Oleh: Zahro Al-Fajri
2020, menjadi tahun dimulainya kenaikan BPJS. Kebijakan ini sudah sah dan akan dijalankan untuk menutup defisit yang semakin meningkat. Pemerintah optimis, saat iuran BPJS meningkat, maka permasalahan keuangan dana kesehatan mampu teratasi. Kepala humas BPJS, Iqbal Anas Ma’ruf, manyampaikan, Diproyeksikan, keuangan BPJS Kesehatan bisa surplus pada tahun 2020 sebesar Rp 17,3 triliun (kompas.com , 2/11/2019). Kenaikan iuran BPJS ini oleh pemerintah dianggap sebagai salah satu solusi efektif untuk mengatasi permasalahan keuangan kesehatan negeri ini. Kenaikan yang diberlakukan pun tak tanggung-tanggung, dua kali lipat dari jumlah iuran sebelumnya. Bagi pengguna BPJS kelas III kenaikan memang tidak mncapai 100%, namun kenaikan sudah mulai berlaku Agustus 2019 lalu.
Beragam respon bermunculan menyambut kenaikan ini. ada yang pro dan ada yang kontra. Namun, kebijakan ini terus diberlakukan dan diteruskan oleh pemerintah. Bahkan nantinya, akan ada sanksi tegas untuk penunggak BPJS atau yang tidak menggunakan BPJS. Pemerintah seakan “memaksa” seluruh rakyat negeri ini membayar iuran tersebut atas dasar PP No. 86 tahun 2013.
Kenaikan BPJS dirasa semakin membebani rakyat, khususnya masyarakat kelas menengah kebawah. Di tahun 2020, pmerintah bukan hanya menaikkan iuran BPJS, namun juga akan mencabut subsidi PLN bagi pengguna listrik 900 VA. Padahal kenaikan semua ini, tidak selalu diimbangi dengan kenaikan pendapat setiap keluarga. Bagi wiraswasta, tidak ada jaminan kenaikan pendapatan. Sedangkan karyawan, tidak semua perusahaan menaikkan gaji para karyawannya. Ditambah pemerintah yang semakin “memaksa” seluruh rakyat mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS, hal ini semakin menambah beban keluarga. Biaya pangan, sandang, papan, pendidikan dan lainnya juga semakin hari semakin meninggi, oleh karena itu banyak rakyat yang merasa semakin tercekik dengan kenaikan BPJS ini.
Jaminan Kesehatan Negara
Sejatinya, negara memiliki kewajiban memberikan jaminan kesehatan. Bahkan dalam UUD 1945 negara bertanggung jawab terhadap rakyat terutama untuk kesehatan, kesejahteraan dan kebutuhan dasar. Indonesia, menjadikan BPJS sebagai cara untuk menjalankan kewajiban ini. Namun, pada faktanya, BPJS bukanlah jaminan kesehatan untuk rakyat. Mlainkan lebih mengarah pada asuransi kesehatan bagi masyarakat. Hal ini mengakibatkan, masyarakat terbebani biaya kesehatan, jika tidak membayar akan di denda atau diberi saksi, dan pelayanan kesehatan standar BPJS hanya diberikan bagi yang mendaftar, bukan seluruh rakyat. Menurut UU, sebagian dari dana yang dikelola BPJS Kesehatan harus diinvestasikan dalam instrumen investasi dalam negeri baik instrumen deposito, saham, SBN (Surat Berharga Negara atau surat utang negara), reksadana dan instrumen lainnya. CNN Indonesia melansir bahwa pada akhir tahun lalu (2017) aset dana kelolaan BPJS Kesehatan menyentuh angka sekitar Rp7,2-Rp7,3 triliun (www.cnnindonesia.com, 28/8/2018). Alhasil, BPJS ini bisa dikatakan sebagai pengalihan tanggung jawab negara dalam memberikan jaminan kesehatan pada rakyatnya.
Tidak Lepas dari Kebijakan Global
Negara dalam sistem kapitalis, bukan lah sebagai fasilitator dan pihak yang pelayan rakyat. Pemerintah merupakan regulator penyelenggarakan kebijakan. Sedangkan pengurusan urusan rakyat diserahkan pada pihak swasta. Termasuk dalam bidang kesehatan, kesehatan bukanlah tanggung jawab sepenuhnya pemerintah. Pembiayaan akhirnya dibebankan pada rakyat, termasuk dengan sistem asuransi.
Indonesia, merupakan salah satu negara yang tidak lepas dengan sistem kapitalisme ini. indonesia terikat dengan perjanjian internasional. Menurut WTO (World Trade Organization), industri perdagangan global, pimpinan Amerika Serikat, salah satu bidang yang wajib dimasukkan dalam sektor perdagangan adalah kesehatan. Sehingga bidang kesehatan masuk sebagai salah satu kesepakatan perdagangan global GATS (General Agreements Trade in Services) sejak 1994. Oleh karena itu, pemerintah pun harus menyerahkan pengelolaan kesehatan pada pihak swasta. Ditambah banyak sumber daya alam di Indonesia yang diswastanisasi karena juga termasuk bidang yang masuk dalam perdagangan, maka sumber pendapat negara ini mengandalkan pemasukan dari rakyat, termasuk dalam bidang kesehatan.
Jaminan kesehatan dalam Islam
Dalam Islam, pelayanan kesehatan dianggap sebagai salah satu kebutuhan mendasar rakyat. Oleh karena itu, pemimpin dalam Islam yang berprinsip sebagai pelayan umat (rakyat), berkewajiban memberikan pelayanan kesehatan terbaik dan gratis kepada rakyatnya. Rasul SAW bersabda, :
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari)
Sebagai kepala negara, Nabi Muhammad saw. pun menyediakan dokter gratis untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi saw. mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi masyarakat (HR Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara kemudian meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh (HR al-Bukhari dan Muslim). Saat menjadi khalifah, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. juga menyediakan dokter gratis untuk mengobati Aslam (HR al-Hakim).
Pemberian jaminan kesehatan dengan pelayanan terbaik dan gratis, jelas membutuhkan biaya besar. Dalam Islam pembiayaan itu bisa dipenuhi dengan pelaksaan sistem ekonomi sesuai syari’ah. Pemasukan negara diperoleh dari sumber yang sudah ditentukan syariah, diantaranya hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya. Juga dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Namun ini semua bisa terwujud, saat Islam dijadikan sebagai dasar negara dalam membuat kebijakan.
Wa Allahu ‘alam