untuk mengevaluasi apakah yang kita lakukan sudah benar/tidak. Terlebih dalam bernegara, adanya muhasabah dari rakyat terhadap penguasa tentu sangat dibutuhkan. Kenapa? karena penguasa pun adalah manusia biasa yang tentu bisa melakukan kesalahan. Hal ini seperti yang pernah terjadi di masa Kekhilafahan Umar bin Khattab saat beliau membatasi besaran mahar yang harus ditetapkan oleh para wanita yang hendak menikah. Ada seorang perempuan yang bernama Syifa menyanggah aturan tersebut. Bahkan hal itu dilakukan di depan khalayak ramai. Apakah Umar bin Khattab marah? atau diam-diam menyuruh orang untuk menangkap dan melenyapkannya? Demi Allaah tidak! Khalifah Umar berkata : " Kamu benar dan saya salah!". Begitulah seharusnya sikap yang ditunjukkan oleh pemimpin berjiwa kesatria. Berani mengakui kesalahan jika memang salah. Dan ini terjadi ketika sistem islam diterapkan secara sempurna dalam bernegara. Tentu dalam bingkai khilafah yang dicontohkan nabi, pintu muhasabah kepada penguasa terbuka lebar, penguasa akan menghadapi dan menanggapi dengan serius apa yang diadukan dan dikeluhkan masyarakat. Bukan malah menutup diri dan melarikan diri seolah ingin lari dari tanggung jawab.
Wallaahu'alam.
Tags
Opini