Oleh:
Nisaa Qomariyah, S.Pd.
Pengajar dan Muslimah Peduli Negeri
Satu periode kepemimpinan Joko Widodo sangat berdampak besar bagi kehidupan rakyat Indonesia. Harapan rakyat agar semua kebutuhan hidup terpenuhi dengan murah dan terjangkau, pupus sudah. Kini, rakyat justru mengalami keputusasaan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, yang semakin hari semakin mahal. Janji kesejahteraan rakyat yang merata, ternyata cuitan belaka. Nyatanya, masyarakat telah ditipu dengan janji manis tapi palsu.
Fakta berbicara, kondisi perekonomian Indonesia terus mengalami resesi. Sangat jauh jika dibilang negara maju. Ya, mungkin benar jika dikatakan maju. Namun, maju yang dimaksud adalah kemajuan utang yang melambung tinggi dan tanpa henti. Sehingga rakyat pun menjadi tumbal untuk membayar utang yang dilakukan pemerintah dengan pemilik modal.
Ujungnya rakyat dipalak dengan berbagai macam pajak dan iuran. Seperti polemik kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan. Sebagaimana diberitakan kompas.com (12/11/2019). Menteri Keuangan Sri Mulyani menerbitkan peraturan terkait talangan iuran BPJS Kesehatan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 158/PMK.02/2019, PMK Nomor 159/PMK.02/2019, PMK Nomor 160/PMK.02/2019.
Akhirnya, pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Kenaikan ini berlaku setelah Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 yang mengatur kenaikan iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Oktober 2019. Kenaikan tarif berkisar 65 hingga 116 persen, yang berlaku mulai bulan Januari 2020.
Kenaikan tersebut digunakan untuk menutupi defisit anggaran BPJS Kesehatan yang sudah berlangsung sejak 2014, nilainya yang terus menambah secara fantastis. Pada 2019 defisit sebesar Rp 32 triliun, dan diprediksi mencapai Rp 77 triliun pada 2024 jika iuran tidak dinaikkan. Lagi-lagi masyarakat yang menjadi tumbal.
Pasal 34 beleid menyebutkan iuran peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) kelas III meningkat menjadi Rp 42 ribu dari sebelumnya Rp 25.500. adapun iuran peserta atau mandiri kelas II akan meningkat menjadi Rp 110 ribu dari sebelumnya Rp 51 ribu. Sementara itu kelas I akan naik menjadi Rp 160 ribu dari yang sebelumnya Rp 80 ribu.
Kenaikan BPJS ini mendapatkan banyak komentar dari berbagai pihak, terutama terkait dampak yang akan ditimbulkan dari kebijakan ini. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan kenaikan iuran sebesar dua kali lipat akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Sebab, biaya yang dikeluarkan untuk jaminan kesehatan meningkat,(merdeka.com, 4/9/2019).
Hal ini akan mengurangi kesejahteraan secara langsung. Jika rakyat tidak atau terlambat membayar iuran maka akan mendapatkan denda dan sanksi menjadi ancaman atau denda oleh negara (PP Nomor 86 Tahun 2013 pasal 5). BPJS dibolehkan mengambil iuran secara paksa (alias memalak) dari rakyat setiap bulan dengan masa pungutan yang berlaku seumur hidup.
Uang yang diambil tidak akan dikembalikan kecuali dalam bentuk layanan kesehatan menurut standar BPJS, yaitu ketika masyarakat sakit saja. Fachmi menambahkan sanksi bagi penunggak BPJS Kesehatan diantaranya tidak bisa mengurus perizinan pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sertifikat tanah, sampai paspor. Bisa juga dikatakan yang miskin tidak boleh sakit.
Beginilah kondisi negara jika terjerat Kapitalisme Neoliberalisme. Sektor kesehatan sebagai kebutuhan vital bagi rakyat pun ikut dikapitalisasi dan diliberalisasi. Negara bukan lagi pelayan yang berkewajiban melayani rakyat. Tapi sebagai korporasi besar yang mengkomersialisasi sektor kesehatan. Tak ayal kesehatan menjadi kebutuhan yang mahal dan susah bagi rakyat. Alih-alih memfasilitasi sektor kesehatan dengan fasilitas yang berkualitas lagi murah. Sebaliknya rakyat dipalak habis-habisan demi fasilitas kesehatan yang mahal lagi susah.
Telah jelas bahwa program BPJS Kesehatan merupakan program yang tentu jauh berbeda dengan Islam. Jika sektor kesehatan diatur dengan sistem yang turun langsung dari Allah Swt. yaitu Islam, maka negara akan menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Karena dalam Islam seorang pemimpin berkewajiban penuh untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup rakyatnya.
Seperti dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bersabda : “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin. Jadi, penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari & Muslim).
Berkaitan dengan hal tersebut Rasulullah SAW bersabda : “ Dia yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang akan membawa belenggu pada hari kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa dia kepada kehancuran.”(HR. Tirmidzi)
Jadi, ketika penguasa benar-benar menerapkan aturan Allah Swt. barulah saat itu masyarakat akan benar-benar mengalami keadilan dan kesejahteraan. Namun, penting untuk diingat bahwa kemajuan materi tidak menyamakan dengan kesuksesan sejati, mencari ridho Allah.
Bagi seorang khalifah hal tersebut bukan hanya tentang bagaimana menyediakan pelayanan medis, melainkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang dirinya dipercayakan untuk bertanggung jawab atas mereka.
Wallahu a’lam bish-shawab.