Cinta Nabi Butuh Bukti



Suka cita selalu menyelimuti perayaan kelahiran utusan terakhir, Rasulullah SAW  yang jatuh pada 12 Rabiul Awal. Tak hanya shalawat yang banyak dikumandangkan, masjid masjid dipenuhi hajatan dengan ragam tradisi yang dibawa. Bahkan paman beliau Abu Lahab pun turut menyongsongnya dengan gempita luar biasa - meski akhirnya ia berbalik menjadi penentang utama. 

Hanya saja, sebagaimana iman yang tak cukup melekat di hati, namun harus terlafalkan lisan dan berimplikasi pada perbuatan, maka esensi cinta dengan sebenar benar cinta pun demikian. Terlebih jika yang dicinta adalah sang junjungan yang begitu dirindu ingin diperjumpakan pasca hari ketetapan. Yang dengan izin Allah, diharap syafaatnya di Padang Mahsyar.

Sayang, banyak manusia mengekspresikan cinta kepada Rasul sebatas pada kata tanpa makna dan tindakan nyata. Sehingga yang jamak terjadi adalah pengabaian atas sebagian besar syariat yang dibawa olehnya. Dan ironisnya fakta inilah yang sedang terjadi di negeri ini.

Jika fitrah dalam mencintai adalah meniru/taat pada apa yang dicinta, maka yang dilakukan kaum muslim Indonesia justru sebaliknya. Mereka terpekur pada cinta yang semu dan sibuk menjadikan syariat sebagai hidangan prasmanan. Mencomot apa yang disukai dan mengabaikan yang tak mendatangkan keuntungan. Bahkan, mereka tak segan meramu sendiri syari'at yang sudah sempurna untuk disesuaikan dengan kondisi yang ada. Sehingga bukan lagi hal tabu lagi jika mereka berani menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Yang membuat kondisi miris, semua kalangan sudah merasa baik baik saja dengan aplikasi cinta yang semacam ini. Dari level individu dan masyarakat, mereka mencukupkan diri dengan memperbaiki kualitas ibadah hingga abai pada problem serius yang tengah dihadapi saudaranya di luaran sana. Sementara pada level penguasa, mereka justru dibuat nyaman dengan letak jabatan yang ada di genggaman. Sehingga wajib kiranya bagi siapapun yang bergabung untuk dilibatkan dalam upaya pengukuhan hegemoni politik. Apapun caranya. Termasuk mencampakkan dan menolak hukum hukum yang lahir dari rahim Islam yang disinyalir mengganggu kerakusan mereka.

Tak hanya penolakan, permusuhan pun semakin nyata ditampakkan. Banyaknya kasus pembubaran kajian, penangkapan figur yang getol suarakan kebenaran hingga penggiringan opini jahat bahwa Islam erat kaitannya dengan tindakan radikalisme dan terorisme adalah sederet hal yang tak segan dilakukan. Bahkan bahasan khilafah yang sejatinya menawarkan perubahan hakiki ke arah perbaikan pun semakin marak dimonsterisasi. Dianggap sebagai  wabah yang mengancam kedaulatan negara.

Padahal di balik semua agenda tersebut, para kapital dan kaum pembenci tengah berpesta-pora menyambut benturan sesama umat Islam hingga melupakan ancaman besar yang ada di depan mata. Yakni sekulerisme yang menganakpinakkan kapitalisme, liberalisme (kebebasan), pluralisme dan isme isme lainnya.

Oleh sebab itu, sesegera mungkin umat ini harus belajar mencintai Rasul-Nya dengan benar hingga lahir padanya ketaatan. Baik terhadap akidah maupun syariah yang dibawa oleh beliau. Kecintaan yang menimbulkan kegelisahan tatkala dipaksa hidup dalam jerat jerat sekulersime. Dan kegelisahan yang kemudian mendongkrak kesungguhan diri untuk memperjuangkan tegaknya hukum hukum Allah demi sempurnanya iman islam.

Karena hakikatnya, "... tidak beriman seseorang hingga mereka menjadikan Rasulullah sebagai hakim atas perkara yang mereka perselisihkan..." 

&&&&

Maya A / Gresik


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak