Bermimpi Mendapat Gaji yang Layak



Oleh Mar'atus Sholihah


Kemakmuran hidup rasa-rasanya sudah menjadi keinginan setiap manusia. Kemakmuran yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder ini sangat erat kaitannya dengan pelayanan negara. Sudah sewajarnya negara memberikan pelayanan publik kepada masyarakat untuk memberikan kehidupan yang layak dan makmur.

 

Namun nyatanya di Indonesia penganut paham demokrasi yang menjunjung tinggi slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat tak sejalan dengan apa yang dislogankan. Banyak pelayanan publik yang harusnya dinikmati oleh masyarakat secara mudah tapi justru menjadi beban baru dalam mencapainya.


Dari tahun ke tahun terdapat kenaikan terkait pelayanan negara kepada masyarakat yang harusnya diperoleh secara cuma-cuma, seperti kenaikan tarif tol, BPJS, listrik, pajak, dll. Belum lagi kepayahan negara dalam mengapresiasi tenaga pengajar. Guru menjadi aset berharga negara sangat patut untuk dijamin haknya. 


Karena peran besarnya dalam mendidik generasi yang akan membangun negara menjadi lebih maju. Ketidakmerataan dan kelayakan upah antara guru di perkotaan dan pedesaan pun masih menjadi masalah hingga saat ini.


Baru-baru ini dikabarkan bahwa ketua komisi X DPR RI dari fraksi PKB, mendesak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim untuk lebih memerhatikan kesejahteraan guru yang mengajar di daerah tertinggal (Kompas.com, 09/11/2019). 


"Ini keprihatinan kita yang kesekian kali soal kesejahteraan guru. Saya kira Mas Nadiem harus bergerak cepat, khusus soal isu kesejahteraan guru ini. Saya sarankan untuk buat Tasfos khusus untuk menangani soal kesejahteraan guru ini," pungkasnya. (tribunnews.com)


Usut diusut berita itu timbul setelah terkuaknya kisah pilu seorang guru honorer maria marseli (27) di Flores yang mengajar selama 7 tahun dengan gaji Rp.75.000/bulan. Rendahnya upah guru diberbagai wilayah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) sudah menjadi penyakit yang belum tuntas juga.



Padahal merekalah yang layak mendapatkan upah di atas standar rata-rata karena tidaklah mudah bagi guru honorer untuk mengajar di daerah terpencil kecuali dari panggilan hati mendidik anak-anak menjadi cerdas.


Keadaan ini sangat bertolak belakang dengan keadaan ketika masa pemerintahan Islam dijalankan. Pada masa itu tenaga pengajar amat sangat dihargai jerih payahnya. Kesejahteraan guru sangat diperhatikan oleh negara. 


Seperti pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab, Imam Ad Damsyiqi menceritakan sebuah riwayat dari Al Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di Kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas).


Jika dikalkulasikan, itu artinya gaji guru saat itu adalah sekitar Rp30.000.000. Tentunya ini tidak memandang status guru tersebut PNS ataupun honorer. Apalagi bersertifikasi atau tidak, yang pasti profesinya guru.Tidak heran di masa Khilafah dijumpai banyak generasi cerdas dan shaleh.


Selain itu, berbagai fasilitas pendukung pendidikan dapat dinikmati tanpa beban biaya yang besar. Kenapa bisa seorang guru memiliki gaji sebesar itu? Mungkin orang awam akan berpikir bahwa hal tersebut mustahil. Dalam pemahaman pragmatis, setiap yang bermutu pasti mahal. Tapi, tidak bagi sistem Khilafah yang menerapkan syariat islam secara kaffah (total).


Hal tersebut terbukti selama 13 abad mampu menjamin kesejahteraan guru dan murid. itulah Islam, ketika diterapkan secara kaffah maka rahmatnya akan dirasakan oleh seluruh makhluk. Selama masih diterapkannya sistem bobrok kapitalisme-demokrasi, maka tidak akan pernah merasakan pendidikan yang bermutu dan murah Apalagi ingin mencapai kesejahteraan guru, itu adalah hal yang mustahil bagi guru honorer. 


Hal seperti ini sudah membuktikan dengan jelas bahwa solusi dari segala aspek permasalah negara hanya dapat terselesaikan ketika sistem buruk diganti dengan sistem terbaik yang sudah terbukti. Dan sebaik-baik sistem pemerintahan adalah sistem yang diturunkan Allah SWT yaitu Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah.

Wallahu A'lam bis Shawab 



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak