Dalam Islam Bolehkah Wanita Jadi Pemimpin Kebijakan??




Oleh: Sunti

Pada tanggal 17 April 2019 Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan umum serentak guna menentukan siapa presiden terpilih, partai pemenang dan siapa anggota DPR pusat maupun daerah yang terpilih. Setelah KPU melakukan perhitungan terpilihlah pasangan Jokowi dan Makruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden, PDI sebagai partai pemenang dan 575 anggota DPR yang terpilih. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyatakan bahwa penentuan Pimpinan DPR dan MPR untuk periode 2019-2024 mengacu pada perolehan suara Pemilu 2019. Partai politik yang memenangkan pemilu secara otomatis akan menjadi pimpinan dengan cara mengajukan nama anggotanya. Dan menurut berita yang dilansir JawaPos.com tanggal 1 Oktober 2019, Puan Maharani resmi ditetapkan sebagai Ketua DPR RI periode 2019-2024. Dia mendapat posisi jabatan itu, setelah ditunjuk oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selaku pemenang Pemilu 2019. Terpilihnya Puan sebagai Ketua DPR sekaligus mengukir sejarah seorang perempuan untuk pertama kalinya berhasil menduduki kursi teratas di legislatif sejak kemerdekaan Indonesia pada 1945.
Sebagai masyarakat kita bisa melihat bagaimana jejak pemimpin-pemimpin perempuan di negeri ini. Kepemimpinan mereka belum memberikan hasil yang memuaskan untuk masyarakat. Misalnya Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pernah melontarkan kata-kata yang menyakiti hati rakyat miskin yaitu rakyat miskin diminta untuk diet dan tidak makan terlalu banyak. Menteri Ekonomi apalagi kebijakannya cenderung menyusahkan rakyat, pajak semakin naik dan hutang indonesia semakin menumpuk. Tak ketinggalan Menteri Kesehatan, kebijakan-kebijakannya tentang kesehatan terutama bpjs membuat rakyat semakin kecewa, iuran dinaikkan tetapi tidak diimbangi dengan kwalitas pelayanan. Beberapa contoh pemimpin wanita ini bisa memberikan gambaran bahwa layakkah seorang wanita menjadi pemimpin yang akan mengambil kebijakan untuk masyarakat? 
Di dalam islam sendiri tentang kepemimpinan perempuan sudah diatur. Tidak diperbolehkan suatu negara kepimpinannya diserahkan kepada perempuan. Dahulu, tatkala ada berita sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra (gelar raja Persia dahulu) menjadi raja, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, ” Suatu kaum itu tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. ” (HR. Bukhari no. 4425). Para ulama sepakat bahwa wanita tidak boleh jadi pemimpin dan juga hakim. Alasannya, karena pemimpin harus memimpin jihad. Begitu juga seorang pemimpin negara haruslah menyelesaikan urusan kaum muslimin. Seorang hakim haruslah bisa menyelesaikan sengketa. Sedangkan wanita adalah aurat, tidak diperkenankan berhias (apabila keluar rumah). Wanita itu lemah, sehingga tidak akan mampu menyelesaikan setiap urusan yang dibebankan kepadanya. Kepemimpinan dan masalah memutuskan suatu perkara adalah tanggung jawab yang begitu urgent. Oleh karena itu yang menyelesaikannya adalah orang yang tidak memiliki kekurangan (seperti wanita) yaitu kaum pria-lah yang pantas menyelesaikannya.”
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam juga pernah bersabda "tidaklah aku pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya sehingga dapat menggoyangkan laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian wahai wanita.” Lalu ada yang menanyakan kepada Rasulullah, ”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud kurang akalnya?” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun menjawab, ”Bukankah persaksian dua wanita sama dengan satu pria?” Ada yang menanyakan lagi, ”Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kurang agamanya? ” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pun menjawab, ”Bukankah ketika seorang wanita mengalami haidh, dia tidak dapat melaksanakan shalat dan tidak dapat berpuasa?” (HR. Bukhari dan Muslim). Jadi, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kurang akalnya adalah dari sisi penjagaan dirinya dan persaksian tidak bisa sendirian, harus bersama wanita lainnya. Inilah kekurangannya, seringkali wanita itu lupa. Akhirnya dia pun sering menambah-nambah dan mengurang-ngurangi dalam persaksiannya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman, "Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.” (QS. Al Baqarah: 282). Dan yang dimaksud dengan kurangnya agama adalah ketika wanita tersebut dalam kondisi haidh dan nifas, dia pun meninggalkan shalat dan puasa, juga dia tidak mengqodho shalatnya. Inilah yang dimaksud kurang agamanya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 4/292).
Wanita juga mengalami haidh, hamil, melahirkan, dan menyusui. Allah Ta’ala berfirman, “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath Tholaq : 4). Jika datang waktu seperti ini, maka di mana tanggung jawab wanita sebagai pemimpin?
Wanita pun mudah putus asa dan tidak sabar. Kita telah menyaksikan pada saat kematian dan datangnya musibah, seringnya para wanita melakukan perbuatan yang terlarang dan melampaui batas seperti menampar pipi, memecah barang-barang, dan membanting badan. Padahal seorang pemimpin haruslah memiliki sifat sabar dan tabah.
Inilah ketentuan di dalam Islam. Tentunya bila dilaksanakan, kebaikan dan kejayaan akan diraih kaum muslimin sebagaimana yang pernah dialami para Rasul, para sahabatnya, dan generasi sesudahnya. Tetapi jika peraturan ini dilanggar, jangan berharap perdamaian di dunia apalagi kenikmatan di akhirat. Tetapi lihatlah perzinaan dan fitnah wanita serta kehancuran aqidah, ibadah, akhlaq, dan ekonomi yang ini tidak bisa kita tutupi lagi, belum lagi besok di alam kubur, belum lagi di alam akhirat.
Saatnyalah kita kembali kepada aturan islam, yang mana aturan-aturan itu berasal dari Sang Pencipta manusia dan seluruh alam, sehingga pastilah aturan itu membawa kebaikan bagi semua. Ya Allah, tunjukilah kami (dengan izin-Mu) pada kebenaran dari apa-apa yang kami perselisihkan di dalamnya. Sesungguhnya Engkaulah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus. Aamiin.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak