Oleh:Andriyani (MahasiswaUnhalu)
Dana desa kembali menjadi sorotan berita belakangan ini.Bagaimana tidak,ada beberapa daerah yang terlibat dalam penyaluran dana desa fiktif alias ‘dana siluman’. Dimana anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk desa, tetapi penerima dana tidak tercatat selaku penerima bantuan dana desa. Salah satu alasan tidak diterimanya dana desa, misalnya saja korban bencana alam atau desa tak berpenduduk.
Dalam pengelolaan seharusnya hal yang semacam ini tidak terjadi, mengingat kucuran aliran dana desa sudah dimulai di tahun 2015 silam, sebagaimana yang dilansir (www.merdeka.com 7/11/19) Ekonomi Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengunggkapkan bahwa desa fiktif atau desa yang tidak berpenduduk yang menerima manfaat dana desa, ini diakibatkan dari verifikasi tidak benar pada penerimaan dana yang dilakukan pemerintah, bahkan pengaturan kembali dalam mekanisme penyaluran dana menjadi hal yang diperuntukkan dalam pembentukan desa kedepannya.
Seperti yang dilansir www.katadata.com (14/11/19) pada tahun ini pemerintah menargetkan akan menggelontorkan dana desa sebesar Rp70 triliun, dan menjadi Rp72 triliun untuk 2020. Disepanjang Januari-Sebtember 2019, sudah terealisasi penyaluran dana desa mencapai Rp 42,2 triliun atau 60,29% dari target. Seiring besarnya jumlah dana desa yang dikeluarkan, Mentri Keuangan Sri Muliyani menghimbau kepada pihaknya agar berhati-hati terkait masalah penyaluran dana desa, mengigatada 74.957 desa yang akan mendapatkan guyuran dana dari pemerintah pusat.
PotretPemeliharaan DalamRezimSekuler
Penyaluran dana desa yang seharusnya tepat sasaran, malah digelontorkan ditempat lain bahkan ada desa yang sama sekali tidak menerima bantuan dari pemerintah. Ada beberapa faktor mengapa munculnya dana-dana desa fiktif ini. Pertama, lemahnya pengawasan penyaluran dana desa yang berhak menerima guyuran dana dari pihak pengelolaan birokrasi atau kepegawaian pemerintah. Kedua, ada keterlibatan pejabat daerah dalam penyaluran dana desa, aliran dananya msuk ke kantong pribadi. Kemudian pengawasan pemerintah pusat yang seharusnya menjadi tameng dalam menyisir dan tepat sasaran malah terkesan abai bahkan cenderung menyepelekan dana desa yang digunakan untuk pembangunan desa malah harus berujung dikorupsi oleh segelintir elit pejabat daerah.
Penyaluran dana desa ini tidak serta merta disalurkan begitu saja, namun harus berasal dari pencatatan pusat birokrasi kemudian didinas provinsi dan disalurkan ke daerah setempat. Maka sepantasnya pemerintah harus jeli dalam menyalurkan dana desa utamanya data keuangan negara untuk daerah. Hal ini membuktikan bahwa lemahnya pengawasan penyaluran dana desa yang terkesan serampangan bahkan abai. Bagaimana tidak pemerintah yang menjadi fasilitas negara malah terlihat asing dimata masyarakat, terlihat secara jelas potret rezim hari ini begitu sekuler menciptakan pejabat-pejabat daerah yang mementingkan kepentingan kelompoknya sendiri diatas kepentingan negara dan masyarakat. Sehingga lahirlah pejabat negara yang tak takut korupsi demi mencapai kepuasan lahiriah tanpa memperdulikan dampak dan kerugian bagi rakyat.
DiKonawe sendiri ada 53 desa yang tidak memenuhi syarat dan 3 desa siluman alias fiktif, ada dugaan penyelewengan dana desa. Desa fiktif diKonawe desa Ulu Meraka di Kecamatan Lambuya, desa Uepai di Kecamatan Ueipai, dan desa Morehe di kecamatan Uepai. Diketahui desa tersebut tidak memiliki penduduk, tidak memiliki struktur organisasi desa, kepala desa, dan wilayah. Padahal menerima dana desa sudah diimplementasikan sejak tahun 2015 untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan desa dan setiap tahunnya alokasi dana desa selalu meningkat misalnya saja ditahun 2019 alokasi dana desa sebesar Rp 934 juta/desa. KPK dan Kepolisian sudah melakukan penulusuran untuk mengatasai masalah ini, diketahui ada dugaan kuat penyelewengan dana desa pada kelompok tertentu dalam penyaluran dana desa.
Gambaran penyaluran dana desa fiktif yang konotasinya desa yang tak berpenghuni membuktikan bahwa praktik korupsi terjadi secara struktural. Di dalam negeri ini masih mudah dijalankan oleh sekelompok elit pejabat daerah terkhusus dalam pusat pemerintahan. Aliran dana yang masuk dikantong pribadi memperkuat lemahnya pengawasan kementrian dalam negeri pada tatanan birokrasi pemerintah. Ditambah dengan kebijakan pemerintah yang memisahan agama dari kehidupan. Di dalam kehidupan sekuler mencetak pejabat negara yang lemah dalam sisi ketakwaan dan miskin ilmu dan tsaqofah Islam, maka tak heran akan menjamur para pelaku korupsi, secara aktif dan terstruktur.
Islam SolusiTuntas
Islam yang diturunka nmelalui perantara Rasulullah SAW mengajarkan pada manusia berbagai hal, semuanya sudah diatur dalam ketentuan syariah, termasuk masalah penyaluran dana untuk desa. Islam telah mengatur mekanisme pengaturan kepemilikan yang harus dikeluarkan untuk negara, individu, dan masyarakat. Maka penyaluran dana desa adalah tergolong pada mekanisme kepemilikan masyarakat. Khalifah memberikan pengawasan penyaluran dana desa oleh para pejabat-pejabat daerah. Islam juga mengatur penyaluran dana desa secara sistematik dengan mekanisme berdasarkan syariah Islam. Sehingga dalam penyaluran bantuan dana desa dengan syarat memenuhi persyaratan sesuai syariat Islam, yaitu dengan pemerataan bantuan dana desa baik di kota maupun di desa. Dana disalurkan dari badan baitul mal agar tepat sasaran demi kesejahteraan desa setempat. Contohnya bantuan yang berhubungan dengan desa misalnya infrastruktur desa akan disaluran disetiap desa yang berhak menerimanya, sehingga penyaluran dana akan tersalurkan dengan baik, ditambah juga pekerja dibidang birokrasi yang amanah dan jujur akan menjalankan tugasnya sesuai dengan syariah Islam. Hingga tak ada yang kebobolan bermain curang bahkan tidak akan terjadi korupsi pada penyaluran dana desa.
Hal ini pernah dicontohkan dimasa kekhalifahan Ja’far bin al –Manshur yang berangkat haji dari Baghdad ke tanah suci dengan menyertakan rombongan, seorang ulama berdiri dan menasihatinya seraya mempertanyakan dana yang digunakan khalifah untuk memberangkatkan dirinya dan rombongan ke tanah suci. Ulama itu adalah Sufyan as-Tsauri (Ibnu Qutaibah -ad-Dainuri, al imamah wa as-Siyasah).
Sehingga untuk menghasilkan tatanan birokrasi yang bersih dari korupsi dan campur tangan pejabat gelap yang rakus, maka diperlukan juga sistem pemerintahan yang baik. Sistem yang baik itu dibangun dari tiga aspek yang pertama, ketakwaan individu, baik pada pejabat negara maupun masyarakat. Kedua, control masyarakat, kelompok, partai politik dan siapa pun yang melakukan pelanggaran hokum dalam negara. Ketiga, penegakan hokum oleh negara yang adil dan tegas. Jika ketiga aspek ini dijalankan akan tercipta negara yang bebas dari korupsi dan tatanan birokrasi bersih. Pejabat negara akan bekerja sesuai fungsi dan tugasnya. Namun semua ini terlaksana secara sempurna jika Islam diterapkan secara total dan menyeluruh dalam aspek kehidupan.
Walahua’lambishawab