Oleh: Nur Sumarno
Banyak kalangan yang memandang bahwa rezim pemerintahan sekarang semakin represif. Sejak pembubaran HTI karena khilafah dianggap bertentangan dengan NKRI dan intoleransi yang dianggap memiliki paham radikal, tampaknya pemerintah semakin masif dalam menghembuskan paham ini. Sasarannya semakin meluas. Tidak hanya ormas Islam saja yang di sasar, tapi juga merambah dunia kampus dalam hal ini dosen dan mahasiswa yang disertai ancaman akan dipecat serta dikeluarkan dari perguruan tinggi itu.
Peristiwa pencopotan Dandim Kendari beberapa waktu yang lalu mempertegas represifnya rezim sekarang. Meskipun yang dinilai melanggar UU ITE itu adalah istrinya. Kasus ini merembet hingga tercatat ada 7 perwira TNI lain yang dicopot akibat kasus yang sama. Dampak dari peristiwa itu juga berimbas pada ASN. Pemerintah akan membentuk tim pengawas medsos ASN seiring menguatnya dugaan banyaknya ASN terpapar radikal. Hal itu diperkuat dengan terbitnya Surat Edaran BKN kepada PPK tentang Pencegahan Potensi Gangguan Ketertiban dalam Pelaksanaan Tugas dan Fungsi PNS yang terbit Mei 2018 lalu, disebutkan bahwa menyebarluaskan pernyataan ujaran kebencian di media sosial bisa membuat ASN dihukum.
Kondisi di atas tampaknya, akan semakin terlihat jelas jika melihat target yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo ketika melantik 34 menteri dan 4 pejabat setingkat menteri. Target utama kerja kabinet yang diberi nama ‘ Kabinet Indonesia Maju’ adalah melawan radikalisme dan menggencarkan Islam Nusantara. Padahal selama ini yang disasar sebagai radikalisme adalah umat Islam bukan pihak-pihak lain yang jelas-jelas telah melakukan tindak kejahatan dengan melakukan pembantaian serta terang-terangan ingin melepaskan diri dari NKRI.
Mantan wakil DPR RI Fahri Hamzah dalam web pribadinya Fahrihamzah.com, Ahad (27/10) mengatakan bahwa isu radikal sengaja dicuatkan kembali. Isu ini telah terjebak menjadi industri. Hal itu digunakan para pejabat untuk menakut-nakuti bangsa ini dengan isu radikal yang dituduhkan kepada kelompok Islam ini sudah merusak banyak sekali modal sosial kita. Menurut Fahri, Kok bisa bangsa mayoritas Islam ditakut-takuti dengan ajaran Islam. Kemudian kita percaya bahwa radikalisme ada di mana-mana dan mengancam negara kesatuan. Ajaib. Contoh dari satu dua ceramah dari ribuan ceramah setiap hari di seluruh Indonesia di-copy dan dijadikan alat bukti (Suaramuslim.net). Pendapat Fahri dipertegas oleh pendapat Anggota Komisi Hukum dan HAM DPR RI M Nasir Djamil yang mengkhawatirkan bahwa memunculkan isu radikalisme secara berlebihan adalah upaya untuk menutupi kelemahan pemerintah dalam mengatasi sejumlah masalah yang kini membutuhkan perhatian yang serius yang kini tidak kunjung tuntas penyelesaiannya.
Tampaknya rezim pemerintah jilid dua ini menspesialisali anti radikalisme. Padahal radikal itu sendiri tidak jelas makna dan batasannya selain untuk memberangus aktivis perjuangan Islam. Hal itu dapat terlihat dari struktur kementerian yang dibentuk oleh presiden. Mendagri dan Men-PAN RB begitu represif dalam menangani radikalisme di periode pertama. Menteri pertahanan dan Menteri Agama berlatar belakang militer yang dua-duanya punya target memberantas radikalisme. Mendikbud-Dikti berasal dari milenial pluralis, seorang pengusaha berbasis aplikasi online berlevel decacorn. Bisa dipastikan pendidikan ini akan berorientasi pasar dan berkarakter pluralis. Yang mengkhawatirkan adalah jabatan setingkat menteri yaitu Kapolri baru, ternyata berlatar belakang satuan Densus 88. Masyarakat selama ini banyak mengaggab agenda-agenda melawan teroris hanya agenda pesanan.
Jika ditelaah, visi dan misi dalam rezim pemerintah jilid 2 ini adalah memberantas radikalisme. Alamat yang dituju sudah jelas yaitu kelompok atau individu yang berpaham khilafah, ISIS, dan HTI. Semua menteri harus mengikuti visi dan misi presiden dan wakil presiden. Ini menunjukkn kalau para menteri tidak boleh memiliki misi dan visi sendiri. Hal inilah yang menunjukkan ciri rezim diktator. Rakyat tidak boleh mengkritik pemerintah. Kalau itu dilakukan maka akan ditangkap tanpa klarifikasi ataupun proses peradilan yang transparan. Rakyat hanya boleh patuh dan tidak boleh melakukan protes.
Padahal di dalam Islam Hukum mengoreksi penguasa (muhasabah li al-hukkaam) adalah fardlu atas kaum Muslim. Benar, seorang penguasa wajib ditaati, meskipun mereka melakukan kedzaliman dan memangsa hak-hak rakyat. Akan tetapi, taat kepada penguasa lalim, bukan berarti meniadakan kewajiban melakukan koreksi atas diri mereka, atau bolehnya berdiam diri terhadap kemungkaran mereka. Allah swt telah mewajibkan kaum Muslim untuk mengoreksi penguasa, mencegah kemungkarannya, mengubah kelalimannya, dan menasehatinya, jika mereka mendzalimi hak-hak rakyatnya, menelantarkan kewajiban-kewajibannya, mengabaikan urusan rakyat, menyimpang dari syariat Islam, atau berhukum dengan aturan-aturan kufur. Imam Muslim telah meriwayatkan sebuah hadits dari Ummu Salamah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan ada pemimpin yang kalian ikuti dan kalian ingkari. Barangsiapa mengikutinya maka ia celaka, namun barangsiapa mengingkarinya ia selamat, akan tetapi barangsiapa ridlo dan mengikuti.” Para shahabat bertanya, “Tidakkah kami perangi mereka? Rasul menjawab, “Jangan! Selama mereka masih sholat.”[HR. Bukhari]
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan, bahwa mengingkari penguasa yang melakukan tindak kedzaliman dan kemaksiyatan adalah fardlu. Sedangkan berdiam diri dan ridla terhadap kedzaliman dan kemaksiyatan penguasa adalah dosa. Mengoreksi penguasa lalim serta mengubah kemungkarannya bisa dilakukan dengan lisan, tangan, dan hati. Seorang Muslim diperbolehkan mengoreksi penguasa dengan tangannya; akan tetapi ia tidak diperbolehkan mengangkat pedang, atau memeranginya dengan senjata. Seorang Muslim juga diperbolehkan mengingkari kelaliman penguasa dengan lisannya secara mutlak. Ia boleh mengeluarkan kritik baik tertulis maupun disampaikan secara terang-terangan. Ia juga boleh mengingkari kemungkaran penguasa dengan hatinya, yakni dengan cara tidak bergabung dalam kemaksiyatan yang dilakukan oleh penguasa, tidak menghadiri undangan penguasa yang di dalamnya terdapat aktivitas dosa, bid’ah, dan lain sebagainya.
Di samping itu, nash-nash yang berbicara tentang amar ma’ruf nahi ‘anil mungkar juga berlaku bagi kepala negara dan aparat-aparatnya. Sebab, nash-nash tersebut datang dalam bentuk umum, mencakup penguasa maupun rakyat jelata. Al-Quran telah menyatakan kewajiban ini di banyak tempat.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ“
Hendaknya ada di antara kalian, sekelompok umat yang mengajak kepada kebaikan, serta menyeru pada kemakrufan dan mencegah kepada kemungkaran.”[Ali Imron:104]
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّه“
Kalian adalah sebaik-baik umat yang dihadirkan untuk seluruh umat manusia, maka kalian harus menyeru kepada kemakrufan dan mencegah kepada kemungkaran.”[Ali Imron:110]
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Yaitu, orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan kemakrufan dan melarang mereka dari yang mungkar.”[Al-A’raf:157]
Dengan demikian semakin jelaslah bahwa sistem demokrasi telah menutup celah muhasabah kepada penguasa. Demokrasi yang oleh pendukungnya dielu-elukan sebagai penganut kebebasan salah satunya kebebasan berpendapat, tetapi kenyataannya hanya ilusi belaka saja. Hanya Islam, sistem yang membuka lebar celah muhasabah dengan standar yang jelas yaitu hukum syara’.