Oleh: Tri Setiawati, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Bulan Rabiul Awal merupakan bulan lahirnya baginda Rasulullah saw. bulan ini merupakan momen besar kelahiran seorang yang agung, yang telah membawa pelita di tengah kegelapan jahiliyah. Tepat pada 12 Rabiul Awal Tahun Gajah, Rasulullah dilahirkan di kota Mekkah al Mukarramah. Banyak peristiwa menakjubkan yang terjadi ketika Rasulullah saw. dilahirkan dan tercatat apik dalam periwayatan sejarah.
Hal ini menunjukkan bahwa kelahiran Muhammad saw. merupakan kelahiran seorang insan yang istimewa dan membawa pengaruh besar bagi peradaban dunia. Sungguh kelahiran dan diutusnya beliau adalah rahmat bagi alam semesta, Allah swt. berfirman,”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (TQS. Al Anbiya: 107).
Diakui atau tidak, banyak orang yang mengaku sebagai umatnya Nabi Muhammad Saw., akan tetapi mereka kerap dengan sengaja meninggalkan ajaran-ajarannya. Begitu pula, banyak orang yang mengaku mencintai Nabi Muhammad Saw., namun mereka masih sering melakukan hal-hal yang tak dicintainya.
Sejarah telah mencatat, bahwa kecintaan Nabi Muhammad kepada seluruh umatnya begitu besar. Bahkan ketika sedang dalam kondisi sakaratul maut, beliau masih ingat kepada umatnya dan memohon kepada Allah agar sakitnya sakaratul maut umatnya ditimpakan saja kepada beliau. Selain itu, beliau juga memohon agar umatnya senantiasa mendapat perlindungan Allah Swt. Betapa cinta yang dirasakan beliau kepada para umatnya begitu besar, hingga menimbulkan sebuah pertanyaan; sanggupkah kita mencintai Rasulullah seperti beliau mencintai kita? (hal 17-19).
Rasulullah adalah sosok yang sangat lembut, bahkan terhadap non-muslim sekali pun. Tetapi kita justru sering kali bersikap keras, bahkan terhadap sesama kita, orang muslim. Beliau adalah orang yang senantiasa memudahkan sesuatu hingga tercatat ucapan dari bibir beliau, “agama itu mudah”. Tetapi kita, bahkan terhadap diri sendiri, sering kali mempersulit diri untuk beragama. Kita kerap membuat sesuatu yang sulit menjadi terasa sulit dan membuat yang mudah jadi terasa begitu sulit.
Rasulullah adalah sosok yang gemar berbagi dengan orang lain, bahkan dengan umat lain sekali pun. Akan tetapi, coba lihat diri kita, bahkan kepada tetangga terdekat sekalipun kita kerap acuh tak acuh, enggan untuk berbagi kebahagiaan, merasa iri saat melihat orang lain mendapat nikmat-Nya, bahkan tak jarang bermusuhan dengan mereka hanya gara-gara masalah yang sangat sepele.
Islam menempatkan akhlak sebagai ukuran kesempurnaan beragama. Seorang muslim yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, harus berusaha menunjukkan kemuliaan akhlak. Di mana pun tempatnya; di rumah, di jalan, kantor, kampus, saat tengah berkendara, kemuliaan akhlak seyogianya menjadi hal prioritas.
Akhlak mulia, kedermawanan, dan senang berbagi merupakan perbuatan yang selalu dikerjakan oleh Rasulullah Saw. Hal ini sontak menimbulkan sebuah pertanyaan; lantas, jika kita mengaku sebagai umat yang mencintai Rasulullah, sudahkah kita mengerjakan segala apa yang ia cintai dalam kehidupan sehari-hari? Seandainya akhlak kita jauh dari kemuliaan, selalu merasa iri, dengki, dan cemburu saat melihat tetangga mendapat nikmat-Nya, apakah pantas kita menginginkan syafaat Rasulullah kelak? (hal 37-38).
Rumus cinta kepada sesama manusia dan cinta kepada Allah tentu sangat jauh berbeda. Dalam percintaan sesama manusia, sering kali kita mengatakan bahwa kita tak perlu berharap dicintai, tapi setialah untuk mencintai. Kata kuncinya adalah setia. Maka tak heran bila banyak orang mengatakan cinta kepada seseorang tidak harus memiliki. Ungkapan ini bisa benar bisa juga sangat keliru.
Sementara, rumus cinta seorang hamba kepada Allah, justru harus memprioritaskan bagaimana agar kita selalu dicintai-Nya, bukan mencinta-Nya. Pepatah Arab mengatakan; mencintai itu bukanlah hal yang penting, sebab yang lebih penting adalah bagaimana agar engkau selalu dicintai. Maka dari itulah, kita harus senantiasa belajar agar dicintai oleh Allah, sebab mencintai-Nya adalah merupakan keharusan. Belajarlah agar dicintai oleh Rasulullah, sebab mencintainya merupakan keniscayaan (hal 41-43).
Rasulullah Saw. adalah kekasih kita semua. Oleh karena itulah, kita harus berusaha mencintainya dengan sepenuh jiwa, sepenuh hati dan sepenuh kehidupan. Mencintai di sini bukan hanya sebatas terucap melalui lisan saja, akan tetapi harus dibuktikan dengan perbuatan. Misalnya berusaha memiliki akhlak mulia sebagaimana yang pernah beliau teladankan kepada kita semua.
Alhasil, umat Islam seyogianya menjadikan syariah Islam sebagai satu-satunya jalan hidup. Sayangnya, umat Islam saat ini hidup tanpa syariah Islam. Maraknya riba, menjadi salah satu bukti bahwa umat masih enggan diatur oleh syariah Islam. Islam hanya diambil sebagian aspeknya saja, misalnya dalam hal waris, nikah, dan zakat.
Namun, aturannya tidak diterapkan dalam kehidupan secara menyeluruh. Seperti menerapkan sistem ekonomi kapitalis, pengaturan pemerintahan dengan demokrasi, sistem sanksi masih menganut aturan dari panjajah Belanda, dsb. hal tersebut merupakan wujud penyimpangan terhadap syariah Islam. Padahal Allah telah memberikan ancaman yang dahsyat jika kita mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dengan siksaan api neraka (QS. An Nisa: 14).
Untuk mencintai Rasulullah, kita tidak perlu membeli mesin waktu agar kita bisa kembali ke masa lalu dan berjumpa dengannya. Ada kitab suci al-Quran yang akan mengilustrasikan dengan sangat indah tentang sosok Muhammad yang penuh dengan keteladanan dan kemuliaan.
Sungguh sangat ironis, ketika mayoritas umat Islam di Indonesia hanya terjebak pada rutinitas peringatan Maulid Nabi, tetapi tidak mengambil risalah yang dibawa Rasulullah saw. sebagai jalan hidupnya yang akan menuntaskan problematika umat yang demikian sistematis dan kompleksnya.
Maka, mari kita renungkan, masihkah layak kita menyatakan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi tak mau diatur oleh syariah Islam? Atau bahkan menjadi garda terdepan dalam membela kebathilan dengan menolak syariah Islam diterapkan dalam kehidupan?