Demokrasi Menjamin Kebebasan Perpendapat, Benarkah?



Oleh: Mustika Lestari
(Mahasiswi UHO)

Demokrasi dan kebebasan sering diasumsikan sebagai dua hal dalam satu paket. Mendapatkan demokrasi, pasti mendapatkan pula kebebasan. Disisi lain, kebebasan hanya dapat diperoleh jika ada demokrasi. Namun, benarkan demikian?

Tiga personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapat sanksi hukum dan dicopot dari jabatannya. Para anggota ini mendapatkan hukuman disiplin karena ulah istrinya yang mengunggah konten di media sosial terkait kasus penusukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukan) Wiranto. Tidak tanggung-tanggung, suami-suami mereka dicopot dari jabatannya masing-masing ditambah penahanan selama 14 hari. Bukan hanya itu, TNI juga melaporkan istri tiga anggotanya ke polisi terkait konten negatif terkait penusukan Wiranto yang diunggah di media sosial.c 

Tiga anggota personel TNI yang mendapatkan sanksi adalah Kolonel HS yang menjabat sebagai Kodim Kendari, Sersan Dua Z dan Peltu YNS, anggota POMAU Lanud Muljono Surabaya. Sementara ketiga istri mereka, yakni IPDL, LZ, dan FS telah dilaporkan ke polisi karena dianggap melanggar UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE (http://amp.kontan.co.id, 12/10/2019).

Demokrasi, Menjamin Kebebasan Penguasa

Berbicara tentang demokrasi, tidak pernah terlepas dari hak-hak dan kebebasan yang dimiliki oleh rakyat. Dalam sistem demokrasi, adanya kebebasan tertentu bagi rakyat merupakan persyaratan mutlak berjalannya sistem demokrasi tersebut. Karena konon dengan kebebasan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi, salah satunya dapat menentukan pilihan dengan bebas mengenai siapa yang akan diberi kepercayaan untuk memegang jabatan maupun mencalonkan diri dalam pemilihan pejabat publik. Demokrasi memberi jaminan tentang kebebasan memilih maupun mencalonkan diri di dalam perebutan kursi pejabat negara.

Demokrasi yang menjamin kebebasan kepada seluruh rakyat ini, membawa pandangan positif tersendiri bagi rakyat itu. Harapannya, dengan kebebasan yang diberikan misalnya berpendapat, dapat membuat masyarakat secara leluasa mengemukakan pendapatnya, berpikir lebih kritis tanpa adanya batasan.
Faktanya, Indonesia sebagai negara demokrasi saat ini tidak menampakkan realisasi dari kebebasan tersebut. Pemerintah seolah lupa pada jati dirinya sebagai instrumen rakyat dalam mewujudkan apa yang dicita-citakan dalam hidup. Tidak hanya menampakkan langkah kerja yang lambat dan cenderung menambah penderitaan rakyat, tetapi sedikit demi sedikit kian berani membungkam aspirasi dan suara-suara rakyat, terutama kritik. Padahal, pemerintah dipilih oleh rakyat secara langsung. Logika sederhananya, berarti rakyat berhak meluruskan pemerintah yang dipilihnya ketika dinilai menyimpang, dengan jalan kritik.

Sayangnya, pemerintah tidak siap dikritik. Terbukti sudah, janji-janji pada masa kampanye, tuntutan rakyat yang dahulu dijanjikan akan direalisasikan, kini seolah dilupakan. Suara kritik rakyat dibungkam dan ditanggapi dengan nada emosional, cenderung memperlihatkan pembelaan diri. Tak dapat dipungkiri, demokrasi di Indonesia saat ini dalam hal kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sedang mengalami penurunan akibat adanya upaya represif atau ancaman dari pihak/rezim yang menghambat kebebasan berpendapat. 

Beberapa waktu lalu, presiden Joko Widodo menyikapi gelombang demonstrasi mahasiswa yang terjadi di hampir seluruh kota besar di Indonesia secara refresif. Jokowi menegaskan komitmennya terhadap demokrasi dan kebebasan berpendapat. Namun, belum sampai sehari, dua jurnalis sekaligus aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang lantang menyuarakan ketidakadilan ditangkap polisi, keduanya adalah Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu. Polisi menuduh Dandhy menyebarkan kebencian berbau suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Sementara, Ananda ditangkap karena menstransfer sejumlah dana ke mahasiswa sebelum demonstrasi besar terjadi. Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid menilai pemerintah tidak konsisten. (https://m.liputan6.com, 28/9/2019)

Nampaknya, ada yang salah dengan eksistensi penguatan negara saat ini, dimana kritik seharusnya menjadi masukan positif bagi penguasa, malah berbalik arah menjadi sesuatu yang dianggap berbahaya bagi keberlangsungan sebuah negara. Belakangan ini, banyak produk Undang-Undang yang lahir mengarah kepada nuansa anti kritik, sehingga mengganggu penguatan ke arah demokratisasi. Lahirnya UU ITE, Perpu Ormas atau UU politik lain memperlihatkan kepada kita bahwa saat ini banyak produk hukum yang diciptakan guna mengekang negeri ini. Produk hukum ini menjerat mereka yang kritis terhadap rezim, bahkan tanpa harus menunggu proses hukum, mereka ditangkap dan dipenjarakan. Terlihat jelas bahwa meski demokrasi konon menjamin kebebasan, nampaknya perjalanannya bersikap otoritarinisme yang secara terang-terangan memberangus kebebasan, khususnya menyuarakan pendapat.

Plato, mengatakan citra negara dalam demokrasi benar-benar rusak akibat demokrasi yang mendewakan kebebasan individu berlebihan, sehingga membawa bencana bagi negara yakni anarki memunculkan tirani. Sistem demokrasi dengan slogannya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, malah berbalik arah mendukung kediktatoran, menjamin kebebasan pihak individu maupun kelompok yang berkepentingan. Dengan kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya secara bebas menekan rakyat, kewenangan yang dimiliki cenderung diimplementasikan sesuka hati, mengabaikan masukan dari rakyat. 

Adanya rezim anti kritik akan melahirkan tirani-tirani baru kedepannya, akibat kekuatan hukum yang ada ditangan mereka yang diberlakukan kepada rakyat yang lemah dan tak punya kekuatan politik apapun. Tirani ini membelenggu rakyat dalam penjara-penjara demokrasi yang hampir tidak ada harapan untuk jaminan kebebasan apapun. Hal ini membuktikan kepada kita bahwa kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi adalah omong kosong.

Apa yang disebut dengan sistem demokrasi, dengan segala nilai-nilai yang dianggap baik oleh pengikutnya, tentunya sangat penting dikritisi, baik dalam tatanan konsep maupun realita praktiknya dalam sistem pemerintahan. Diharapkan muncul kesadaran baru bagi masyarakat untuk berhenti bermimpi dengan harapan-harapan palsu yang ditawarkan sistem ini. Lebih penting lagi, dapat terhindar dari murka Allah SWT. Sebab, ketika berpegang dengan demokrasi yang intinya kedaulatan di tangan rakyat, berarti telah menjadikan tuhan baru sebagai tandingan bagi Allah SWT, yakni suara rakyat suara Tuhan.

Pemerintahan Islam, Bukan Sistem anti Kritik 

Melihat sistem demokrasi yang secara nyata membatasi peran rakyat (kritik) terhadap penguasa, tentu berbeda halnya ketika sistem Islam diterapkan dalam kehidupan manusia. Rakyat boleh mengkritik penguasa, yang ditujukan langsung kepada Khalifah yang memimpin, sehingga penguasa dapat memperbaiki kekeliruannya dalam memimpin.

Salah satu hadits yang mendorong untuk mengoreksi penguasa, menasehati mereka adalah hadits dari Tamim al-Dari ra. bahwa nabi Muhammad SAW bersabda: “Agama itu adalah nasihat.” Para sahabat bertanya:” Untuk siapa?” Nabi SAW bersabda:” Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin dan kaum Muslimin pada umumnya,” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim).

Islam diturunkan Allah SWT untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia secara individual dan masyarakat. Begitupula dengan hukum-hukumnya. Hukum Islam tidak membedakan keadaan sosial masyarakatnya ataupun kedudukannya. Perkara dan persengketaan di tengah masyarakat dihukumi sesuai Syariat Islam. 

Potret Khalifah yang tidak anti kritik adalah salah satunya Umar bin Khattab. Kala itu, salah satu kebijakan Umar bin Khattab adalah membatasi Mahar Nikah. Umar membatasi mahar tidak boleh lebih dari 12 uqiyah atau setara 50 dirham. 

“Sesungguhnya kalau ada seseorang yang memberikan atau diberi mahar lebih banyak dari mahar yang diberikan Rasulullah SAW, pastilah aku ambil kelebihannya untuk Baitul Mal,” ujar Umar. 

Seketika ada seorang wanita yang langsung menyanggah pernyataan Umar. “Wahai Amirul Mukminin, apakah yang wajib kita ikuti itu Kitab Allah ataukah ucapanmu?” Dengan penuh keberanian wanita itu melontarkan pertanyaan kepada Khalifah Umar yang baru selesai berbicara.

Muslimah pemberani itupun kemudian mengutip ayat Allah, “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri orang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dustadan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (Q.S. An-Nisa: 20).

Khalifah Umar menyadari kekhilafannya, kemudian dengan tanpa merasa malu, ia membenarkan ucapan wanita itu dan mengakui kesalahannya. “Wanita ini benar dan Umar salah,” ucapnya di depan banyak orang.
Begitulah sosok Khalifah Umar, yang tidak alergi dengan kritik walaupun kritik itu disampaikan dihadapan khalayak ramai, melainkan hal yang beliau takuti adalah manakala tak ada yang berani mengingatkannya. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat termasuk dirinya, Khalifah Umar bin Khattab di awal pemerintahannya mengatakan: “Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang.”

Keluhuran dan kenegarawanan kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab ini patut diteladani oleh pemimpin kita hari ini. Bahwa kritik itu bukan menjadi problema, tetapi sebagai penjaga atau pengontrol agar kekuasaan tidak tumbuh mencakar langit. 

Muhasabah terhadap penguasa merupakan bagian dari syariah Islam yang agung. Dengan muhasabah, tegaknya Islam dalam negara akan terjaga. Ketika Islam tegak, pasti akan berdampak pada kebaikan sebuah negeri. Wallahu a’lam bi shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak