Oleh: Arin RM, S. Si
Setiap yang jatuh cinta pasti pernah merasakan gejolak rasa mengutamakan yang dicintai di atas segalanya. Dinomor satukan sebelum yang lainnya. Dipikirkan lebih lama, hingga diperturut segala kemauannya dan dipenuhi apapun yang menjadi pintanya.
Iya, memang begitulah cinta. Dia akan meminta segalanya, harta, tenaga, bahkan waktu yang kita punya. Semua yang kita korbankan demi yang dicinta adalah bukti bahwa cinta tak cukup dilisankan, tak sekedar didendangkan, tak sekedar didokumentasikan, atau bahkan tak sekedar dideklarasikan secara berkala. Cinta menuntut lebih dari itu, meminta pembuktian sebagai wujud kesungguhan akan cinta yang sedang dirasakan.
Beruntungnya Islam tidak melepas bebaskan cinta sembarangan. Islam menyandingkan iman dan cinta agar berjalan beriringan saling menyelamatkan. Agar tak menjerumuskan pada cinta buta yang berujung penyesalan. Oleh karenanya, Islam mengatur prioritas cinta berbasis urutan iman, semata-mata dalam menjaga fitrah cinta ditumbuhkan dengan benar.
Allah melukiskan betapa besarnya kecintaan orang beriman kepada-Nya dalam Firman-Nya “Orang-orang yang beriman sangat mendalam cintanya kepada Allah.”. (TQS Al-Baqarah: 165). Kata “Asyaddu” (sangat mendalam) menjadi bukti adanya tingkatan cinta dalam hati muslim. Artinya, ada cinta yang lebih tinggi dan kemudian ada lagi yang lebih tinggi.
Bagi muslim, setelah mendudukkan cinta tertinggi nya kepada Allah, maka sesudahnya adalah kepada Rasulullah, sebagaimana sabdanya: "Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah beriman dengan sempurna di antara kalian, hingga aku lebih ia cintai daripada ayahnya, anaknya, dan seluruh manusia”. (HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan hadis itu dengan berkata: "...Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, 'Di antara bentuk kecintaan kepada Nabi SAW adalah menolong sunnahnya, dan membela syariatnya, dan menginginkan kehadiran kehidupan beliau SAW, hingga ia mencurahkan segala harta dan jiwanya untuk membela Rasulullah SAW”. (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz 2/15-16).
Dengan demikian, atas bimbingan iman seorang muslim lazim apabila mencurahkan cintanya kepada Allah dan Rasulullah pada level tertingginya. Lazim pula jika kemudian membuktikan cintanya dengan menyibukkan diri mematuhi segala aturan Allah berupa risalah yang dibawa oleh Rasulullah, yakni Islam dan syariahnya.
Atas nama cinta, tak akan rela bila syariah dihinakan. Sebab keinginan utamanya tentu menirukan persis kegigihan Rasulullah menerapkan syariah secara keseluruhan. Tak ada ruang baginya untuk disibukkan dengan sekularisme dan segala topengnya. Cintanya pada Islam yang dibawa Rasulullah kekasih hati akan menjadikannya benci terhadap apapun yang akan menjadi tandingan syariah.
Terlebih bila tandingan itu nyata-nyata mengusik ketinggian syariah. Nyata-nyata memecah belah kesatuan umat dengan tudingan negatif yang sengaja dialamatkan pada Islam dan penganutnya. Dan nyata-nyata membidik generasi umat agar teralih cintanya kepada cinta dunia. Dari yang semula gemar mengaji jadi sekedar gemar happy-happy, dari cinta Alquran jadi tak peduli dan bahkan tak menjalankan aturan di dalamnya.
Oleh karenanya, pembelaan terhadap syariah tetap akan terus menyala. Bukan saja dari penistaan, tetapi juga membela dari upaya pembungkaman syiar syariah. Dan bagi yang men-cinta, menjaga dan memastikan eksistensi syariah adalah bukti nyata. Tak heran meski dipandang aneh, tetaplah syariah yang dipraktikkan, sebab itulah yang dulu diperjuangkan Rasulullah, diikuti para shahabat dan salafus sholih sepeninggalnya.
Cinta pada Allah dan Rasullullah akan menjadikan poros aktivitas muslim diselaraskan dengan syariah. Keseriusan penyelarasan ini yang kelak akan menjadi bukti akan cintanya kita kepada Rasulullah. Yang dengannya semoga Allah perkenankan di surga bersama kekasih hati. Sebab beliau telah bersabda: "Al Mar'u ma'a man ahabba." Artinya, setiap orang akan dikumpulkan pada Hari Kiamat bersama orang-orang yang dicintainya (HR Bukhari dan Muslim).